Unconditionally~8

1.3K 174 124
                                    

Unconditionally
By In_stories

•••••

Laily menutup kitab suci selepas merampungkan Surah Al-Baqarah sebagai sarana menentramkan diri. Namun, kala menemukan waktu masih menunjuk pukul 03.45 pagi, ia akhirnya meneruskan bacaan sembari menunggu subuh tiba.

Lima belas menit berjalan, ayat demi ayat masih terus terlantun dengan suaranya yang serak, mengisi keheningan pagi dengan asa baru yang berhasil ia satukan selepas melakukan sujud panjang penuh air mata. Berjam-jam mengurung diri di bilik kamar, Laily telah banyak merenungi perihal segala permasalahan yang terjadi. Menelaah juga melihat permasalahan dengan sudut padang lain sehingga ia menyadari bahwa apa yang Ali katakan mengandung kebenaran.

Kemarahan-kemarahan dalam dirinya juga telah padam sempurna. Meninggalkan jejak berupa rasa bersalah karena tidak seharusnya ia berlaku dan berkata demikian kepada sang suami. Terlebih, hal itu terjadi atas provokasi dari pihak lain yang tidak sepantasnya mencampuri rumah tangganya.

Tetapi, sebagai wanita, sebagai makhluk yang Tuhan ciptakan dengan naluri yang lebih sering mengedepankan perasaan, bukankah sebuah kewajaran bila apa yang Farah katakan menjadi topik utama pikirannya?

Namun, di sisi lain, bukankah akan menjadi percuma bila ia melakukan segalanya hanya untuk menyenangkan atau memenuhi permintaan orang lain? Padahal, pihak yang seharusnya ia bahagiakan adalah Ali?

Dan karena pemikiran itu lah, semalam tadi Laily kembali dihantam godam kesadaran! Pengorbanan yang dia ucapkan dengan lantang tidak lain hanyalah sebuah omong kosong! Sekuat apapun ia memaksa diri untuk menerima dan mengikhlaskan, kenyataannya itu adalah kedustaan yang nista.

Menghela napas, Laily kembali mencoba menenangkan diri dengan kalimat istighfar yang tergumam di sela bacaan yang terhenti karena teringat pengabaian yang dia lakukan pada sang suami. Suara milik lelaki itu jelas mengutarakan sebuah penyesalan, tetapi rasa malu menjadi pemenang pertarungan dan berakhir dengan ia yang tetap bertahan dengan diam. Entah akan bagaimana pandangan dan penilaian pria itu terhadapnya setelah apa yang terjadi. Laily masih membutuhkan waktu untuk bertemu dan meminta maaf kepada lelaki itu.

Karena di sini ... ia lah yang lebih banyak menebar bara api.

04.30 WIB, azan terdengar. Laily berhenti sebentar untuk mendengarkan, lalu melanjutkan bacaan sampai iqamah dikumandangkan. Selesai dengan dua qabliyah subuh dan dua rakaat fardhu-nya, ia keluar dari kamar dan menuju dapur. Bukan sebuah kebenaran bila pendiaman juga dia lakukan pada kedua orang tuanya.

Di sana, ia hanya menemukan keberadaan sang ibu. Tidak ada suara sang ayah atau Zahwa yang biasanya ikut membantu pekerjaan dapur.

"Pagi, Bu?" Laily menarik kursi meja makan tepat di sisi Salwa sebelum meraih gelas dan menuangkan teh hangat dari teapot.

Salwa mengulas senyum atas kedatangan sang putri. "Pagi?" balasnya, senang. "Udah enakan?" Salwa bertanya sembari mengupas bawang merah.

Laily mengangguk dengan seutas senyum, tahu betul maksud pertanyaan ibunya. "Alhamdulillah udah agak tenang."

Senyum Salwa tampak semakin lebar. "Alhamdulillah," ucapnya dan mengusap lengan Laily.

"Ayah sama Zahwa ke mana, Bu?" Laily meraih pisau dan mulai memotong sayur terong.

"Jalan-jalan. Udah seminggu Ayah nggak olahraga pagi."

Kening Laily sedikit berkerut. "Zahwa nggak sekolah?" tanyanya seraya menoleh kepada Salwa.

UnconditionallyWhere stories live. Discover now