The Plan Is Begin ( Part II )

52.1K 2K 17
                                    

Abbey memutar pelan kenop pintu ruangan Calvin. Kepalanya dilongokkan ke dalam-dan dia tidak menemukan Calvin di sana.

Mungkin dia sedang ada kelas.

Abbey masuk, lalu meletakkan kardus – berisi barang-barang penunjang pekerjaan asisten – nya di atas meja yang sudah disediakan Calvin untuknya. Abbey bisa mengenali itu mejanya, dari papan nama bertuliskan lecture assistant di atas meja yang berhadapan dengan meja Calvin.

"Baiklah, mari kita mulai menata!" serunya pada diri sendiri.

Abbey sibuk sendiri dengan barang-barangnya; menata alat tulis di meja, memasukkan notes-notes kosong di dalam laci, juga menaruh beberapa foto bersama keluarganya, yang sudah dibingkai apik.

Begitu asyiknya dia sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Calvin. Pria itu bersandar di ambang pintu. Berdiri sambil kedua tangannya bersendekap di depan dada. "Sudah mulai menata?"

"Waaaa!" Abbey terlonjak kaget. Hampir saja ia menjatuhkan pajangan bola kaca saljunya. Untungnya Calvin bisa menangkap bola kaca itu sebelum mendarat di lantai. Pria itu melakukan gerakan yang sedikit mirip akrobat saat menangkap bola kaca itu.

"Maaf, aku mengejutkanmu," kata Calvin seraya memberikan bola kaca itu pada Abbey.

Jantung Abbey masih berdegup kencang, "Tidak, hanya saja, tadi aku terlalu asyik sendiri-sampai tidak menyadari kedatanganmu."

Calvin memandangnya cemas, "Kau tak apa?"

Abbey tersenyum untuk meyakinkan Calvin, "Sure! Aku tak apa-apa." Lambat laun napasnya mulai bergerak teratur.

"Anyway, mejamu jadi cantik sekali." Begitu komentar Calvin saat melihat meja asistennya yang biasa kosong, kini sudah didominasi warna-warna semarak. Abbey paling suka dipuji, apalagi jika Calvin yang memuji. Rasanya ia bisa terbang ke langit saat ini juga.

"Ah iya, Calvin. Tadi pagi, aku membuatkan ini." Abbey merogoh tasnya, mengeluarkan kotak bekal ukuran sedang berbentuk kepala beruang. "Anggap saja sebagai permulaan bekerja baik denganmu." Ia menyodorkan kotak bekal itu pada Calvin.

Calvin sedikit kesulitan mengatur ekspresi wajahnya sendiri yang sedang berusaha menahan tawa. "Aku punya kotak bekal yang persis sama di dalam lemari dapurku," kata Calvin. "Milik anakku, hanya berbeda warna saja—but, thanks." Pria itu meletakkan kotak bekal dari Abbey di atas meja, lalu mulai beralih duduk di kursi kerjanya.

Abbey merasa bodoh karena menggunakan kotak bekal yang bentuknya sangat tidak cocok untuk pria seumuran Calvin, dan ia mengutuki kekonyolannya dalam hati. Hari ini, langkah pertamanya untuk mengambil hati Calvin tidak sepenuhnya berhasil, karena meskipun sedikit, ia sadar Calvin menertawakannya sembunyi-sembunyi.

"Kau sudah selesai menata?" tanya Calvin sambil membolak-balikkan tumpukan kertas yang sejak Abbey datang sudah berada di atas meja pria itu.

"Sepertinya sudah—kau sedang mengerjakan apa?" Abbey bertanya, bergerak penuh rasa ingin tahu ke samping Calvin.

Pria itu tidak mengenyahkan pandangannya dari tumpukan kertas itu sama sekali ketika mulai menyahuti, "Memeriksa hasil kuis minggu lalu," jawabnya. "Mahasiswa baru dari strata satu," imbuhnya.

Abbey mengangguk. "Sepertinya hasilnya tidak terlalu memuaskan." Ia mulai berkomentar saat menangkap kilasan warna merah dari spidol yang ditorehkan Calvin di hampir semua kertas yang ia periksa. "Terlalu banyak warna merah di sana—oh...aku tidak tahan melihatnya."

Calvin terkekeh, "Kuharap aku tidak perlu melihat warna merah di kertasmu nanti." Ia mengerling pada Abbey sesaat sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya.

Abbey tertawa kecil, "Kalau itu sampai terjadi, berarti aku membutuhkan perlindunganmu untuk bersembunyi dari Jhonny—kau tahu, kan, dia itu cerewet sekali." Abbey menangkap pergerakan tangan Calvin yang berhenti tiba-tiba. Aura pria itu sesaat terasa kaku sekaligus tidak terbaca. Abbey mengira ia telah mengatakan sesuatu yang salah, ia baru saja hendak mengoreksi ucapannya ketika tiba-tiba Calvin mendongak menatap Abbey sambil perlahan berdiri dari kursinya, hingga mau tak mau Abbey harus mengikuti arah pandangnya dan berganti mendongak ke atas karena perbedaan tinggi mereka yang terlalu kentara.

"Kau butuh sesuatu?" tanya Abbey, karena Calvin tak kunjung berbicara melainkan hanya memandangi gadis itu dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti. "Cal?" panggilnya lagi.

"Maaf—aku sedang berusaha mengingat sesuatu yang penting," jawab Calvin, seolah baru tersadar dari lamunan. "Aku tidak bisa mengingat apa yang Mrs. July perintahkan padaku tadi..., mungkin kalau kau tidak keberatan...,apa kau bisa menolongku untuk menanyakan hal itu padanya?"

"Mrs. July dari bagian akademik?" Abbey membayangkan seorang perempuan gendut berambut ikal pirang yang sedari awal ia masuk kuliah, sering terlihat mengenakan dress selutut berwarna biru muda, dan memiliki senyuman yang ramah. "Tentu aku tidak keberatan. Aku akan kembali dalam waktu 5 menit." Abbey melesat cepat, beralih dari sisi Calvin menuju pintu, membukanya, lalu membiarkan pintu itu berayun menutup pelan di belakang punggungnya.

Setelah langkah kaki Abbey tidak terdengar gemanya lagi, Calvin merentangkan tangannya ke atas sambil menahan nafas. Tentu saja ia masih mengingat apa yang ditugaskan Mrs. July padanya, ia hanya beralasan demikian untuk menjauhkan Abbey darinya.

Mendengar Abbey menyebut nama Jhonny, membuatnya teringat akan pertemuannya dengan pria itu semalam. Jhonny mengajaknya bertemu di sebuah kafe dekat rumahnya yang baru saja dibuka. Calvin masih ingat bagaimana raut wajah Jhonny yang terlihat lebih kaku dari seorang Jhonny yang biasanya, sehingga ia memutuskan untuk tidak terlalu banyak basa-basi dan langsung menanyakan apa yang menjadi keperluan Jhonny memanggilnya ke kafe itu.

"Abbey has a crush on you, Calvin..." benak Calvin mengulangi perkataan Jhonny padanya, yang hingga detik ini tidak bisa ia percaya. 

Hot Duda [VERSI INDIE DARI INTOXICATING LOVE]Where stories live. Discover now