2. I know, I'm not the only one

9 3 2
                                    

Pikiran Anna kosong. Ia tersenyum lirih pada Bram. Tak ada satu kata yang keluar dari mulutnya. Tetesan air mata yang membasahi pipi Anna telah mewakilkan beribu kata dan rasa yang ingin diucapkan. Walaupun belum sepenuhnya menjawab penasaran dalam diri Bram.

Tak ada nafsu makan dalam diri Anna. Ia bahkan tak menyadari bahwa tangan dan mulutnya telah bekerja sama untuk tidak menyetujui rencana otak dan hatinya. Sampai akhirnya makanan itu habis, tangan Anna masih bergerak untuk meyuapi mulutnya.

"Hey, are you okay?" Bram duduk di samping Anna.

Anna menatap kosong Bram dengan mata birunya. Tersenyum kecil lalu menunduk perlahan. Dunia ini kejam, memang. Tapi, tak ada yang bisa dilakukannya. Dunia juga kejam pada orang lain. Bahkan mungkin ada yang lebih parah penderitaannya dibandingkan apa yang didapatkan oleh Anna.

"Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa mencari aku. Aku akan stay di posko pengobatan atau dapur darurat."

Bram pergi meninggalkan Anna dengan membawa nampannya dan nampan Anna yang telah kosong. Air mata kembali mengalir di sudut matanya. Sesak itu kembali, membawa perasaan-perasaan lainnya yang tak dapat Anna pahami.

Anna berjalan menjauhi posko dapur darurat, menuju pinggiran lapangan. Ia butuh sedikit ruang untuk mencerna hal yang terjadi hari ini. Anna menepuk-nepuk pakaiannya yang dirasa melekat debu yang tebal.

Anna mendapati tangga menuju bangku penonton. Ia menaiki beberapa anak tangga dan duduk di tempat yang sekiranya sedikit tenang dan masih kokoh.

Jemarinya kembali mengetuk layar ponsel. Menari-nari dengan lihai, membuka folder-folder yang berisikan hal pribadi yang ingin ia simpan sendiri. Foto ibunya, ayahnya, adik lelakinya serta anjing kesayangannya berada di folder yang ia beri nama 'unconditional love'. Dilihatnya sisi teratas layar ponselnya, 73%, setidaknya jika ia hemat, ia bisa menggunakannya hingga dua hari kedepan.

Anna memutar video-video kebersamaannya dengan keluarganya. Dihati kecilnya yang paling dalam, ia sangat berharap mereka semua akan selamat. Perih, ketika bayangan-bayangan kesendirian menggentayanginya.

"rrrr....rroughhh..hfft"

Suara erangan membuat Anna menunda kesedihannya. Itu terdengar seperti hewan, harimau? Hanya saja suara itu menggambarkan sosok yang lebih besar dibanding harimau dengan usaha-sosok tersebut-yang ingin membuat agar suaranya terdengar lembut dan halus.

Anna beranjak perlahan ketika ia berhasil mendengar suara langkah setelah mempertajam pendengarannya. Dinding stadion bagian atas yang roboh, terdengar bergerak. Rengkahan itu besar, sehingga Anna berjalan dengan hati-hati.

Pandangan Anna semakin gelap karena stadion bagian paling atas tak berpencahayaan. Semakin ia keatas, semakin tak yakin ia dengan apa yang ia lihat. Sepasang bola mata merah menangkap basah dirinya yang sedang mengendap-endap mencari tahu apa yang ada dibalik bongkahan tembok bangunan ini.

Anna mengerjapkan matanya untuk meyakinkan dirinya dengan yang baru saja ia lihat. Benar saja, tak ada apapun dibalik bongkahan besar itu. Hanya ada kegelapan yang menyembunyikan tumpukan batu, seng dan besi.

Anna turun dengan gontai. Beberapa anak tangga terakhir menuju lapangan, ia melihat Bram yang berlari menuju arah dirinya. Pria itu memasang raut muka yang cemas.

"Kenapa kau naik ke atas sana?" tanyanya ketika jarak mereka menipis.

"Nothing. Hanya ingin menjelajahi tempat ini."

Bram tampak mengernyitkan keningnya. "Disana bahaya, kau tahu?"

"Setidaknya terlihat kokoh."

"Jangan kau ulangi lagi. Selama belum ada peringatan aman, jangan dekati bangunan-bangunan yang rawan akan rubuh," titah Bram.

Opposition SideWhere stories live. Discover now