Biola

11 1 0
                                    

Seorang gadis termenung di sebuah taman kota. Menikmati setiap desiran angin yang menggoda setiap helaian rambutnya. Rayuan kristal hujan menggelitik kulitnya yang bak pualam. Dingin. Pikirannya kosong. Bukan. Ia memikirkan sesuatu. Mengenang suatu kenangan terakhir yang tersisa. Tidak ada yang tau pasti kenangan apa itu. Bulir-bulir air matanya sepertinya sudah mengering. Sudah tak ada lagi cadangan yang bisa ia keluarkan. Semua habis tak bersisa.

Ia memandang sekeliling. Semuanya masih sama seperti 13 tahun lalu. Kursi tua yang masih ada dibawah pohon. Gereja beraksitektur Barat kuno masih berdiri dengan megahnya. Semua orang berlalu lalang. Tak pernah sekalipun menengok orang disekililingnya. Hidup pada dunia mereka sendiri-sendiri. Tak ada perubahan yang berarti. Terkecuali kehidupannya yang sangat kontras dan hitam putih. Nyaris tak ada warna lain dalam hidupnya.

Ia kembali mengenang. Kali ini lebih jelas.

Gadis kecil itu meniup lilin ulang tahunnya. Sebuah biola kecil merupakan kado paling spesial dari sang ayah. Sebuah biola berwarna merah maroon. Ada ukiran namanya di badan biola itu. Seketika ia memeluk Ayahnya dan ratusan kali mengucap terima kasih. Ia lalu memainkan 'benda kesayangannya' itu dengan membawakan lagu Canon in D milik Pachelbel. Nyaris tak ada nada yang terlewat. Ia melakukannya dengan sangat... Sempurna. Tanpa cela. Tak salah jika ia menyandang julukan Miss Violin di usianya yang masih belia.

"Bukan cuma Ayah lho yang punya hadiah,"ucap ibunya.

"Benarkah?"ucapnya senang.

Ibunda gadis itu memberikan sebuah kertas kepada anak tercintanya. Pantas saja ia langsung bersorak. Ia mendapat sebuah undangan bermain musik di sebuah acara musik berkelas. Dapat dipastikan jika ia adalah pemain termuda dalam acara itu.

***

"Ayah, bolehkah aku bertanya?"tanya gadis kecil itu pada Ayahnya.

"Kau mau bertanya apa, Sayang?"

"Kalau misalnya Ayah sama Bunda pergi, apa Ayah sama Bunda masih bisa ketemu sama Luna lagi?"tanyanya dengan polosnya. Ibunya yang berada di kursi depan hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang berbeda.

"Luna sayang, kalau Ayah sama Bunda pergi, itu tandanya Tuhan sayang sama Ayah dan Bunda."

"Tapi Tuhan kan nggak sayang sama Luna,"ucap Luna yang belum mengerti.

"Siapa bilang Tuhan nggak sayang dengan gadis baik dan cantik seperti kamu? Tuhan ingin kita jadi temanNya. Ayah dan Bunda nantinya akan berada di atas bintang sana. Itu artinya Luna bisa memandang Ayah dengan sesuatu yang lebih indah,"jawab sang Ayah bijak sambil menunjuk bintang-bintang yang ada dilangit. Seolah mengikuti perjalanan mereka menuju ke auditorium tempat Luna diundang. Luna hanya mengangguk-angguk. Padahal ia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan ayahnya. Ia tidak berani bertanya yang lebih jauh kepada orang tuanya.

"Kamu tau, kenapa Tuhan menciptakan langit sebanyak 7 lapis?"tanya sang Ayah balik. Luna menggelengkan kepalanya tanda tak mengerti.

"Karena kita harus menggapai cita-cita setinggi langit ke-7. Kalaupun kita gagal, kita masih ada di langit ke-6. Kamu mengerti kan, Sayang?"

"Iya, Ayah. Pokoknya Luna nanti bakalan jadi pemain biola terkenal di dunia. terus Luna bakal ngajak Ayah sama Bunda liburan ke luar negeri,"jelas Luna khas dengan suara cadelnya. Ia terlihat bersemangat. Kedua orangtuanya tersenyum.

Sayang sekali, impian kecil sang Putri Violin harus kandas. Mobil yang ia tumpangi terjerumus suatu jurang. Ayah dan Ibunda beserta sopir yang mengantar mereka tewas ditempat. Sedangkan Luna sendiri selamat karena ayahnya melempar Luna keluar sesaat sebelum mobil meledak. Seolah tidak puas memanggil kedua orangtua Luna, Dia juga merenggut pendengaran Luna. Atau bahasa kasarnya, Luna tuli.

Origami KeseribuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang