[bonus] Saat akhirnya Adil pulang

10.2K 1.1K 84
                                    


Kapan terakhir kali Adil solat? Jangan ditanya.

Jujur saja, Adil bukan tipikal lelaki yang terlalu agamais. Bukan tipikal lelaki yang menghubungkan segala hal kepada hal-hal berbau keagamaan. Dia hanya melakukan itu secukupnya: solat lima waktu, mengaji di waktu tertentu, merayakan hari raya dan hal-hal sesederhana itu. Dan meski tergolong kategori mampu, Adil enggak pernah terpikir buat naik haji meskipun kalau sekedar umroh, sih, pernah. Menurutnya, untuk naik haji, dia enggak cukup hanya mampu secara finansial. Dia harus mampu secara lahir dan batin. Dan kemampuan kebatinan itulah yang kemudian membuat Adil merasa malu untuk sekedar membayangkan dirinya menjadi seorang haji.

Jangan hakimi Adil, itu pendapatnya. Kalau pendapat orang lain berbeda, Adil tidak perduli.

Adil juga tidak melakukan hal-hal yang dilarang: minum alkohol? Makan daging berkuku belah? Semuanya jauh. Adil tidak menyentuhnya. Adil memilih makan mi instan di minimarket kecil saat ia kesulitan mencari makanan halal saat di Hongkong. Mungkin ada, tapi karena kemampuan bahasa yang terbatas, Adil malas berpikir dan memutuskan membeli mi instan cup bergambar ayam di minimarket kecil.

Lalu, semuanya berubah saat Adil bertemu Luna.

Adil tidak menyalahkan Luna, tentu saja. Ia sudah cukup dewasa untuk menentukan. Jadi, apapun keputusan yang diambil itu berdasarkan keinginannya sendiri. Bukan perintah atau mau Luna.

Adil ingat kapan ia terakhir solat: subuh itu. Kali pertama ia bercinta dengan Luna. Ia berdoa dengan khusu. Saking khusunya, ia bahkan menitikkan air mata. Menyesal? Malu? Semua perasaan bercampur aduk di dalam dadanya. Sudah lama sekali sejak ia terakhir menangis—tepatnya: ia terakhir menangis saat Ayahnya berpulang ke Yang Maha Kuasa. Dan subuh itu, di tengah solat subuhnya, ia menangis. Ia solat di ruang tamu karena tak mampu solat di kamar. Sebab di sana ada Luna. Ia benar-benar kehabisan kata-kata. Apa yang harus ia jelaskan? Bagaimana ia meminta maaf pada Luna tentang kekhilafan mereka semalam?

Ia malu. Merasa kotor. Pezinah. Dan lebih buruk dari itu, ia benar-benar merasa berdosa karena ia mengotori Luna. Ia merasa berdosa karena malam itu, ia merasakan kenikmatan padahal ia jalas-jelas tahu kalau ia berbuat dosa.

Setelah selesai solat, yang memakan waktu lebih lama karena doa Adil lebih panjang dari biasanya, ia masuk ke kamar mandi. Ia mencoba mendinginkan kepalanya dengan shower yang mengalirkan air dingin. Lagi, ia menangis. Waktu terus bergulir. Sebentar lagi, Luna pasti bangun. Ia tidak tahu harus bertingkah bagaimana saat Luna membuka mata.

Akankah Luna marah?

Meneriakinya pemerkosa?

Mengatai Adil penjahat kelamin dan pezina ulung?

Semua pikiran berkelebat di kepala Adil, sampai ia tak tahu sudah berapa lama waktu yang ia habiskan di bawah shower. Yang ia tahu, kukunya sudah mengkerut saking mengigilnya tubuhnya.

Ia keluar tak lama kemudian, dengan kaos dan celana pendek. Satu-satunya yang berhasil ia bawa masuk ke kamar mandi tadi karena tak bisa lama-lama seruangan dengan Luna yang masih terlelap. Rasa berdosa masih melingkupi setiap sudut tubuhnya, gagal terbawa pergi oleh air yang tadi membasuh tubuhnya.

Luna sudah terbangun saat ia masuk ke kamar. Ia ingin mengucapkan permintaan maaf. Ia tidak ingin Luna pergi. Ia tak mau kekhilafannya semalam membuat Luna mengambil langkah menjauh. Ia mengucap maaf berkali-kali. Mengakui kesalahannya. Ia nyaris memohon pada Luna, tapi akhirnya tidak terjadi. Karena bibirnya dibungkam oleh bibir Luna.

Sebutlah yang malam itu khilaf. Tapi, pagi itu? Ia tak bisa menahan dirinya untuk tak menyentuh Luna yang seolah menyerahkan dirinya sendiri.

Adil bisa mendorong tubuh Luna sampai perempuan itu terlepas.

Adil bisa diam dan tak membalas ciuman Luna.

Adil bisa pura-pura mati rasa dan memilih tak menyentuh balik tubuh Luna.

Tapi, ia tidak melakukan itu. Ia malah membalas ciuman Luna. Ia bahkan membiarkan dirinya mengecup setiap inchi tubuh perempuan itu. Ia membiarkan dirinya bersatu dengan Luna. Menjadi utuh. Meninggalkan bekas di setiap sudut leher Luna. Membiarkan mereka menjadi satu pribadi yang utuh dan padu.

Semuanya terasa benar.

Dan sejak hari itu, Adil terlalu malu untuk menghadap sang pencipta. Ia tahu diri. Ia sadar dirinya hina. Pendosa sejati. Bukan hanya itu, ia bahkan penikmat dosa. Ia melakukan dosa berkali-kali. Ia bahkan tinggal bersama Luna—perempuan yang bukan muhrimnya dalam satu atap. Mereka bukan hanya tinggal bersama. Mereka tidur bersama. Tak ada paksaan baik dari Adil maupun Luna. Mereka melakukannya karena mereka berdua menyukainya. Dosa yang akhirnya menjadi karunia Bumi di dalam diri Adil.

Dan hari ini, Adil kembali.

Ia baris di paling depan. Menjadi imam untuk istirnya beserta Ibu dan Adiknya. Setelah lama sekali tidak menghadap sang pencipta, ia harus kembali dalam bentuk imam. Ia memimpin doa untuk orang-orang yang penting bagi hidupnya.

Ia menangis, tentu saja.

Tapi, orang-orang di belakangnya, yang ia imami, tak perlu tahu.

Ia hanya ingin menyerahkan dirinya pada Sang Pencipta. Meminta maaf. Memohon ampun. Meminta pintu kembali ke jalan yang benar.

Hari ini, setelah sebegitu lamanya: ia tahu ia telah pulang.

Ia tahu, ia sudah di tempat yang tepat: rumah.


--

Jika menyukai cerita ini, kamu bisa membaca lanjutannya: It's Today.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 01, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

[1/3] It's yesterday.Where stories live. Discover now