°Pulang ke Rumah°

96 15 15
                                    

Anggap saja sebagai selingan nyemil jajan












Chapter 1: Peron Kota Hum

Adlar Zayan

Di umur saya yang keenam belas tahun ....


Saya menghabiskan masa remaja di Kota Hum. Letaknya seratus meter dari pantai berombak tenang. Pagi-pagi sekali saya dibangunkan bau asin yang memasuki celah jendela, kadang suara desis panggangan di dapur, atau denting lonceng menara yang berdiri kokoh sekitar lima puluh meter dari tempat tinggal.

Hal pertama yang saya lakukan setelah beranjak dari tempat tidur adalah menyingkap tirai, membongkar kuncian jendela, membukanya lebar--lantas menghirup dalam-dalam bau rumput yang baru dipangkas tukang kebun.

Tidak seperti remaja kebanyakan, saya selalu bangun lebih awal. Tentu saja bangun sedikit lebih lambat dari tukang kebun dan Bibi Ann, tetapi saya satu langkah lebih cepat mengawali pagi ketika kabut masih tebal, udara dingin melambai pelan, dan jalanan masih lengang. Saya biasa bangun pagi agar mendapat bagian ikan segar di pasar dekat dermaga.

Sepeda yang biasa terparkir di garasi saya keluarkan. Rangka sepeda saya bersihkan dengan kain perca. Sembari membersihkan noda-noda yang bercokol, saya memeriksa berapa banyak karat yang memenuhi setiap pelek sepeda. Rawannya besi berkarat adalah hal yang tidak bisa dihindari bila tinggal di dekat laut. Meskipun tampak karatan dan peyot di beberapa bagian, sepeda ini masih cukup kuat untuk mengangkut dua orang. Jadi saya tanpa ragu memasang jok boncengan buatan tangan untuk calon penumpang istimewa nantinya.

Memeriksa sepeda dan mendapatkan ikan segar adalah alasan saya bangun pagi, namun alasan utama kenapa membuat kebiasaan ini karena saya tidak sabar menanti hari esok.

Tolong jangan salah paham. Saya bukan remaja yang dipenuhi semangat muda. Setiap pagi kotak surat bakal disesaki banyak paket dan bundel surat, jadi saya harus memeriksanya rutin bila tak ingin kertas-kertas itu terburai seperti limbah rumah tangga.

Alhasil setiap hendak pergi ke pasar ikan, saya selalu mengecek kotak surat yang menempel di gapura depan rumah. Saya menghapal setiap sensasi yang dirasakan--pemandangan kotak pos bercat cokelat yang mengelupas dan berkarat, tekstur kasar saat disentuh, decit aus engsel, dan bau lembab yang menguar begitu saya buka kotaknya--bahkan bila terbaring di kamar dan menutup mata, ingatan saya akan kotak surat terekam sangat jelas.

Lima atau enam surat per hari datang mengisi kotak surat. Kadang-kadang satu paket yang dibuntel asal pakai kertas koran (Tuan Jankin mungkin bakal mencak-mencak melihat ini). Surat-surat tersebut datang dari kolega Paman Han, kenalan jauhnya, atau berita terhangat negara konflik yang dikemas ke dalam surat alih-alih koran. Surat-surat itu tak pernah berhenti berdatangan. Paman Han tak pernah absen dari berita-berita yang silih berganti mendesak kotak suratnya.

Dari semua yang terkumpul selama ini, hanya ada tiga surat yang ditujukan kepada saya, itu pun sudah tiga tahun lalu. Setelah itu sampul surat bertulis tangan latin halus--yang sangat ingin saya lihat--tidak pernah terselip di antara surat dan paket lagi. Padahal karena itulah saya rela memeriksa kotak surat selama tiga tahun. Lebih lagi bila suatu hari kotak surat berdebu dan reyot karena tidak ada surat yang bertengger, saya akan tetap menanti.

Pagi ini, sama seperti biasa, saya memberikan bundel surat dan dua buah paket ke tukang kebun. Semua itu untuk Paman Han, saya tidak berhak menggeledah lebih lanjut.

Saya tidak kecewa, namun dada sedikit sesak saat saya mengayuh sepeda ke pasar ikan. Selalu ada perasaan mengganjal di tiap pagi karena yang saya tunggu sejak lama tak pernah datang. Namun perasaan itu terhapus seiring saya mengayuh sepeda, diganti dengan senyuman lebar. Saya lirik sekilas jok boncengan yang terpasang kuat lalu tersenyum semakin lebar dan membiarkan udara beku memenuhi rongga mulut.

Ayam dan Ceker BesinyaWhere stories live. Discover now