Bulan Terbit

21 1 0
                                    

Carine menutup matanya, menghela nafas kemudian menghembuskannya. Matanya terbuka kemudian ia tersenyum. Suara deru ombak di depannya dan angin yang menerpa wajahnya membuatnya lebih bahagia malam ini.

"Selama aku mengamati langit, tidak pernah aku melihat yang seindah ini,"ungkapnya penuh kekaguman.

"Mungkin langitnya tidak pernah keramas. Buktinya ia berketombe seperti malam ini."

Carine terkekeh akan guyonan temannya itu. Seseorang di sampingnya memang selalu saja bisa membuatnya tersenyum, semenyebalkan apapun dia. Carine mengambil posisi terlentang agar bisa melihat langit dengan lebih leluasa. Ia mengarahkan binokulernya ke suatu titik di atas kepalanya. Tak lama ia bergumam, "Great Nebula in Orion." Setelah itu ia tersenyum.

"Kamu mau lihat? Kamu tahu 3 bintang berjajar itu kan, dan bintang itu, dan bintang yang di situ? Kemudian kamu lihat ada beberapa bintang redup di tengah-tengahnya. Arahkan binokulermu ke sana dan kamu akan melihat sesuatu yang luar biasa," instruksinya.

Carine tak bisa berhenti dari kekagumannya akan ciptaan Tuhan di atasnya. Sementara ia melihat teman di sampingnya masih berusaha untuk mendapatkan bintang redup sesuai instruksinya.

"Langit itu indah kan? Kamu tidak akan pernah takut gelap setelah melihat langit yang indah,"ucap Carine. "Karena langitlah kita dipertemukan, karena langitlah kita tidak akan terpisahkan. Karena di langit ada kita, di langit ada cinta, di langit ada cerita,"gumamnya semakin lama semakin lirih hingga tak terdengar.

"Kamu benar. Langit itu indah."

Carine menoleh. "Dapat?"

"Tentu saja!"

***

"Hai, Nathan!"

"Oh, hai!"

Carine mengambil tempat duduk tepat di depan Nathan. Lantas ia mengeluarkan kertas-kertas dan buku tebal dari tas yang sedari tadi ia jinjing. Dengan cepat Carine menulis, membalik-balik buku teksnya, menulis lagi, membalik-balik buku, dan begitu seterusnya.

"Nathan, tugasmu sudah selesai kan? Bolehkah kupinjam?"

Nathan memberi beberapa lembar kertas pada Carine. Carine mengamatinya beberapa saat lalu mengernyit. "Tidak bisa membaca tulisan bebek?" tanya Nathan. Secara tidak langsung ia mengakui bahwa tulisannya seperti tulisan bebek. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bebek menulis, sepertinya tidak akan menghasilkan tulisan yang mudah dibaca.

"Bisa, aku sudah belajar huruf bebek. Hanya saja aku tidak paham bahasa bebek," jawab Carine mengimbangi guyonan Nathan.

Nathan memajukan posisi duduknya. Ia tahu memang tidak mudah untuk memahami 'bahasa bebek', sebutan yang bagus untuk mata kuliah Kalkulus Lanjut. Nathan mengajari Carine dengan pelan, memastikan apa yang diucapkan Nathan dapat dipahami oleh Carine. Carine memperhatikan dengan baik. Sesekali ia mengangguk-angguk. Sesekali ia mengernyit, dan ketika itu Nathan akan mengulangi mengajarkan 'bahasa bebek' hingga tiba-tiba Carine berteriak, "Oh, I see. Terima kasih, Nathan." Carine tersenyum lebar. Sepertinya ia telah paham 'bahasa bebek' itu.

Carine mungkin terlalu serius menyelesaikan garapannya, sehingga ia tidak menyadari Nathan telah beranjak dari tempat duduknya. Nathan berjalan menjauh dari Carine sambil tersenyum. Ia butuh udara segar. Berada di dekat Carine membuatnya seperti akan kehabisan oksigen. Nathan tak mau tertangkap basah senyum-senyum sendiri di depan Carine seperti orang tidak waras.

Carine bukanlah gadis yang cantik dengan tampilan modis ala anak muda jaman sekarang. Ia sangat sederhana, tapi mempesona. Inner beautynya terpancar jelas karena keindahan hatinya. Gadis itu begitu ramah pada setiap orang dengan senyum manis nan tulus yang selalu ia berikan. Sekali lagi Carine melempar senyum seperti tadi, mungkin Nathan akan meleleh saat itu juga. Nathan menguatkan dirinya dan kembali ke tempat duduknya tadi. Ia bertekad untuk melakukan sesuatu hari ini...

Origami KeseribuWhere stories live. Discover now