Unconditionally~7

1.1K 175 63
                                    


Unconditionally
By In_stories

•••••


"Yang ukuran satu kilo nggak ada, ya, Mbak?"

"Kebetulan habis, Mas. Tinggal yang 65 gram."

Ali mengembuskan napas lirih. Tidak ada pilihan lain, ia pun akhirnya mengambil 10 batang cokelat ukuran 65 gram. Selepas melakukan transaksi, ia bergegas keluar dari minimarket dan kembali melajukan kendaraan menuju sebuah toko bunga yang searah dengan jalan pulang.

Pertengkarannya dengan Laily sore kemarin berlanjut dengan kebungkaman masing-masing. Pagi tadi sebelum pergi bekerja pun, mereka hanya melakukan sedikit interkasi dengan dibumbui kedinginan. Jam makan siang yang biasanya diisi dengan saling bertukar pesan pun, juga pada akhirnya berlangsung dengan kekosongan. Memang bukan yang pertama mereka bertemu dengan pertikaian-pertikian yang membuat komunikasi menjadi terganggu dan bermasalah. Namun, pertengkaran mereka kemarin sore menjadi pertengkaran terbesar sepanjang dua belas tahun bersama.

Ali sadar bahwa ucapan yang ia lontarkan sesaat sebelum keluar kamar begitu menyakiti perasaan Laily hingga membuat sikap wanita itu sangat dingin dan seperti enggan berdekatan dengannya. Di tengah kondisi psikis Laily yang sedang kacau, juga situasi di antara mereka yang selalu membuat Laily merasa kecil dan rendah, sebagai suami dia seharusnya lebih bisa mengerti keadaan dan menjaga ucapan. Tetapi, Ali hanya berusaha untuk membuat Laily tersadar bahwa ia sama sekali tidak mempermasalahkan ketidak-hadiran buah hati dalam rumah tangga mereka.

Selain daripada itu, ada rasa kecewa saat Laily seperti tidak percaya pada apa yang semua dia katakan. Tidak seharusnya Laily meragukan perasaan cintanya yang sudah kuat tertanam sejak lama. Sehingga, amarah yang sekuat tenaga dibendung, pada akhirnya tidak lagi sanggup ditahan dan keluar dalam bentuk ucapan menyakitkan.

Tidak cukupkah bukti yang ia berikan selama ini?

Memberhentikan mobil pada area parkir toko bunga, Ali lantas keluar dari sana sembari mengoperasikan ponsel. Ia bermaksud untuk mengucap maaf terlebih dahulu setelah memikirkan itu selama perjalanan pulang dari kantor. Toh, tidak ada gunanya bila ia tetap mempertahankan gengsi.

Yang, maaf. Aku salah.
Nggk seharusnya
aku ngomong gitu.



Hanya ada satu tanda abu-abu. Ali pun kembali melesakkan gawai ke dalam saku kemeja dan memasuki area dalam toko.

"Edelweis-nya ada nggak, Mbak?" Ali kembali bertanya sesaat setelah menyebutkan pesanan pertama berupa sebuket bunga mawar putih yang kini tengah dirangkai oleh seorang karyawati.

"Ada, Mas." Pelayan mengangguk dengan senyum senang. "Kebetulan tadi siang barangnya baru aja dateng dari Jawa Timur. Mau pesan yang jenis buket apa?"

"Posy aja, Mbak."

Si pelayang mengangguk. "Mohon ditunggu, Mas."

Ali tersenyum. Ia kemudian meminta greeting card berwarna merah hati dan membawa kertas itu ke sebuah meja dekat jendela yang sengaja dipersiapkan bagi pelanggan ketika menunggu pesanan siap.

Ketika telah duduk, Ali terdiam untuk beberapa saat, menatapi kertas itu dengan pikiran yang berputar mencari diksi indah sebagai kalimat permintaan maafnya. Namun, hingga lima menit berlalu, satu kalimat pun tidak berhasil ia ketemukan. Sudah sangat lama ia tidak lagi membuat kalimat-kalimat indah untuk wanita itu karena memang dirinya tidak berbakat untuk menjadi seorang pujangga. Semenjak menikah, ia lebih sering menunjukkan perasaan cintanya lewat physical touch ketimbang memberikan kata-kata cinta yang dulu sering ia dapatkan dari internet, lalu memodifikasinya sebelum diberikan kepada Laily dengan sebatang cokelat. Dan dulu, Laily selalu mampu menebak bahwa kata-kata yang diberikan tidak murni dari hasil pemikirannya. Kendati demikian, hal itu tidak pernah gagal membuat kedua pipi Laily bersemu merah.

UnconditionallyWhere stories live. Discover now