Bab 26 (Bagian A)

3.3K 528 311
                                    

Ada yang ingin sekali dilupakannya. Namun tak bisa.

Frisca tak ingin bangun tidur dengan keadaan seperti ini. Setiap pagi, prosesi pembukaan mata dan penyadaran diri mulai menjadi hal yang ingin sekali Ia hindari. Karena saat kebenaran menyapa awal harinya, perut gadis itu akan dikepaki perasaan tak nyaman. Menyadari genggaman dan dekapan terakhir Calum itu hanya ada dalam angan.

Kalau mencintai harus sesakit ini, Ia merasa lebih baik tak usah terjaga lagi. Biar dirinya mati dalam mimpi. Dimana, paling tidak, Ia bisa bersisian dengan pemuda yang sudah terlalu Ia sayangi.

Tapi toh kali ini, Tuhan tak mau mengabulkan harapan dangkalnya. Satu hari lagi harus Ia jalani, entah akan diwarnai kejutan dengan daya meledakkan macam apa yang lagi-lagi harus dijejalkan ke genggamanannya.

Frisca menghela nafas panjang ketika mematut dirinya dalam balutan seragam. Mempersiapkan diri. Mempersiapkan hati. Ia memegang jantungnya sendiri, merapal sebuah lantunan harapan. Yang lalu Ia sadar takkan jadi kenyataan, gadis itu mengehembuskan nafas lagi lalu memejamkan mata hingga sebuah ketukan samar di pintu memaksanya mendengus.

Ia melamgkah mendekati pintu lalu memutar kenopnya. Terkejut mendapati seorang pemuda tegap berdiri disana.

"Tuan?" tanyanya heran.

Luke tersenyum tipis, "Belum berangkat?" Ia mengangkat alis lalu melirik Tag Heuer-nya, "Bukannya biasa berangkat pagi?" yang lalu dijawab gadis di hadapannya dengan senyuman ragu.

"Ayo, tunggu apalagi?" Tanya Luke dan menarik lengan Frisca yang kini heran sendiri kenapa belakangan ini tuan mudanya ini suka menarik tangannya tiba-tiba.

Frisca terkesiap saat menyadari kemana Luke membawanya. Halaman depan. Dimana sebuah sedan hitam terparkir manis disana. Kendaraan andalan Calum, selain jaguarnya.

"Tuan.." ujar Frisca tercekat, menatap tak mengerti ke balik lensa Luke.

Pemuda itu menggiring Frisca, membukakan pintu penumpang di depan dan menyuruh gadis itu duduk disana. Lalu Ia memandangi gadis itu dengan ekspresi tak tertebak.

"Ingat pesan saya, jadilah Frisca yang setegar biasa," ujar Luke pelan, mengacak rambut Frisca lalu menutup pintu penumpang.

Frisca tercengang sendiri, menatapi punggung Luke dari balik kaca. Lalu menatap ke depan dengan perasaan berkecamuk. Menunggu saat-saat kebenaran itu tiba.

***

Ada yang ingin sekali diingatnya. Namun tak bisa. (Dimulai pada saat yang sama sebelumnya)

Entah kenapa Calum begitu membencinya. Hal yang teramat mengganggu, membuatnya merasa harus mengingat sesuatu. Sejak dua malam lalu, perasaan tertohok itu. Selalu sekelebat muncul lalu menghilang. Selintas berlari lalu berhenti. Hal itu menyali otaknya, dan selalu menjejakkan perasaan tak tenang dalam dirinya.

Calum menatapi langit-langit kamarnya sendiri. Menyadari perasaan aneh itu seperti memiliki frekuensi tersendiri. Saat malam Ia berjaga di sebelah ranjang pasien Mai, ketika keesokan paginya Ia memaksa mencari jas hitam ke department store –untuk penguburan Pak Umari- yang bahkan belum memulai jam operasionalnya , lalu sewaktu Ia menemani Mai beberapa saat setelah pemakaman selesai, perasaan yang muncul tanpa permisi itu tak begitu menyiksa. Karena ketika Ia mengalihkan pandangan pada wajah gadis kecilnya, kerisauan itu lenyap dalam sekejap. Digantikan buncahan euphoria.

Dan karena kini disampingnya tak ada lagi gadis itu, hatinya yang menyebalkan kian menjadi-jadi lalu tak bisa lagi dipungkiri hingga pagi ini.

Sial. Batin Calum sambil bangkit dari tempat tidurnya. Perasaan sialan ini membuatnya tak bisa memimpikan Mai. Karena untuk sebab yang belum diketahuinya, perasaan aneh ini mulai berulah dan bertambah kuat saat Ia pulang ke rumah. Seakan memburu di tiap gurat dinding yang Ia lewati. Memaksanya segera menyadari apa yang tak Ia peringati.

Love Command [5SOS]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα