1

12K 1.2K 22
                                    

Kisah cinta gue sama Adil itu mirip sama cerita-cerita murahan yang kalian pikir cuma bakal terjadi di novel-novel terjemahan. Gue ketemu Adil di kantor dan yak, tepat sekali dia atasan gue. Tepatnya pewaris utama Adibrata group yang 'jualan' utamanya berbahan utama coklat dan kelapa. Pewaris utama, ya. Bukan pewaris satu-satunya, karena dia masih punya satu orang kakak dan satu orang adik yang dua-duanya adalah perempuan. 

Berbeda dengan gue yang ceplas-ceplos dan agak enggak bisa nyaring mulut, Adil sangat pendiam. Dia cuma banyak ngomong kalau lagi meeting. Tepatnya, mendebat dengan kritis. Rasanya, kalau presentasi ada dia, nyawa harus disiapin dua kali lipat dan jangan sampai salah ngomong satu kata aja. Kalau sampai salah, inteligensi bahkan sampai gelar sarjana yang lo kejar sampai nyaris mati itu bakal dipertanyakan seisi kantor. 

Entah karena mulutnya pedas pas rapat dan dia membatasi diri di luar ruang rapat atau entah kenapa, Adil memang enggak punya teman sama sekali di dunia kantor. Tapi, wajahnya yang rupawan itu ya emang udah jelas jadi topik obrolan yang paling sering dibahas oleh pekerja perempuan mulai dari yang level bawah seperti OB sampai yang udah manager ke atas saat makan siang. Adil emang tipikal cowok yang jadi kelemahan perempuan apalagi yang hobi baca novel: pewaris perusahaan, rupawan, pendiam dan kinda geek--yah walau pun buku yang dia baca gak jauh-jauh dari buku yang ada hubungannya sama kerjaan, sih (mulai dari teknik branding, pemasaran dan lainnya itu)

Gue kenal--I mean, akrab--dengan Adil sejak divisi minuman--divisi gue--harus menemukan sebuah minuman baru yang bukan cuma coklat atau kelapa. Tapi, coklat dan kelapa. Minuman itu akhirnya terwujud, anyway.Namanya Chocolapa. Iya. Macam plesetan chocolava or something tapi yaudah lah ya, toh laku juga di pasaran. 

Gue suka dia dari kapan, ya? Gak ada waktu yang jelas. I mean, gue ikut forum gosip cewek-cewek sambil makan sushi, sering. Buat bahas dia, sering banget. He is the hottest one di perusahaan ini. The hottest sekaligus the richest tepatnya. Soalnya, kalau hot doang, ada beberapa cowok divisi lain yang lumayan. Tapi, kalau yang punya perusahaan, ya Adil doang. 

Gue ingat ciuman pertama kami waktu itu. Di pelataran parkir kantor. Empat minggu setelah kami jadian. Iya. Adil emang bukan tipikal cowok agresif yang bakal langsung cium di awal pacaran (apalagi di first date), enggak mungkin banget. Ciumannya pendek. Belum bisa disebut ciuman malah. Yang gue ingat, bibirnya menyentuh bibir gue dalam tiga detik dan udah buru-buru dia tarik sebelum gue sempat membalas. Ciuman itu terjadi di dalam mobil. Dia di bangku pengemudi dan gue di sampingnya. Kami emang mutusin buat back street karena... ya, situasi. Ya gitu deh ceritanya panjang. Pokoknya, gue ingat banget wajah dia waktu itu, panik dan kayak dipenuhi rasa bersalah. Karena yah--setelah gue konfirmasi--itu emang ciuman pertama dia. Like seriously? How old was he? 

"Gak usah ketawa," rujuknya waktu gue nyengir-nyengir nahan ketawa. Kami masih di mobil. Wajahnya masih merah, keringat bahkan mengucur dari dahinya. Keringat dingin.

"You are so cute, you know?"

Dia mendengus. "Balik, yuk. Gue ngantuk."

Dia menghidupkan mesin. Tepat sedetik sebelum dia menekan pedal gas, bibir gue menyambar bibirnya. Menatap matanya yang terbuka dan menampakkan keterkejutan sekaligus entah apa. Pokoknya, komplikasi. Gue memejamkan mata. Dan kami, berciuman cukup lama dan dalam. Mungkin, buat Adil, itu ciuman kedua kami. Tapi, buat gue, itu ciuman pertama kami. Karena sentuhan bibir yang tadi Adil berikan enggak cukup untuk dinamakan sebuah ciuman. Iya, kan?

Malam itu, dia meninggalkan gue di lobi apartemen gue dengan sebuah kebahagian yang meluap-luap. Utuh. Rasanya, gue utuh dimiliki oleh Adil Adibrata. Utuh dan menyeluruh.

***

Gue memasukkan baju-baju gue ke lemari yang agak berbau apek. Gue mencatat dalam hati untuk membeli kapur barus secepatnya. Baju demi baju. Gak ada satu baju Adil pun yang terbawa baik sengaja maupun tidak. Gue tadinya mau nyelipin satu baju dia ke dalam koper gue untuk gue hirup di malam-malam kalau gue kangen dia. Tapi, gue enggak bisa merealisasikan rencana 'semi-klepto' gue itu karena proses packing gue tadi ditonton oleh Adil secara terang-terangan. 

Gue membuka cam roll ponsel. Melihat foto-foto yang gue dan Adil abadikan. Mulai dari awal hubungan kami sampai weekend getaway kami di Bali yang baru berakhir pagi. 

Satu per satu, foto kami gue college pakai aplikasi photo editor. Total ada enam belas foto dengan aneka bentuk. Foto gue dan dia bersama ikan-ikan saat kami sedang snorkeling di salah satu pulau di kepulauan seribu, muka kami saat merayakan natal bersama, gue yang dengan setannya selfie saat dia sedang solat, muka sok candid saat pura-pura tidur, foto berenang bareng di vila di ubud kemarin, foto box yang norak kayak anak SMA sampai basic selfie yang isinya cuma kami senyum atau ngedip atau pura-pura melet. That kind of basic picture. Tapi, gue ngeditnya kayak lagi ngeganti muka SBY jadi Obama buat website Meme. Lama dan pelan-pelan banget. Padahal yang gue lakuin cuma nge-collage dan ngasih filter hitam-putih!

Gue meneguk ludah gue banyak-banyak. Apa gue siap? Apa gue siap mempublikasikan hubungan kami saat hubungan ini udah selesai? I mean, apa gue siap dengan cercaan pertanyaan yang dihujani teman-teman kantor gue besok? Apa gue siap ketemu Adil besok? Apa gue siap dengan tatapan kepo yang dihujani seluruh kantor? 

Siap enggak siap.

Kenapa? Kenapa gue harus ngupload foto ini ke Instagram? Padahal gue bisa nyimpan ini di drive gue lalu hapus dari cam roll dan tinggal gue buka kalau hati dan kepala gue udah siap. Tapi, kenapa gue malah ngupload ini ke Instagram? 

Mungkin, gue mau orang-orang tau, kalau walau cuma sebentar dan enggak ada yang pernah tau: Adil dan gue pernah sama-sama dan pernah sangat bahagia. Mungkin, gue mau Adil enggak lepas dari diri gue segampang itu. Mungkin, gue mau, siapapun perempuan yang bakal bersanding dengan Adil di pelaminan kelak, perempuan itu enggak lebih hebat atau lebih baik dari gue. Atau at least, kalaupun dia lebih baik dari gue, setidaknya gue mau dia jiper karena dia ngelihat potret kebahagiaan gue dan Adil di instagram gue dan dia sadar diri kalau dia enggak bakal bisa bikin Adil sebahagia yang gue lakuin. Gue PD? Mungkin. Gue emang mungkin sangat PD. 

Jari gue bergerak lincah di atas layar sentuh ponsel gue yang udah agak jadul kalau dibandingin dengan punya Adil--yang wicis keluaran terbaru. Tangan gue menuliskan kata-kata. Klise dan agak menjijikkan. Sebuah caption yang mungkin kalau gue lihat tujuh minggu lagi cuma bakal bikin gue mikir, "apa banget sih gue."

But here I am. Mengunggah sebuah foto dengan caption paling menjijikkan se-Instagram.

Dan meskipun ada bagian delete di instagram. Hati gue benar-benar berteriak dan memaksa untuk mempertahankan foto ini setelah diunggah. Setidaknya seminggu. Atau sampai gue siap buat benar-benar lepas dari semua kenangan Adil yang melekat erat di kulit gue.

[1/3] It's yesterday.Where stories live. Discover now