Bagian I

123K 1.2K 66
                                    


Malam yang indah. Gambir dan aku sedang menikmati dinginnya hujan. Memang, hujan turun di luar jendela. Tapi aku dapat merasakan dinginnya menyelusup bahkan hingga ke dalam bajuku.

Bagiku, hujan adalah karunia. Kehadirannya pada hakikatnya untuk memberikan rezeki berupa air bersih. Namun, jika ada hal-hal negatif yang ditimbulkan akibat hujan turun, itu bukan salah hujan, apalagi Tuhan. Itu salah manusianya sendiri. Bencana air itu terjadi akibat manusia yang tidak mau membuang sampah; manusia yang tidak mau mengolah sampah; manusia yang menebang pohon; manusia yang membangun rumah-rumah, gedung, dan pabrik yang besar-besar. Maaf, aku jadi berceramah.

Saat ini Gambir dan aku sedang bercerita di atas ranjang. Televisi dibiarkan menyala. Volume suaranya dibiarkan begitu saja, tidak diperkecil. Itu sudah kebiasaan kami. Gambir dan aku sering membuang pasokan listrik bumi dengan membiarkan televisi tetap menyala walau tidak ditonton. Tidak, aku hanya bercanda. Sebenarnya kami sedang menonton televisi. Kami sedang asyik menonton televisi. Haha.

Hujan belum berhenti dari sore tadi. Di sebuah kamar di rumah yang lain, dua orang saling membuka diri. Dua-duanya saling bersilat lidah, memuaskan satu sama lain. Titik air yang memancarkan pantulan temaram cahaya bohlam menetes satu demi satu, melayang dari atas ke bawah, sisanya berkilap di atas kulit yang hangat. Dalam ritme yang tetap, salah satu kanal televisi terus menyiarkan tayangan kerosak karena hujan telah merisak jaringannya. Napas terhirup dari mulut orang lain. Di dalam kamar itu, udara tak sedingin yang semestinya.

Laki-laki yang berada di sampingku umurnya dua puluh tahun. Sama sepertiku. Ia memiliki tubuh yang bagus. Itu sebuah karunia. Lagi-lagi karunia, duh! Gambir memiliki rambut sehitam eboni dan alis yang lebat bagai serumpun ilalang hitam. Aku sering tersesat di dalamnya. Aku sering lupa jalan untuk kembali. Aku lupa seluruh jalan pintas menuju ke rumah. Rasanya ketika aku tersesat, aku seperti dibawanya melayang ke langit dan bumi dibiarkannya tenggelam dalam kegelapan yang hakiki. Hahaha. Aku hanya membual. Jangan diambil hati!

Berdasarkan perasaan yang dadaku rasakan sendiri, asyik rasanya bisa berdua dengan Gambir. Ia selalu memiliki cerita dan mau mendengarkan cerita. Kalau ia sudah bercerita, rasanya aku seperti terbawa masuk ke dalam ceritanya itu. Semakin lama ia bercerita, semakin aku tidak dapat mendengar suara lain yang ada di sekitarku. Mungkin bila di lantai bawah rumahku ada orang yang masuk sambil membawa sandera, kemudian mencabik sandera itu dengan badik yang tajam, aku pun tidak akan menyadarinya. Terlena karena suara yang hangat dan napas yang merengkuh hati.


(lanjut baca deh)

Ruang Penyiksaan (Diterbitkan)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum