Salju Terakhir

33 1 0
                                    

Aku menatap kosong pada salju yang turun dengan perlahan. Seluruh kota Paris bahkan seperti permadani putih yg terhampar. Higher, tempatku bekerja bahkan sudah seputih susu. Tidak ada hal selain warna putih yang bisa kulihat dari sini, kecuali Menara Eifell. Bahkan menara tinggi itupun sebagian juga sudah memutih. Tanganku menopang pada terali jendela yang sengaja kubuka. Alunan lagu J.S Bach semakin menambah ketenanganku. Benar-benar musim yang amat indah dan juga dingin.

"Lucy, kau tau kenapa aku sangat menyukai salju?"tanyanya.

Benar, ia sangat menyukai salju. Lebih menyukai daripada yang lainnya. Bahkan ia pernah memenangkan suatu kejuaraan menulis karena terinspirasi dari putihnya salju.

"Putih, sama seperti kulitmu."

"Oh, ayolah. Bahkan kau hampir merasakan esensinya."

Aku berbalik kearahnya. Dengan tatapan acuh tak acuh yang kumiliki. "Sayang sekali aku lebih dulu tertarik pada bintang,"jawabku sekenanya.

Ia mengulum senyum hambarnya. "Karena bintang bisa kaulihat sepanjang malam kan?"ucapnya dengan sedikit meninggikan nada suaranya. Aku menggelengkan kepalaku pelan. "Ya. Namun tidak saat awan."

Aku kembali menatap daratan salju yang ada didepanku. Ini memang memasuki tengah musim dingin. Tapi salju bulan Desember tidak separah salju Januari. Sepertinya salju terakhir yang akan kulihat dari sini. Sebuah kenangan terakhir yang entah sampai kapan akan terpatri.

Lagu Mozart yang kini terdengar mengalun lembut ditelingaku terasa memberi hal yang lain dalam diriku. Seakan mengingatkanku pada suatu memori yang seharusnya kuingat. Tidak, tetapi tidak lebih dari sesuatu hanya seharusnya tidak kulupakan.

Angin musim dingin berembus bersamaan dengan jutaan kristal salju seakan menampar wajahku. Membuatnya yang sudah basah terasa berkali lipat lebih dingin.

"Kau mau wine?" tanyanya sembari menuangkan Heavy, wine kesukaannya, dan juga kesukaanku kedalam gelas berukuran medium.

"French Coffee masih menungguku."

"Bukankah kau maniak wine?"

"Setidaknya saat sekarang tidak,"jawabku dengan suara bergetar.

Ia mendekatkan minumannya. Menenggaknya dalam sekali tenggak. Ia bahkan terlihat lebih sempurna dari pertama kali kulihat dulu. Nyaris seperti pahatan pualam tanpa cacat. Wajahnya yang putih mengilat terlihat seperti kristal es di dahan yang terkena cahaya matahari. Aku tidak bisa berkata aku berlebihan, karena memang itulah dirinya. Sangat tenang. Lebih tenang daripada tidur yang dalam.

"Miss Lockhart, jam berapa ini?"

Aku tersentak. Ia membuatku teringat akan perasaan sesak yang tak ingin kupikirkan saat ini. Dan sungguh, demi apapun aku bahkan membenci nama itu.

"Nama margaku masih Vivaldi!"protesku padanya. "Aku hanya ingin tetap menjadi Vivaldi,"lanjutku melembutkan suaraku.

"Kau tidak bisa menyalahi takdir, Dear."

Aku mengulas senyum dalam sebuah ulaman pahit. "I know." Kekecewaan yang ada hanyalah sebuah hal paten yang tidak mungkin lagi berbalik. Ataupun jika waktu bisa diputar layaknya adegan di film-film fantasi, semuanya juga tidak akan merubah takdir. Terkecuali jika aku memutarnya sampai ia tidak dilahirkan.

"Maaf aku telah terlahir sebagai Vivaldi. Maaf aku telah menjadi orang yang tidak seharusnya kau ... Entahlah,"katanya beberapa saat kemudian.

"Kau tidak bisa menyalahi takdir, Dear," ucapku mengutip kalimatnya barusan.

Origami KeseribuWhere stories live. Discover now