Bab 25

3.6K 532 684
                                    

Dua hati. Dua matahari. Meski salah satunya mulai tak berfungsi dan bersiap mati.

***

Pemuda itu mematut refleksi wajah tampannya dalam cermin, membenahi letak kacamata yang sedikit melorot di ujung hidungnya lalu mengerutkan kening. Betulkah bahwa cermin adalah media yang selalu berkata sebenarnya? Lalu kenapa ada kilasan aneh dalam pantulan dua mata yang memandangnya balik dari sana. Siratan yang terlalu jarang terpeta dalam profilnya.

Ia menghela nafas sendiri. Bingung. Tak tahu mengapa bayangannya terlihat begitu resah. Tak nampak tenang seperti biasa. Bagai bukan dirinya.

Ia berfikir sebentar, memindai mulai kapan Ia merasa begitu gamang. Ah. Ia mengerti sendiri. Sejak... semalamkah?

Sambil merapikan kerah kemeja hitamnya, Luke  mendesah pula. Menarik ingatan yang tiba-tiba melayang di udara. Membiarkan sebuah rol film berputar dalam proyektor otaknya.

***

Malam sebelumnya..

Alunan isakan lantas lirik keheningan, terus melantunkan sebaris nada menyayat ditemani keremangan yang bertahan. Membiarkan ingatan pahit yang tak mau dikalahkan tetap mengambang dalam debu-debu awan.

Seakan-akan, Luke bisa melihat dedebuan kenangan itu berpusar disana, memutuskan merasuki pori-pori kulit, meracuni pembuluh darah dan mengontaminasi otak gadis yang baru Ia lepaskan dari rengkuhannya. Tanpa diberitahu, Luke mengerti apa isi debu-debu itu. Memori getir. Yang takkan menyerah untuk terus mengulangi dirinya, hingga gadis yang Ia susupi tak mampu lagi berdiri.

Pemuda itu mengusap-usap punggung Frisca yang kini duduk di tepi ranjang di sebelahnya. Gadis itu masih bernafas susah payah. Tampak begitu lelah setelah menghabisakn oksigen dalam paru-parunya utnuk melagukan tangis. Luke berharap dalam hati, semoga memori – memori jahat itu segera mati. Atau gadis manis didekatnya ini akan terus memperpuruk keadaannya sendiri.

Frisca terceguk sesaat, berusaha melupakan hatinya yang sudah terserut menjadi serpihan. Ia menotol-notol matanya yang sudah membengkak sebesar bola dunia dengan gumpalan tissue. Lalu menarik nafas dan tersedak. Entah sudah berapa lama Ia seperti ini. Terdiam. Terceguk. Menangis. Terdiam lagi. Terceguk lagi. Menangis lagi. Bagai lingkaran yang tak pernah menemukan akhir.

Gadis itu mengangkat wajah, berusaha menghirup udara semampunya dan menggeleng sendiri. Ternyata masih begitu banyak yang belum menggelegak keluar. Masih ada ribuan tetesan yang siap ditampung bumi untuknya.

Tiba-tiba sepotong tangan memaksa dagu beserta seluruh kepalanya untuk menoleh. Luke. Tersenyum tipis ke arahnya seraya menyambar sehelai kertas tissue baru dari box yang diletakkan di dekatnya.

Pemuda itu menyibak poni Frisca di atas kepala, menahannya disana lalu menyeka air mata beserta sisa-sisa basah yang menjejak di seluruh wajah gadis itu.

Frisca terdiam ketika merasakan saputan tissue di tangan Luke pada wajahnya. Dan saat pemuda itu mulai menjauhkan tangan, Frisca hanya dapat berucap lirih "Maaf ya, Tuan,"

Plok.. Plok.. Pemilik wajah malaikat itu menepuk puncak kepala Frisca. Perlakuan tiba-tiba yang membuat dua mata keruh pemilik kepala tadi terpana. De javu Ilu, lagi. Meski kali ini gadis itu sudah mengetahui, memang Ilu sebenarnyalah yang baru saja mereka ulang memoar yang sama kembali.

"Never mind," sahut Luke pelan, lagi-lagi tersenyum lalu melepaskan tangannya dari puncak kepala Frisca, membuat gadis itu kembali menunduk dalam-dalam.

"Ternyata film-film drama itu gak selalu melebih-lebihkan cerita ya.." ujar Luke setengah geli, sambil memainkan tissue tadi dalam jari-jarinya.

Frisca menoleh pelan kearah dua danau jernih milik Tuan Muda baik hatinya, yang kini tersenyum entah untuk keberapa kali malam ini, "Cewek-cewek.. ternyata memang punya persediaan air (mata) yang lebih banyak daripada unta," katanya sambil menyeringai pelan.

Love Command [5SOS]Where stories live. Discover now