BAB 1: {Surel}

939 81 23
                                    

Hidup dalam bayang-bayang fata morgana, dirundung tabir ilusi yang membutakan rasa. Yakinkah engkau akan bertahan pada hidupmu yang penuh kepalsuan asa?

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
—🍀Tale of Demigod🍀—
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Orang bilang, setiap manusia adalah tokoh utama di cerita kehidupan mereka. Bukan maksudku untuk merendahkan, tetapi bagiku frasa itu terasa begitu sia-sia. Maksudku, bukankah itu sudah jelas? Kecuali jika kita memang menginginkan diri kita sendiri sekadar berperan sebagai kameo—dan, terkadang, hanya terkadang, kupikir aku tengah melakukannya selama ini.

Aku tidak pernah mempermasalahkan hidupku, meski berkali-kali aku dikata anak pungut—atau bahkan lebih buruk lagi, anak haram dari wanita yang tak diketahui asal-usulnya. Memang, seperti itulah diriku di mata dunia. Ayahku tak pernah memiliki dokumen pernikahan dan seolah kehadiranku disulap begitu saja dari udara kosong. Bukan hal yang aneh jika gunjingan miring tentang keluargaku menyebar dengan cepat.

Tetapi jika kau ingin tahu kebenarannya, sebenarnya keluarga Ayah mengenalku sebagai bayi yang ditemukan di hutan selama penugasan kerja beliau. Mereka pernah memaksa Ayah untuk menyerahkanku ke panti asuhan. Namun Ayah tetap kukuh dengan pendiriannya untuk merawatku. Meski akhirnya aku tumbuh dengan perlakuan tak menyenangkan dari mendiang Kakek, Nenek, Paman, dan Bibiku, aku tetap bersyukur Ayah mau mempertahankanku. Aku tidak sanggup membayangkan diriku tumbuh besar di panti tanpa ada orang yang datang untuk mengadopsi. Banyak rumor tak menyenangkan tentang anak-anak yang bernasib seperti itu.

Tetapi pernah suatu waktu, ketika Ayah berada di bawah pengaruh alkohol di suatu malam bersalju, beliau berkata bahwa ibuku adalah wanita yang sangat cantik, lemah lembut, juga penyayang, dan beliau merindukannya. Aku masih berusia empat tahun kala itu. Beliau tengah duduk di atas kursi goyang, menghadap ke arah jendela. Sementara aku tengah menyesap segelas besar cokelat hangat di depan perapian. Itu adalah kali pertama dan terakhir aku mendengar sesuatu tentang ibuku yang nyaris realistis. Tetapi entah tak paham, entah tak berani, yang jelas aku tidak menanyakan apapun dan membiarkan malam bersalju itu berlalu seolah tak ada yang terjadi. Lagipula aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengungkitnya. Beliau tak pernah membahasnya lagi.

Namun hingga saat ini, perkataan itu masih menyisakan rasa penasaran yang cukup signifikan dalam diriku. Selama lima belas tahun yang berlalu setelahnya, pertanyaanku meruncing menjadi sesuatu seperti: apa sebenarnya hubungan ayah dan ibuku? Tetapi entah bagaimana, selama lima belas tahun itu pula aku berhasil mengubur dan menyembunyikan pertanyaan yang sama jauh, jauh, jauh di dalam hatiku. Sebagian dari sel tubuhku berteriak bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi padaku jika aku memaksa untuk mengungkapnya. Kuturuti peringatan itu. Ditambah lagi, aku sudah tidak pernah bertemu dengan ayahku. Kupikir tak akan ada gunanya juga membahas hal yang bisa saja membuat canggung hubungan kami yang sudah rikuh.

Seingatku Ayah mulai terasa jauh dariku ketika aku berusia empat belas tahun—saat aku menginjak pubertas, barangkali. Aku hanya ditinggal dengan Alannah, wanita tua yang menjadi pembantu rumah tangga kami. Alannah orang yang sangat baik. Aku lebih menyukainya daripada nenekku sendiri. Dia selalu mengajariku bagaimana agar aku bisa hidup dengan damai. Asal aku menerima dan memaafkan, semua akan baik-baik saja, kata Alannah. Mungkin itulah kenapa kepribadianku jadi seperti ini. Tak jarang juga ia menegurku ketika aku melakukan kesalahan. Tetapi aku selalu berusaha menerima kesalahanku itu, dan mencoba memaafkannya yang sempat marah kepadaku. Seperti yang ia ajarkan.

Hingga akhirnya, setelah sekian tahun berlalu, kuputuskan untuk memulai kehidupanku sendiri begitu usiaku sudah cukup untuk masuk ke universitas. Sebagian adalah karena saran Alannah juga. Jika aku ingin hidupku semakin tenang, ada baiknya aku menjauhi hiruk pikuk yang tak berguna. Aku tak perlu tarik urat meminta izin meninggalkan rumah yang pada dasarnya memang sudah sepi di Dublin—Ayah masih sering bepergian keluar negeri karena tuntutan pekerjaan. Selain itu, tak akan ada yang mengkhawatirkanku. Baik itu Nenek, Paman, maupun Bibiku, tentu saja sudah dari dulu bersikap acuh tak acuh kepadaku.

Tale of Demigod: As The Banshee SingsWhere stories live. Discover now