Sebingkai Pigura Angan

29 0 0
                                    

Kelanjutan dari Sebuket Bunga Wisuda

Derai hujan yang cukup deras mengguyur bumi ibukota. Genangan air di berbagai sudut jalan membuatku mengenang dan mengangan. Ya. Hujan memang tentang 1% genangan, sisanya angan dan kenangan. Bagiku keduanya memiliki porsi yang sama. Sama-sama membuat sesak.

Kenangan itu datang ketika dia dengan berani memberikan buket bunga plastik yang saat ini terpajang manis di sudut kamar. Aku tak mau berekspektasi lebih saat itu, bahkan aku menganggapnya sebagai ucapan terima kasih yang memang layak aku terima. Namun rupanya keikhlasan untuk melepasnya terganjar sesuatu yang lebih indah. Perasaannya.

"Kenapa tertawa, Ra?"katanya saat itu,  bingung.

"Mas Natha ini saudaraku, Ris."

Dia mengernyit. "Setauku kamu anak pertama. Kamu nggak pernah cerita kalau kamu punya saudara lain... sepupu?"

"Goodluck, Bro!"ucap Mas Natha lalu melenggang ke arah makanan (lagi).

Dia terlihat kikuk. Berkali-kali tangannya mengusap tengkuk atau rambutnya yang tidak gatal. "Jadi?"tanyanya.

"Apa?"

"Gimana?"

"Gimana apanya?"

"Bagaimana denganmu? Dengan..." Ia memberi jeda. "Perasaanmu?"tanyanya ragu-ragu.

Saat itulah pertama kali seumur hidupku ada orang yang mempertanyakan perasaanku. Jangan tanya bagaimana rasanya. Aku pun tak bisa menjabarkannya dengan mudah.

"Setiap hati selalu menyimpan sebuah nama bukan? Dan ya, aku menyimpan namamu,"jawabku jujur.

Ia tersenyum. Senyumnya indah hingga menyentuh mata. Pun begitu denganku. Tuhan menciptakan keajaiban dengan menciptakan sebuah perasaan yang bersambut. Salah satu kebahagiaan yang akan terpatri hangat.

Tamat? Belum. Cerita pendek ini bukan roman picisan yang akan selamanya berakhir bahagia dengan mudahnya. Sejujurnya aku tidak mengetahui bagaimana akhir dari skenario yang digariskan Tuhan. Namun yang jelas kenangan manis itu akhirnya merupa angan. Impian. Belaka.

"Setiap hati juga menyimpan cita-cita. Selalu ada angan yang ingin diperjuangkan. Aku ingin jadi professional process engineer, juga kamu yang ingin jadi operational director. Bukan begitu, Ris?" Aku memberi jeda. Tidak terlalu lama sampai ia tidak sempat menjawab. "Masih ada waktu untuk kita saling memantaskan diri untuk seseorang yang memang layak nanti." Aku menatapnya, lalu tersenyum.

"Aku akan menunggu,"ucapnya pelan namun tegas.

"Kamu ingat tidak pernah aku ajak melihat hujan meteor? Saat itu kerlip bintang bersentuhan dengan lampu kota, sedekat itu. Kamu tahu, Ris, jarak langit dan horizon akan lebih dekat daripada jarak Aussie-Indonesia yang ada di lembar berbeda di peta."

"Ra?" Ia berucap, getir.

"Aku tidak tau seberapa kuat perasaanku padamu, aku juga tidak tau seberapa kuat perasaanmu padaku. Aku tidak mau kamu atau aku menjanjikan sesuatu apapun. Jika memang dalam perjalanan kita masing-masing nantinya kita akan berlabuh pada orang lain, berarti perasaan kita memang tidak cukup kuat untuk berjuang dalam penantian. Sesederhana itu,"lanjutku tak kalah getirnya.

Kebahagiaan perasaan yang bersambut tak lama menjadi kegetiran yang pilu. Mungkin saat itu aku memang egois hingga ia dan aku sama-sama terluka. Namun sampai sekarang aku tidak pernah menyesal akan pilihanku. Aku bahagia dengan kehidupanku. Hanya saja aku tidak menyangka jika perasaanku masih sama kuatnya seperti lima tahun lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Origami KeseribuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang