Unconditionally~6

1.3K 162 55
                                    

Lebih rumit dari filsafat.
Lebih misterius dari tasawuf.
Apa itu?
Hati seorang wanita.

~Sanjuun_

•••••

Laily menatap kembali rumah sederhana bercat putih dengan spanduk bertuliskan jasa jahit pakaian itu seraya mengambil tarikan napas beberapa kali. Ada sebuah ketidakrelaan yang terang-terangan menginstruksi dirinya untuk berbalik badan dan pergi dari sana. Namun, Laily sedang tidak ingin mendengarkan ucapan apapun dari hati terdalamnya. Ia sudah memikirkan tentang banyak hal selama seminggu terakhir dan ia telah bersiap untuk segala konsekuensi dari apa yang akan menjadi keputusannya.

Seharusnya, dalam hal ini ia harus membicarakannya terlebih dahulu kepada Ali. Namun, alih-alih meminta waktu untuk berbicara bersama, Laily justru memutuskan segalanya sendirian dengan sebuah anggapan bahwa apa yang dia ambil adalah kebenaran dan jalan terbaik untuk permasalahan yang mengukung dirinya dan rumah tangga mereka. Ilmu yang Ali miliki serta kepercayaan diri bahwa lelaki itu mampu bersikap adil menjadi penguat atas pemikiran sepihaknya. Lagi pula, kedatangannya masih sebatas untuk menilai dan memastikan. Jadi, pendapat Ali masih tidak terlalu ia perlukan.

Kemudian, tatapan dan atensinya, kini tercurah seluruhnya kepada suara riuh anak-anak dari masjid yang berjarak dua puluh meter dari tempatnya berdiri. Gelak tawa yang bercampur dengan suara anak-anak mengaji membuat senyum kecilnya terkembang, selaras dengan langkah yang ia titi untuk mendekat walau ada satu dua rasa berat yang menjerat di sela jemari kaki.

Sekelompok ibu-ibu yang tengah menunggu anak-anak selesai mengaji di teras masjid tampak menatap ke arah kedatangannya dengan senyuman. Mengeratkan genggaman pada paper bag di tangan kanan, Laily pun tersenyum dan menyapa orang-orang tersebut dengan salam yang mendapat balasan tak kalah menenangkan.

"Maaf, numpang tanya, itu benar rumahnya Ibu Marwah?" Dengan sopan, Laily bertanya sambil menunjuk ke arah rumah tadi.

"Bener, Mbak." Seorang ibu-ibu menjawab. "Mau jahit, ya, Mbak?"

Laily mengangguk. "Iya, Bu. Tapi, rumahnya nutup."

"Ibu Marwah lagi ngajar ngaji, Mbak."

Tatapan Laily langsung bergerak ke dalam masjid. Tetapi, sosok Marwah tidak mampu ia lihat jelas karena tertutupi oleh tubuh anak-anak. Ia kemudian ikut bergabung duduk di teras setelah ibu-ibu yang lain mempersilahkannya dengan sangat baik. "Masih lama, ya, Bu?"

"Enggak, Mbak." Ibu yang pertama menjawab, kembali menimpali seraya melihat arloji pada pergelangan kiri. "Setengah jam lagi selesai. Nanti dilanjut lagi sehabis maghrib."

Laily mengangguk dan berterima kasih. Selanjutnya, ia memilih diam dengan tatapan yang memaku ke dalam masjid. Ada sekitar dua puluh anak-anak dengan kisaran usia 5 sampai 10 tahun di dalam sana. Terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam mengajar, Marwah tidak sendirian. Ia dibantu oleh dua remaja putri yang mendapat giliran mengajarkan iqra khusus perempuan, serta seorang remaja lelaki yang mengajarkan iqra khusus untuk anak lelaki. Sementara untuk anak lelaki yang telah Al-Quran, mendapat jadwal mengaji selepas maghrib yang diajar langsung oleh imam masjid. Begitulah, informasi yang berhasil Laily dapatkan dari hasil perbincangannya dengan ibu-ibu yang terduduk di sisi kanannya.

Waktu bergulir. Satu persatu anak-anak mulai meninggalkan masjid dan Laily bisa melihat Marwah tanpa penghalang. Wanita itu memang mempunyai kecantikan sesuai dengan yang ia lihat di foto. Laily tahu, dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk menebak karakter seseorang. Namun, dilihat dari bagaimana kesabarannya ketika mengajar, serta senyum tulus yang tercipta ketika muridnya pamit untuk pulang, Laily sudah mampu menilai bahwa Marwah adalah sosok wanita yang sabar, penyayang serta mandiri.

UnconditionallyWhere stories live. Discover now