4

8.7K 1.1K 41
                                    

Pagi setelah mereka bercinta, Luna menemukan ranjang di sisinya kosong. Bunyi air terdengar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar. Luna berdiri dari tempatnya dan memakai lagi pakaiannya yang sudah terlipat rapi di atas sofa yang ada di sisi ranjang. Luna nyengir. Sebenarnya, siapa yang perempuan dan siapa yang laki-laki, sih? Adil seolah mematahkan stereotip kalau perempuan selalu bangun lebih pagi dan selalu lebih rapi. 

Adil muncul tidak lama kemudian. Dengan rambut basah dan wangi kolonye yang menguar. Dagunya sudah bersih, dia habis bercukur. Tubuhnya terbalut kaos oblong hitam dan celana pendek selutut. Wajahnya tampak panik sekaligus bingung.

"Hei, Dil." Luna menyapa riang. Tidak ada keraguan, ketakutan atau apapun. Berbanding terbalik dengan ekspresi Adil yang seolah sedang menahan beban seluruh bumi di pundaknya.

"Lun," panggil Adil. Suaranya lemah. Luna menatapnya, dengan tersenyum. Tangannya masih sibuk merapikan rambutnya yang sudah melewati bahu dengan jari-jari tangan. Adil mendekat. Tapi masih tetap menyisakan jarak yang lumayan jauh.

Luna berjalan mendekat, hendak menghapus jarak di antara keduanya. Tapi, satu-satunya yang ia dapat adalah sentakan Adil, "don't move closer. Just stay right there."

Luna membatu. Ada apa?

"Gue minta maaf, Lun. Gue minta maaf banget. I'm an asshole, I know. Gue enggak tau kenapa gue bisa kayak gitu semalam. I mean.. itu zinah kan, Lun? Setan apa yang ngerasuk gue semalam, Lun? Gue benar-benar minta maaf, Lun. Gue tau kalau sekarang di mata lo gue udah persis cowok brengsek di luar sana. Jerk, asshole, named it. Gue enggak ada maksud jahat atau nyakitin lo atau apa. "

Sementara Adil terus menyebut kata-kata permintaan maaf, panjang dan enggak ada habis-habisnya, Luna cuma nyengir-nyengir di tempatnya. Memperhatikan setiap senti wajah Adil yang ia cintai mati-matian. Mendengarkan suara panik Adil--yang baru pertama kali ia dengar. Mendengar Adil berbicara panjang lebar--terpanjang selama mereka pacaran dengan catatan, presentasi tidak dihitung. 

Adil terdiam. Menatap wajah Luna yang nyengir-nyengir kecil. "Lun, are you laughing?"

"I am," aku Luna tanpa ragu.

"Lun, I apologize. Please, forgive me for being an asshole."

"I love you, Dil."

Cecaran permintaan maaf Adil terhenti di udara. Matanya menatap beku ke arah sepasang mata Luna yang sedang menatapnya dengan binar kejahilan yang pekat.

"I love you so much," ulang Luna. Lebih sungguh-sungguh. Cengiran enggan lenyap dari wajahnya yang berbentuk oval dengan hidung tidak terlalu tinggi itu.

Sepasang kaki jenjang Luna tanpa diperintah berjalan mendekat. Menghapus semua jarak antara dirinya dengan Adil yang ia cintai habis-habisan. Luna mengalungkan tangannya di leher Adil, memaksa kepala lelaki itu menunduk sedikit. Dengan dibantu tumitnya yang berjinjit, bibirnya menyergap bibir Adil.

Dan kalau ini sebuah dosa besar, Adil menemukan dirinya sudah tidak perduli.

"I love you," erang Adil di tengah ciuman mereka yang semakin intens.

****

"Jadi, lo sempet pacaran sama Adil?" tanya Rafinda. Sesuai rencana Luna, Luna memang membuka forum gosip bertajuk dirinya dan Adil. Kenapa? Jangan tanya kenapa. Kalau Adil melarikan diri ke alkohol, mungkin ini langkah terbaiknya untuk melarikan diri dari bayang laki-laki itu.

Luna mengangguk. "21 bulan."

"Cool," puji melati. Entah sarkasme atau benar pujian. "21 bulan dan enggak ada yang mengendus?"

"Kenapa backstreet, Lun?" Itu fira.

"Gurls, the thing you have to learn is: you don't show people how to play a game. You just do it. I mean, we two understand this relationship just another game. We have no future. Jadi, buat apa diumbar?"

[1/3] It's yesterday.Where stories live. Discover now