Totalitas

60 10 4
                                    

[Tulisan ini dibuat dalam rangka menjaga eksistensi AyamLincah di dunia oranye setelah berbulan-bulan hiatus]

Cerpen ringan
1053 kata


Sekian lama tidak bertemu, tubuh Ria jauh lebih berisi. Lengannya membengkak, kakinya juga ikut membengkak. Wajah Ria membulat saat tersenyum. Semuanya menjadi lebih jelas saat kulihat perutnya.

Ria hamil.

Setelah berbulan-bulan mendekam di rumah sendirian, tahu-tahu perutnya membundar saat berkunjung kemari. Dia tersenyum menyapa sambil mengelus perut buncitnya.

Aku kaget; aku syok; aku bungkam. Tidak perlu dideskripsikan bagaimana air mukaku. Coba kaukira sendiri saja: tidak ada angin; tidak ada hujan, tetangga yang rumahnya satu gang denganmu ternyata sudah berbadan dua.

"Boleh aku duduk sekarang? Capek, lho, berdiri terus kalau sedang mengandung gini," kata Ria begitu.

Maka kupersilakan dia duduk di sofa terempuk. Kukira Ria bisa duduk sendiri, ternyata tangannya harus menyangga punggung sofa, sementara tangan lainnya menahan perut besar yang seakan-akan mau lepas.

Aku tergopoh-gopoh membantunya. Wajah Ria sedikit pucat, tapi dia masih sempat tersenyum dan bilang terima kasih. Lalu dia ngomong begini: "Tidurku enggak sama kayak dulu. Aku kudu tidur menyamping." Jeda sebentar. Ria mengusap perutnya lagi. "Tapi gak apa. Aku sudah enggak sabar nunggu bayiku lahir."

Kami saling berpandangan. Dia membalas tatapanku dengan mata berkaca-kaca. Airnya--dengan sangat cepat--berkumpul di sudut mata, tinggal menunggu satu-dua detik sebelum turun menyungai melalui pipi.

Buru-buru kuberi tisu, tapi dia menolak. Ujung jarinya menyeka halus air mata yang mengalir. Ria lantas bilang, "Ayo temani aku beli sayuran. Kamu mau, 'kan?"

Bagaimana mungkin aku menolak setelah melihatnya menangis kecil? Aku sudah tentu menuruti apa kata Ria. Tanpa pikir panjang kutenteng keranjang, kugenggam uang belanja (tentu pakai uang Ria), dan tinggal berangkat saja.

Saat hendak memanaskan mesin motor, Ria satu langkah lebih cepat mencegatku. "Ayo jalan kaki aja," tuturnya begitu. "Nini enggak perlu khawatir, pasti nanti yang dicibir cuma aku."

Kuabaikan, dia menahan lengan. Kutolak, dia merajuk. Kularang, dia menjadi berang. Yasudah kuturuti daripada nanti menangis.

Bagaimana, ya? Aku kasihan dengan Ria yang agak kepayahan berjalan. Tidak seperti Ria yang dulu, dia sekarang terbungkuk-bungkuk menyangga bobot tubuh. Tangannya menekan pinggang, sementara tangan lainnya--lagi-lagi--mengusap perut. Andai tadi kutolak keinginannya, tidak perlu tungkai kakinya tertekuk menahan beban.

Andai hanya aku yang berangkat, Ria tidak akan ditatap orang-orang yang berpapasan dengannya. Lihatlah mereka itu! Ada yang alis sulamnya menekuk landai; sebagian besar membeliakkan kedua bola mata seakan-akan mau copot dari rongganya; sisanya komat-kamit menggerakkan bibir.

Andai Ria tahu, aku pun bertanya-tanya: ada apa ini? Kenapa bisa begini? Bagaimana bisa? Kapan mengandungnya? Siapa yang bertanggung-jawab? Di mana melakukannya?

Sakit. Kepalaku sakit karena penasaran, bukan sakit secara harfiah. Rasanya sakit saja melihat teman yang kesehariannya hobi baca di kamar, pendiam, dan tidak banyak tingkah tiba-tiba mengandung besar.

Aku jadi bersalah. Seharusnya aku sering berkunjung ke rumah Ria. Padahal rumah kami masih satu gang. Padahal bisa kalau hanya mengobrol sebentar. Padahal aku punya waktu banyak tapi alasannya selalu sibuk.  Jika sudah begini, rasanya aku memang orang yang tidak peduli-peduli amat padanya. Bisa saja Ria mulai depresi atau bagaimana, dia kan tinggal sendiri jadi bisa saja rawan begitu--duh aku mikir apa ini!

***


Kami berdua hampir tiba di sebuah toko kelontong yang ramai ibu-ibu. Mulai dari sini aku tidak tahan merasakan suasana yang menggerahkan hati. Ibu-ibu itu menatap sinis pada kami (lebih tepatnya kepada Ria). Ria yang suka senyum itu tidak gentar. Dia tidak mengurangi kecepatan berjalan. Tangannya terus mengusap perut. Dan yang terpenting Ria memasang wajah secerah mungkin.

"Tadi kamu bilang capek, tapi kenapa kok sekarang pengin jalan?" tanyaku yang ingin membuat Ria fokus padaku.

"Biasa ... ngidam."

"Kok bisa?"

"Kamu belum pernah mengandung, makanya enggak tahu rasanya ngidam itu gimana."

Aku tidak tahu mau memberinya pertanyaan apa. Dan lagi ibu-ibu mulai mengerubungi kami berdua.

"Suaminya siapa, Nak Ria?" tanya Bu Prapdi Gincu sembari menyenggol kecil bahu Ria.

"Owalah ternyata jaman sekarang yang pendiam belum tentu baik-baik!" sahut Bu Joko Nyalak.

"Anu ibu-ibu," potongku cepat. "Permisi, kami mau beli sayur."

"Eh sini-sini tak belikan. Mau sayur apa, to? Gubis, kangkung, bayam, apa toge?" Keranjang di tanganku disahut secepat kilat. "Kalian ngobrol sama ibu-ibu di sini, ya. Enggak bakal dimarahi, kok."

Mati sudah! Ria digiring ke salah satu bangku. Dia seperti ikan goreng yang dikerubungi lalat ijo. Suara dengungan sayap lalat ada di mana-mana, mengelilingi ikan yang tidak dilindungi tudung saji.

"Dek Ria ini nikahnya di mana, to, kok tiba-tiba jadi gini?" tanya Bu Prapdi. Dia tersenyum terlalu lebar.

Ria menundukkan kepala, dia memainkan jari-jari, lalu menggeleng tidak jelas.

"Suaminya di mana? Kerja apa suaminya? Di mana, hah?" Bu Joko Nyalak menoel pipi Ria. "Ternyata kamu nakal, yo."

Semua ibu-ibu kompak bersuit heboh. Mereka saling pandang dan memasang wajah semringah sedangkan Ria menundukkan kepala semakin ke dalam.

Aku sudah tidak tahan lagi! Kusahut balik keranjangku yang belum diisi sayur-sayuran. "Ibu-ibu monggo dilanjutkan rumpinya. Saya sama Ria mau pulang, nggeh! Kulo nuwun."

Ria yang disindir, aku yang panas. Karena saking panasnya, aku sampai terlalu kasar menarik tangan dia. Ria jadi tersentak ke depan. Tubuhnya yang tidak siap jadi roboh.

Dan semua terjadi begitu saja.

Aku kalang kabut, tanganku luar biasa gemetar. Ibu-ibu berteriak histeris. Yang punya toko lebih histeris lagi, "Panggil ambulans! Panggil ambulans!" teriaknya.

Ria jatuh tengkurap. Serius tengkurap. Perutnya yang besar itu ketindihan kena banting lantai semen. Wajahnya yang ikut terantuk lantai keras tidak kelihatan. Tangannya tergeletak layu. Dia tidak bergerak.

"Dek Ria, Ya Allah!" Bu Prapdi Gincu menarik Ria. "Ya opo iki!"

Bu Joko Nyalak ikut menolong, lalu dia bilang, "Loh kok kempes perutnya?!"

"Lah?!" sahutku.

Bu Prapdi meraba perut Ria. "Lah ini apa kok kayak karet di perutmu?!"

Ria yang dari tadi diam saja akhirnya nyengir, "Hehe."

Ambulans yang sudah terlanjur dipanggil datang ke tempat kejadian. Petugas-petugasnya sigap datang membawa tandu. "Permisi ibu-ibu!"

"Sek mas, Ria ngapusi! Heh ayo ngomong, kok nyengir aja dari tadi."

Ria akhirnya buka suara setelah dimarahi habis-habisan oleh Bu Joko Nyalak. Jadi kurang lebih begini isinya:

Akhir-akhir ini Ria jadi suka nulis gegara banyak baca novel. Sehabis baca cerita tentang perempuan yang dihakimi seenaknya karena hamil di luar nikah, dia jadi pengin ikut-ikutan menulis topik serupa. "Yasudah aku sekalian totalitas kalau nulis," ucapnya. "Aku makan banyak sampai gemuk, beli silikon perut besar di hape. Terus aku sok-sokan jadi calon Ibu selama berbulan-bulan biar tahu rasanya hamil. Ternyata enggak enak ..."

"Enggak enak hamil?"

"Enggak enak digunjing ibuk-ibuk!"[]





Selasa, 13 April 2021
Hai :D





Ayam dan Ceker BesinyaWhere stories live. Discover now