8

132K 12.6K 146
                                    

KEYFA

Aku bingung harus bersyukur atau tidak, harus senang atau tidak. Semua yang terjadi hari ini benar-benar seperti mimpi—entah mimpi buruk atau mimpi baik. Tapi, satu hal yang aku ingat hari ini, Mama menangis ketika melihat laki-laki yang sudah memberinya satu orang anak tiba-tiba datang dikawal polisi.

Dan aku, aku hanya bisa terpaku tanpa tahu perasaan apa yang lebih mendominasi hati ini ketika melihat orang yang Mama bilang ayah kandungku itu muncul. Aku ragu untuk menyapa, untuk tersenyum. Karena aku tidak mengenalnya. Sama sekali tidak mengenalnya. Dia hanya orang asing bagiku. Orang asing yang sayangnya harus aku terima bahwa dia berstatus sebagai ayah kandungku.

Wisnu benar-benar membuktikan ucapannya, kekuatan seperti apa yang ia miliki sampai bisa menemukan keberadaan lelaki kurus setengah baya itu. Hanya dalam lima hari pencarian ia bisa menemukan keberadaan ayah kandungku. Awalnya aku mengira dia hanya sekadar bercanda, tapi setelah melihat foto yang ia kirim hari itu, hatiku bergetar.

Lalu hari ini, tepat saat aku hendak melepas masa lajang. Ia datang. Tanpa berbicara banyak, duduk di sebelah penghulu dan menjadi wali nikahku. Aku berusaha untuk tidak menangis, tapi sungguh pertahanan berlapis yang sudah kupersiapkan dari semalam runtuh begitu saja ketika melihatnya. Lalu, kepalaku menoleh ke arah Mama yang duduk di sebelahku, ia pun ikut meneteskan air mata walaupun langsung ia seka dan tersenyum padaku.

Satu lagi fakta yang baru kuketahui, ayahku seorang napi. Rasanya menyesakkan. Entah, aku tidak bisa mengungkapkannya lewat diksi. Ayah kandungku hanya bisa hadir ketika akad saja, setelah itu polisi kembali membawanya pergi. Desas-desus cibiran orang kian ramai memasuki telingaku. Apalagi tahu yang datang menyaksikan akan nikah. Mereka menilaiku, menjadikanku bahan untuk gibah.

Aku tahu, aku anak dari seorang narapidana.

Rangkaian acara ijab kabul sudah selesai dilaksanakan. Kini tinggal menunggu gelaran resepsi pernikahan yang akan digelar di tempat yang sama seperti acara ijab kabul pagi ini.

Langkahku yang hendak memasuki ruang ganti pengantin terhenti begitu telingaku menangkap sayup-sayup obrolan dari dalam.

"Kamu gila, Wisnu!"

Kalimat pertama yang aku dengar. Meneguk ludah dengan kepayahan, aku semakin bergerak mendekat ke pintu ruangan untuk lebih jelas mendengarkan percakapan itu.

"Kamu mempermalukan Mami dan Papi. Kamu nggak dengar banyak orang yang ngomongin ayahnya Keyfa. Penilaian mereka tentang narapidana jelas negatif, kalau saja Mami tahu dari awal, Mami tidak akan segan-segan membatalkan pernikahan ini."

Jantungku rasanya dipukul ribuan batu hingga mengundang rasa sesak yang tiada henti. Sabar, Keyfa. Ini adalah konsekuensi yang harus kamu tanggung. Ya, aku hanya bisa memberi semangat untuk diriku sendiri.

Aku belum mendengar Wisnu berbicara untuk menanggapi ucapan Tante Viona.

"Bagaimana kalau citra perusahaan rusak gara-gara mereka tahu besan Papi seorang penjahat? Bagaimana jika pesaingnya memanfaatkan situasi ini untuk menyudutkan perusahaan Papi?"

"Cukup, Mi. Aku akan menanggung risiko dari pilihanku ini. Mami dan Papi tidak perlu ikut campur."

Hanya itu yang Wisnu katakan, sebelum aku mendengar derap kakinya menuju pintu, aku bergegas pergi dan bersembunyi. Pura-pura tidak mendengar apa pun hari ini adalah pilihan yang paling tepat.

**

Pernikahanku dan Wisnu dianggap sah di mata hukum dan agama. Banyak tamu yang datang pada saat resepsi untuk mengucapkan selamat dan memberi kado pernikahan. Aku dipaksa tersenyum bahagia sepanjang acara dari akad sampai resepsi. Belum lagi, kebaya dan gaun resepsi yang super ribet harus kupakai. Dan kakiku pegal akibat memakai heels sepanjang hari. Saat aku uring-uringan, aku melihat Wisnu masih setia mengumbar senyum. Dia benar-benar totalitas dalam berakting.

Pasutri KampretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang