Unconditionally~2

1.1K 182 79
                                    

Unconditionally
By in_stories

•••••

Kernyitan di dahi Ali muncul tatkala mendapati sebuah sepeda motor matic terparkir di halaman rumah. Selesai memarkirkan mobil, dia mengambil langkah memasuki rumah lewat pintu depan yang terbuka sempurna. Tidak mungkin lelaki. Laily tidak akan berani memasukkan tamu pria sekalipun yang berkunjung adalah teman Ali sendiri.

"Assalamualaikum?"

Suara dari dua wanita secara bersamaan menyambut atas salam yang Ali ucapkan. Benar. Laily tengah menerima tamu seorang wanita. Namun, di antara sekian banyak teman Laily yang Ali kenal, wajah wanita itu masih terlalu asing di matanya. Bahkan, dia tidak pernah melihat wanita berambut panjang dengan wajah oriental tersebut terpampang di salah satu profil kontak teman atau kenalan yang Laily simpan.

"Siapa?" Ali menatap sang istri sembari menurunkan tangan yang baru saja dicium olehnya.

"Temen SMP-ku, Mas." Laily tersenyum. "Dila namanya," ujarnya memperkenalkan.

Ali mengangguk dan memberi senyum ramah sebagai tanda perkenalan kepada wanita tersebut. "Oh, pantesss saya nggak tau. Soalnya temen SMP Lail, saya cuma kenal beberapa."

"Iya, Mas." Dila menjawab sambil mengulas senyum sopan.

"Dia tetangga desaku, Mas." Laily lantas menarik sang suami untuk ikut duduk bersama di sofa. "Cuma, setelah lulus SMA dia merantau dan nikah sama orang sana. Kita baru ketemu lagi dua minggu lalu waktu kita nginep di rumah Ibu. Tapi, aku lupa nggak cerita kamu," tutur Laily menjelaskan.

"Deket sama rumah Ibu ternyata." Ali mengangguk-angguk. "Saya kira tadi siapa. Tumben-tumbenan ada tamu." Ali terkekeh. Tak berapa lama, dia bangun dari duduknya. "Kalo gitu lanjutin aja ngobrolnya. Saya mau bersih-bersih dulu. Baru pulang kerja." Ali meringis, tidak enak hati.

"Oh, iya, Mas. Silahkan."

Seraya membawa tas ranselnya, Ali berlalu menuju kamar pribadi. Namun, dia tidak langsung membersihkan badan. Ali justru menjatuhkan tubuh ke ranjang dan langsung mengoperasikan ponsel untuk bermain gim daring.

Suara perbincangan dua wanita itu perlahan memudar dan hilang dari pendengarannya. Tak berselang lama, bilah pintu jati terbuka, memperlihatkan Laily yang berjalan konstan ke arahnya sembari menyuguhkan senyuman ayu yang tidak pernah gagal mendebarkan dada Haidar Ali.

"Katanya mau mandi? Kok, masih mainan hp?" Laily menyimpan teh panas di nakas samping ranjang dan duduk di sisinya.

"Istirahat bentar," jawab Ali pendek.

"Dia ke sini mau minjem uang, Mas." Laily mulai bercerita. Meskipun Ali tidak akan mempermasalahkan, sudah menjadi kebiasaannya untuk menceritakan segala hal yang menyangkut rumah tangga -kecuali sikap salah satu iparnya.

"Berapa?" Ali menatap wajah sang istri.

"700 ribu."

"Buat?"

"Bayar kekurangan biaya rumah sakit anaknya, Mas. Kemarin sempet dirawat tiga hari gara-gara tifus."

"Anaknya udah sehat?"

"Udah dibawa pulang tadi pagi." Laily mengangguk. "Suaminya meninggal satu tahun lalu, Mas. Dia balik ke sini karena ibunya yang sakit-sakitan udah nggak bisa hidup sendiri. Anak tunggal. Di rumah dia sekarang nyoba buka warung kecil-kecilan."

"Nggak usah ditagih kalo bukan dia sendiri yang ke sini buat bayar." Ali berucap seraya menarik dua tangan Laily hingga membuatnya terjatuh ke dalam pelukan. Kemudian, Ali memberinya kecupan di dahi. "Kasihan. Nggak usah ditagih. Kita lebih dari cukup kalo cuma buat makan."

UnconditionallyWhere stories live. Discover now