P I L

86 15 19
                                    

Ini cuma cerpen ringan



Aku Ingin Terbang


27/12/20


Aku berharap bisa terbang seperti kawanan burung. Supaya aku tak perlu lagi berjalan melewati gang-gang sempit, juga agar aku dapat memetik buah ranum langsung dari tangkainya tanpa harus melontarkan batu sekepalan tangan.

Andai aku bisa terbang ... mungkin aku saat ini sedang menembus awan-awan sambil tertawa lepas tanpa ada yang melarang. Tidak kawan sepermainan pun Ayah dan Ibu yang menatap tajam. Sebab mereka ada di bawah sana melakukan aktivitas monoton seperti biasa. Bedanya tidak ada aku di antara mereka yang nantinya jadi sasaran bentakan.

Kalau bisa hanya aku saja yang bisa terbang. Jangan sampai kawan-kawan lainnya bisa terbang, mereka pasti akan mengelilingiku lalu beryel-yel: "Lina anak bodoh dan aneh" berulang kali dengan irama yang telah dibuat sedemikian rupa sambil bertepuk tangan sebagai instrumennya. Ayah dan Ibu juga jangan sampai bisa terbang sepertiku. Aku takut nanti dikejar-kejar lantas dipaksa melakukan ini-itu sampai menangis ketakutan, seperti saat di rumah.

Ah ... andai aku terlahir dari ludah sembarang manusia, aku yakin bisa menghidupi diriku sendiri. Asalkan saat setelah lahir aku sudah setinggi perut manusia dewasa, bisa berjalan, berlari, dan berbicara.

Tetapi manusia tidak dilahirkan sebegitu mudahnya. Manusia harus lahir dari rahim seorang wanita. Ia juga harus memulai hari pertamanya di dunia menggunakan tubuh kemerahan yang rapuh dan tangisan kencang. Ia hanya bisa dirawat oleh manusia dewasa. Ia masih harus melalui perjalanan panjang mulai dari berjalan dengan kedua kaki, belajar makan sendiri, serta belajar mengucapkan bahasa sehari-hari untuk bekalnya nanti.

Setelah itu manusia mulai memasuki dunia pendidikan, dibuat sedemikian rupa agar mampu bertahan di dunia yang serba melelahkan, begitu kata orang-orang. Sebenarnya aku tidak terlalu tahu seperti apa dunia yang melelahkan itu. Tetapi sepertinya aku bisa mengira bahwa perlakuan Ayah dan Ibu padaku adalah salah satu bentuk dunia yang melelahkan.

Maka dari itu kalau bisa manusia memiliki sesuatu seperti pendamping agar ia tak terlalu lelah berinteraksi dengan dunia yang melelahkan. Seperti aku yang menjadikan kucing oranyeku, Momo, sebagai teman kesayangan. Saat mengeong rasanya semua beban di kedua pundakku menguap begitu saja. Momo memang ajaib. Ia tak perlu mencekokiku dengan obat agar sembuh, cukup dengan tingkah manisnya aku merasa mampu bertahan sampai ajal datang.

Tetapi sangat disayangkan Ayah dan Ibu tidak menyukai itu. Terutama Ibu sendiri. Alasannya karena kucingku terlalu sering mengeong dan membuat Ibu jengkel, seperti saat Momo tidak sengaja memakan jatah ikan yang telah Ibu masak dengan susah payah. Lalu sebagai hukumannya aku harus berdiri di pojok ruangan selama satu jam, atau mengepel lantai seluruh ruangan sambil terus dimarahi dengan kalimat-kalimat yang menukik tajam.

Kalau aku sedang sial sekali, Ayah akan mengotori lantai lagi dengan muntahannya. Lantas tanpa meminta maaf ia berjalan sempoyongan ke kamar dengan mengganggap sebotol minuman yang membuatnya mabuk tak keruan. Atau paling parahnya aku harus menyaksikan kemarahan Ibu pada Ayah karena uang untuk bertahan hidup telah raib di meja perjudian. Setelah itu kata-kata kebun binatang akan keluar dan lemparan benda dari kaca semakin memanasi keadaan.

Kalau sudah separah itu aku akan membawa Momo keluar rumah, mengajaknya ke taman kota sambil menikmati atraksi pancuran air yang baru dibuka beberapa minggu lalu.

Ayam dan Ceker BesinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang