Potongan2[Babe]

5.1K 555 72
                                    

It's you, babe

And I'm a sucker for the way that you move, babe

And I could try to run, but it would be useless

You're to blame

Just one hit, you will knew I'll never ever, ever be the same

I'll never be the same. [Camila Cabello— Never Be The Same]

—•—•—

"Setelah empat hari," Aku ingin mengigit serta menahan suara itu pada mulutku. Taehyung berkata, "Apa kabarmu lagi?"

New York rupanya cukup dingin di atap dengan obrolan yang sunyi seperti kami yang seolah dilanda ketidakterkiraan. Pandanganku maju ke atas langit, dengan tinju memalukan yang angin beri sebagai hadiahnya.

"Sangat baik-baik saja, Kim Taehyung. Sejujurnya aku sudah memiliki firasat yang begitu misterius sesaat setelah bangun tidur. Dan masih belum berakhir meski pun telah sampai dan bekerja di kantorku. Wow. Siapa menduga kalau firasatku terjawab dengan hebat pada malam ini. Namun meskipun begitu, aku cukup senang untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan barumu. Oh ya? Bagaimana Korea? Victory Insurance? Dan maaf kalau aku terlalu banyak mengoceh,"

"Tidak banyak. Mingyu mengambil alih, Korea tetap sama. Hanya aku yang tidak. Dan aku suka firasat serta ocehanmu. Senang juga bertemu denganmu lagi,"

Sangat sunyi dan penuh warna gelap yang melingkupi kami. Aku hanya pergi ke bagaimana cara matanya menatapku, dan mengikutinya. "Kau tahu kita tidak lagi sama,"

"Yah," katanya, "aku mengerti. Karena kita tidak lagi sama, maka masa lalu yang berantakan juga tidak akan lagi sama, kan?"

Aku mulai menunduk ke sepatuku, kemudian angin New York cukup perlu untuk diberi pelajaran. Aku semakin kedinginan. "Maksudmu?"

"Kau dewasa, aku dewasa. Itu adalah jawabanku."

Dalam sedetik aku tersenyum dengan nyeri lagi yang menjalari seluruh tulang punggungku. Yang tiba-tiba selalu membuatku harus bertolak ke belakang lagi untuk menyaksikan cerminku dihancurkan. "Yah, dulu kita adalah pengecut yang seharusnya tidak dipersatukan. Dan siapa yang patut untuk disalahkan dari peristiwa itu?"

Sangat lama. Aku tidak mendengar jawaban apa pun dari mulutnya, dan ketika aku berhenti menunduk untuk kembali menjangkau Taehyung. Dia telah selesai menyimpan mantelnya pada bahuku.

Matanya membaca segala tentang kesakitanku secara terbuka sehingga wajah murung itu hadir menguasai diriku. "Maafkan aku. Seharusnya aku tahu sejak tadi kau telah kedinginan,"

Oh. Aku tahu maksudnya, dan kenapa aku ingin memeluknya saat ini juga?

Taehyung, aku merindukanmu. Lagi. Dan yang aku tahu, itu tidak akan pernah berakhir. Sangat berbahaya.

"Terima kasih telah memberiku sebuah perhatian," aku menjawab, "mantelnya sangat hangat,"

Semenit kami diam lagi, dua menit angin berhembus lagi, dan ketiga menit aku dapat merasakan kehangatannya berkeliling di sekitar jiwaku.

Jemari panjang itu hadir secara manis dan tersakiti melalui pagar pembatas, ke tanganku yang memang sangat amat membutuhkan itu. Dan ketika aku harus berurusan lagi dengan tatapannya, wajahnya yang tampan, serta rahangnya punya banyak nyali. Aku tahu bahwa kami mampu untuk membanting kendali.

Taehyung mengangkat kedua tanganku ke udara, tepat di depan wajahku. Dan masih berada dalam genggamannya. Di antara itu, aku mengamati mata serius Taehyung yang teduh namun dalam dan tetap terluka. Lalu berurusan dengan tanganku yang selanjutnya digesek oleh tangannya. "Aneh sekali, kenapa malam ini bisa sedingin ini. Dan aku bersumpah, kau pucat sekali."

Hatiku sakit sekaligus berbahagia mendapatkan kesempatan untuk diperhatikan Taehyung lagi. Yang awalnya tidak pernah bisa kusentuh bahkan hanya untuk bermain di kepalaku. Sama sekali.

Ketika itu. Ketika tanganku mulai menghangat kupejamkan mata, lalu membuat sebuah permohonan antara wanita dewasa dan angin yang masih kanak-kanak. Meminta pada Tuhan untuk menginjak jantung waktu agar berhenti selamanya, dan semuanya akan tetap seperti ini.

"Selama ini kau tidak pernah lagi melirik Seoul?"

Aku menunggu lama untuk memberinya sebuah jawaban, setelah aku benar-benar siap, aku menggeleng. "Tidak. Seoul selalu memicu detak jantungku hingga naik melampaui puncaknya. Dan, New York selalu baik-baik saja."

"Kau trauma?" Ada penyesalan yang merendah, juga warna suara yang begitu biru terdengar pada telingaku.

"Sebenarnya, ya. Maafkan aku, aku tidak dapat memenuhi diriku dengan alasan lain."

"Itu baik," Taehyung tersenyum untukku. "New York memang penyembuh luka, bukan?"

"Mungkin,"

"Hyeobi," Kali ini dia serius lagi. Oh, malam ini memang aneh. Kami dilingkupi oleh keseriusan yang tidak terbatas juga gejolak yang sangat abu-abu.

Kutarik tanganku dari dalam genggamannya yang hangat, lalu memulai untuk mendengarkan ceritanya. "Katakan," kataku, dengan sedikit senyum.

"Kalau aku memperjelas diriku. Apa kau akan mengizinkanku?" (Maksudnya, Taehyung mau serius ke Hyeobi)

—•—•—

"Seoul memang bukan juru bicara kita, Hyeobi. Tapi siapa tahu, New York,"(Taehyung)

Lanjutan hanya tersedia di versi buku...

Buku dapat diorder melalui DM Instagram @/booksbytosa

Max, After Climax [DONE!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang