BAB 5: {Kejutan}

424 45 7
                                    

"Kau belum menjawab pertanyaanku," celetukku ketika teringat aku memang belum mendapat jawaban. "Kenapa aku diundang ke Kamp secara mendadak?"

Jawaban yang ia berikan setelahnya sangatlah singkat. Tetapi begitu praktis untuk membuat perutku terasa melilit.

"Perang," kata Lúcás.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
—🍀Tale of Demigod🍀—
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Tetapi simpan saja itu untuk nanti. Aoi akan menjelaskan semuanya kepadamu begitu kita tiba di Kamp." Ia menukas sebelum aku sempat menanyainya macam-macam. Meski perasaan bingung dan terkejut bercokol di dalam diriku, aku tidak punya pilihan lain selain mengulum dan menelannya kembali.

"Aku masih punya pertanyaan kedua," kataku kemudian.

"Mengenai?"

"Orang tuamu." Aku mengerling rikuh setelahnya. "Err... sejujurnya aku tidak terlalu akrab dengan mitologi Irlandia." Ya, aku lebih terfokus pada cerita-cerita Yunani yang selalu dibungkus dalam kisah-kisah fiktif penuh intrik roman picisan—yang sialnya selalu jadi kesukaanku. Ini memang memalukan. Tetapi kepalang, aku terlanjur penasaran.

Kupikir dia akan mengeluarkan dengusan setengah tawa khasnya itu. Ternyata aku salah. "Dewa Laut," jawabnya. "Manannán Mac Lir."

Aku hanya menggumam 'oh', lalu kembali terbungkam. Tidak ada lagi yang ingin kutanyakan. Perihal perang itu meski aku sangat ingin menanyakan detilnya, tetapi dia sudah memberi isyarat enggan menjawabnya.

"Lalu keputusanmu untuk pindah ke Kamp?" Lúcás lantas balas menanyaiku.

Aku menggeleng. "Aku masih bingung. Maksudku, aku baru menerima surelnya kemarin. Semua ini masih belum cukup meyakinkan."

"Aku mengerti," potongnya. Lúcás kemudian berdiri. "Itu jadi tugas lainku juga untuk mendesakmu berangkat ke Kamp secepatnya. Kau hanya diberi waktu satu minggu untuk perpisahan dan lain-lain. Enam hari lagi, siap atau tidak, aku harus sudah membawamu ke sana.

"Kalau begitu aku permisi," lanjutnya.

"Ke mana?" tanyaku spontan.

"Pulang, tentu saja," katanya. "Kau tidak berharap aku tinggal bersamamu, bukan?"

Mataku praktis menatapnya jengah. Rasanya aku mulai benar-benar kesal dengan mulut pintar itu. "Benar. Pergi sana kalau begitu."

Lúcás sudah nyaris sampai di ambang pintu ketika ia berkata lagi. "Sampai bertemu nanti sore. Aku akan mengikutimu ke tempat kerjamu."

Aku pun membelalak. "Bagaimana kau tahu aku bekerja di sore hari?"

"Oh, aku punya jadwalmu. Aku ditugaskan untuk menjagamu, ingat?"

Setelahnya ia benar-benar pergi. Kupikir aku masih bisa mengejarnya di lorong. Tetapi sosoknya bahkan menghilang tanpa jejak. Hanya sebuah genangan air kecil di depan pintuku yang menandakan bahwa sebelumnya ia benar-benar di sini.

🍀🍀🍀

Untuk pertama kalinya aku merasa nihil semangat ketika hendak berangkat bekerja. Tubuhku masih sedikit lelah karena yang terjadi siang ini. Ditambah lagi, mengetahui Lúcás akan mengikutiku ke bar, aku tidak yakin bagaimana aku harus menjelaskannya pada Manajer. Kalaupun dia ke sana sebagai pelanggan, benar-benar tidak wajar mendapati seseorang duduk-duduk di bar tanpa kawan selama empat jam-ditambah lagi aku yakin dia tidak akan memabukkan diri karena tugas penjagaannya itu. Tetapi mungkin akan jadi lebih parah jika dia memilih tempat duduk di deretan meja konter untuk mengawasiku. Ini membingungkan. Sesaat aku berharap untuk bisa bolos bekerja. Tetapi kebutuhan akan uang memang mendesakku. Atau mungkin aku berharap ini semua hanya khayalanku. Tetapi begitu aku keluar flat dan genangan air itu masih di sana dan belum juga menguap bahkan setelah tiga jam lamanya, sugestiku bahwa Lúcás hanyalah imajinatif pun pupus seketika.

Tale of Demigod: As The Banshee SingsWhere stories live. Discover now