Origami Keseribu

109 2 0
                                    

Luna memesan dua cangkir cappucino di kedai kesukaannya. Entah kenapa ia dan kekasihnya, Rey, lebih menyukai kopi daripada yang berbau coklat. Pahit yang manis atau manis yang pahit. Entahlah. Ia sendiripun tidak tau. Seringkali ia mendebatkannya bersama.

"Musim dingin yang tidak terlalu dingin," Rey memulai.

"Itu karena kau keterlaluan menyetel pemanas ruang."

"Kau salah."

"Apanya?"

"Ini sudah hampir musim semi. Tidakkah kau ingat?"

Luna memutar bola matanya. Melihat jalanan yang sudah tidak lagi tertutup lapisan putih sepenuhnya. Ia melihat lelehan salju menetes dari ujung daun di ujung dahan yang paling bawah. Ia berusaha melihat kalender dalam pikirannya. Seakan tak percaya waktu melaju sangat cepat. Bahkan ia merasa musim dingin baru sebulan. Atau mungkin, waktu itu relatif?

"Kau tidak ingat?"

"Itu hanya karena aku terlalu sibuk."

"Benarkah? Novel sastra apa lagi yang sedang kau baca?"

"Err.. itu rahasia."

"Kau terlalu membual. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"

Rey menatap Luna lebih intensif. Mencari celah dibalik mata langitnya.

"Entahlah. Aku juga tidak terlalu yakin. Mungkin seorang Medusa."

"Masih saja kau tertarik dengan Yunani."

"Sudah kubilang aku menyukai sastra!"

"Ah, baiklah."

Perdebatan mereka berakhir ketika pelayan muda mengantar minuman pesanan mereka. Jelas saja agak lama. Karena ini waktu istirahat siang. Lebih tepatnya waktu untuk pergi ke kedai kopi. Semua pelayan sibuk dengan pelanggan setianya masing-masing. Sampai-sampai Rey hampir berkenalan dengan pelayan ini kalau ia tidak ingat Luna sedang bersamanya.

Rey mengaduk minumnya pelan. Dahinya sedikit mengernyit. Memikirkan sesuatu. Tak jauh pula yang dilakukan Luna. Bedanya Rey memikirkan wanita yang tertarik sastra dihadapannya itu dan Luna memikirkan sesuatu yang lain. Tetap tentang Rey, dirinya, dan orang lain. Entah apa yang ia pikirkan.

"Bagaimana dengan studi singkatmu di Indonesia?"

"Menyenangkan."

"Apa yang kau pikirkan tentang gadis-gadis disana?"

"Manis. Berkulit cantik. Ramah. Tidak seperti di sini."

"Benarkah? Aku benar-benar penasaran dengan gadis yang mampu mencuri perhatianmu,"kata Luna serasa menggumam.

"Luna?"

"Ah, maksudku gadis Indonesia. Bukankah kau tertarik dengan mereka?" ralatnya, sedikit parau.

Rey memandang gedung tempatnya duduk sekaramg dengan penuh perhatian. Membandingkannya dengan beberapa tahun lalu. Semuanya sudah sangat berbeda. Tidak ada lagi stan penjual makanan Indonesia disana. Nasi goreng dan sate tidak dapat ia temui lagi di Frankfurt. Padahal itulah yang membuatnya jatuh cinta dengan negeri seberang itu.

Tawaran penelitian disana secara keberuntungan menghampirinya. Ia menyetujuinya. Semerta-merta hanya alasan untuk berjumpa dengan masakan Indonesia. Konyol memang, tapi itulah yang terjadi.

"Kau tidak berkeinginan untuk kesana?"tanya Rey.

"Entahlah. Aku tidak tau."

"Ayolah. Kau tidak ingin mencicipi sate?"

"Tempat macam apa itu?"

"Bukan. Sate adalah daging ayam yang ditusuki dan dibakar. Kemudian diberi saus kacang."

Origami KeseribuWhere stories live. Discover now