Hello Again ( Part III )

65.1K 2.9K 17
                                    

Abbey memasuki rumahnya dengan lesu. Dia bahkan tidak mengucapkan salam seperti biasanya. Meski Jhonny menggodanya pun, Abbey tidak menghiraukan dan terus berjalan menuju kamarnya.

Di kamar. Abbey hanya tiduran menatap langit-langit kamarnya yang bercorak langit malam. Abbey memikirkan perkataan Sandy soal Calvin. Calvin adalah duda beranak satu. Hal itu membuat Abbey sadar, banyak sekali perubahan yang terjadi, dan itu sedikit mengejutkannya karena ia tidak pernah membayangkan perubahan yang terlalu signifikan seperti itu.

Seperti apa rupa anaknya? Secantik apakah wanita yang menjadi ibu dari anaknya?
dan kenapa dia menjadi duda sekarang? Apakah mereka bercerai? Atau...istrinya meninggal dunia?

Abbey memiringkan badannya, berusaha menarik tas yang tadi ia lemparkan begitu saja di samping nakas tempat tidurnya. Setelah dapat, ia mengeluarkan isi tasnya hingga barang-barangnya berceceran keluar. Lalu ia mengambil ponselnya, menekan sejumlah angka, kemudian mulai menunggu nada tunggu di telinganya berubah menjadi bunyi ceklek telepon yang diangkat oleh si penerima.

"Hallo, Jhonny! Ada yang ingin kutanyakan!" Abbey menelepon Jhonny, kakaknya, yang kamarnya berada bersebelahan dengan kamarnya sendiri.

"Astaga! Untuk apa kau meneleponku? Kita, kan, bersebelahan kamar!"

"Ah..aku malas keluar kamar," jawab Abbey. "Sudah, tak usah cerewet! Jawab saja pertanyaanku!"

Terdengar Jhonny mendesah tertahan di seberang, "Baiklah, apa yang ingin kau tanyakan?"

"Benarkah Calvin seorang duda sekarang?" Abbey bertanya dengan semangat. "Kapan dia menikah?"

"Hah?! Astaga.. pertanyaan macam apa itu?" Jhonny mengacak-acak rambutnya. "Sejak kapan kau jadi penasaran dengan kehidupan orang lain?"

"Ah sudahlah, jawab saja!" Abbey menaikkan nada bicaranya. "Anggap ini bayaran karena kau merahasiakan soal Calvin dariku." Ia mulai mengungkit lagi masalah Jhonny yang tidak memberitahukan pada Abbey kalau Calvin adalah dosen di kampusnya.

"Yah, dia memang pernah menikah 6 tahun yang lalu, aku datang ke pernikahannya saat itu," desah Jhonny.

"Apa?! Kenapa hal sepenting itu tak kau beritahukan padaku?"

"Apa hubungannya denganmu?" sergah Jhonny. "Lagipula saat itu kau masih di asrama sekolahmu di London, percuma juga kalau ku beritahu—"

Abbey tidak membiarkan Jhonny menyelesaikan kalimatnya dan langsung memutuskan sambungan telepon, kemudian bangkit dan berlari menuju kamar Jhonny. "Jhonny!! Buka pintu kamarmu!!"

Jhonny membuka pintu kamarnya dengan gerakan malas, lalu sedetik kemudian pemuda itu nyaris terjungkal ke belakang karena Abbey mendadak menerobos masuk kamarnya. "Kau ini perempuan atau bukan, sih? Kekuatanmu terkadang di luar batas kelembutan perempuan seharusnya," sindir Jhonny, sambil memegangi dahinya yang terkena hempasan pintu.

"Aku ingin mendengar cerita lengkapmu tentang Calvin," kata Abbey. Gadis itu sudah duduk tenang di atas kasur Jhonny, dengan kedua kakinya diangkat bersila ke atas kasur.

"Kau sudah bertemu dengannya, ya?" tanya Jhonny, tapi ia tidak memerlukan jawaban Abbey. "Memangnya apa urusannya denganmu tiba-tiba kau ingin mendengar cerita tentang pria itu."

"Kau lupa? Dia cinta pertamaku," jawab Abbey, sumringah. "Ku kira dia masih sendiri sampai sekarang, aku tidak melihat tanda-tanda pria yang sudah menikah bahkan memiliki anak darinya..."

"Sepertinya kau sudah mendengar cukup banyak, siapa yang memberitahukanmu?"

"Sandy," jawab Abbey, dan ia bisa melihat rahang Jhonny sedikit mengeras saat mendengar Abbey menyebut nama sahabatnya. "Aku ingin mendengar langsung darimu yang pasti lebih tahu dari siapapun tentang Calvin."

Jhonny bergabung dengan Abbey di atas kasur. "Kau ingin bilang kalau kau bermaksud mendekati Calvin?"

"Apakah itu terlihat jelas?" Abbey membeo.

Jhonny menyentakkan pandangannya jauh dari Abbey menuju pintu. "Jangan macam-macam, Abbey. Kau tahu perbedaan umur kalian—sekarang, lebih baik kau kembali ke kamarmu dan mendinginkan kepalamu." Jhonny menarik tangan Abbey, menyeret gadis itu keluar dari kamarnya, lalu menutup pintu tepat sebelum gadis itu berusaha masuk kembali ke kamarnya.

"Jhonny! Aku belum selesai bicara!" teriak Abbey, ia menggedor pintu Jhonny berkali-kali. "Buka pintunya!"

"Tidak!" teriak Jhonny dari dalam. "Aku tidak menerima konsultasi seseorang yang terlalu buta mencintai seseorang tanpa berpikir jauh ke depan seperti kau."

Abbey menyentakkan kakinya keras-keras ke lantai dengan kesal. Satu-satunya orang yang dianggap paling kuat untuk membantunya, ternyata tidak bisa membantunya seperti yang ia harapkan.

"Kau benar-benar tidak ingin membicarakannya denganku?" Abbey berusaha merayu Jhonny, ia merendahkan nada suaranya, lalu mulai mengeluarkan sedikit rengekan manja seperti yang biasa ia lakukan jika ingin meminta dibelikan sesuatu.

Terdengar suara pintu yang terbuka pelan. Jhonny hanya membukanya selebar setengah wajahnya. Abbey melihat sebaris rantai pengait pintu yang terbentang sejajar dengan ceruk leher Jhonny. "Kuingatkan padamu, Abbey," kata Jhonny, "Pria seusia Calvin sudah tidak cocok lagi dengan permain cinta-cintaan yang ingin kau lakukan dengannya, lagipula—ia tidak sebaik yang kelihatannya." Jhonny meloloskan desahan panjang. "Pria selalu memiliki sisi gelap yang tidak terlihat oleh perempuan sepertimu yang sudah terlalu buta," tambahnya, sebelum menutup pintunya, diikuti suara putaran anak kunci yang membuat Abbey melengos kecewa, karena itu berarti Jhonny tidak menerima pembicaraan lebih lanjut mengenai Calvin.

***

Sandy memandang pasrah sahabatnya yang kini sedang asyik menatap Calvin dari kejauhan. Sudah seharian ini Sandy menemani Abbey berkeliling hampir ke seluruh sudut kampus, hanya untuk memuaskan hasrat Abbey mengagumi ketampanan Calvin. "Abbey, benar kau serius ingin mendekatinya?"

Abbey menjawab dengan sorot mata yang berbinar, "Tentu! Aku sangat serius!"

Sandy mendesah frustrasi mendengar jawaban Abbey yang sangat terdengar antusias. Ia kenal betul watak sahabatnya itu. Sekali Abbey berniat melakukan sesuatu, maka sesuatu itu akan ia kejar sampai tujuannya terpenuhi. Sandy tidak bisa bayangkan bagaimana keseharian Calvin meladeni Abbey nanti, dan yang paling Sandy takutkan ialah, jika nantinya Calvin menolak Abbey. Sandy tidak akan tega melihat Abbey merasakan patah hati. Sahabatnya itu terlalu berpikir lurus.

"Sandy? Are you still here?" Abbey melambaikan tangannya di depan wajah Sandy.

Sandy pun tersadar dari lamunannya sendiri. "Abbey, pikirkanlah sekali lagi, please?" Sandy kembali berusaha untuk mengubah keputusan Abbey, meskipun dia tahu itu akan sia-sia.

"Sandy, tenang saja..." Abbey menepuk pundak Sandy. "Percayalah padaku. Kau tahu? Rasanya bukan aku banget kalau kalah sebelum berperang," kata Abbey dengan penuh percaya diri.

Sandy menyerah. Abbey memang kepala batu. "Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Sandy. Paling tidak dia harus tahu apa-apa saja sepak terjang Abbey untuk mendapatkan Calvin.

Abbey mengembangkan senyumnya yang Sandy rasa – adalah senyum terlebar selama ia mengenal Abbey. "Aku berencana mengajukan diri menjadi asistennya."

Hot Duda [VERSI INDIE DARI INTOXICATING LOVE]Where stories live. Discover now