Raden Raynar Lasmana

81 19 0
                                    

Kepada Serdadu kuat ku:)

Raden Raynar Lasmana : KESATRIA YANG BERKEMAUAN KUAT

Jangan pernah menjadi orang pintar yang membodoh-bodohi orang lain. Gunakan kecerdasanmu untuk hal baik. Semesta tidak kurang orang jenius, semesta menginginkan orang-orang jujur berhati mulia.

***

Terik mentari menyongsong menjelang ashar. Menjadi teman setia pemuda yang melangkah menyusuri jalan Ibukota dengan karung lusuh dipundaknya. Tangan kanannya menggenggam sebuah kayu panjang yang ujungnya diberi besi bengkok untuk memudahkannya meraih sisa-sisa botol plastik.

Raynar menyibak tempat sampah yang tutupnya sudah tidak ada, rusak agaknya. Bau sampah yang menyengat makin terasa dipenciuman. Namun Raynar tak merasa terganggu, sudah biasa. Rasa jijik ia buang jauh-jauh dan semakin hari kian lenyap begitu tangannya memilah-milah sampah plastik.

Makanan busuk, sisa-sisa alat rumah tangga, seringkali malah ulat-ulat ia temukan menggeliat disekitaran sampah. Raynar tak goyah, perang dengan kelaparan adalah hal yang lumrah setiap hari. Hal yang juga menyedihkan.

Ia memasukan beberapa botol minum yang ditemukan, lalu memasukannya dalam karung. Raynar menekannya masuk agar masih menyisakan ruang. Lalu lalang kendaraan membuat Raynar menghela nafas, dia menjauhi bak sampah dan memilih berteduh di bawah pepohonan rindang.

Masih terasa panas yang menyengat, tapi lebih baik. Angin tipis-tipis menerpanya, raynar menatap nanar sebuah rumah makan Padang disebrang jalan. Perutnya terasa keroncongan sejak tadi, hanya bisa diisi oleh air mineral.

Lauk-pauk terjejer di atas piring yang di susun. Terlihat sangat enak dibalik etalase kaca. Menggugah siapapun yang melihat. Raynar lagi-lagi mendesah kecil. "Laper." bisiknya, memegang perutnya.

Raynar merogoh saku celana pendeknya, ada uang. Tidak sampai 20.000. Tapi mungkin, untuk seporsi nasi matang tanpa lauk akan cukup. Raynar hendak menghampiri, ia sudah bersiap-siap menyebrang. Tapi jantungnya berdetak menyakitkan melihat dua orang anak-anak keluar dari sana, tertawa bersama orangtuanya. Mereka mulai memasuki mobilnya.

Pemandangan itu mengingatkannya pada dua orang adik perempuannya, bagaimana bisa dia berpikir untuk kenyang sendiri sementara keluarganya kelaparan dirumah. Raynar mengepalkan tangannya, kadang kala ia ingin egois.

Raynar ingin makan, dia lapar. Lelah dan lelah, tergiur untuk menepi dari masalah. Tapi keadaan tak pernah memberinya kesempatan untuk sejenak saja beristirahat. Ia mungkin bisa berhenti berjuang dan dunia akan baik-baik saja kecuali keluarganya. Raynar melirik langit yang terasa mencekik. Membiru tapi sembilu.

Tidak makan pagi dan siang memang kenapa? Pikir Raynar mengejek diri sendiri. Dia meraih karungnya, lalu dipanggul kembali.

Semesta sedang bercanda dengan nasibnya. Tidak lucu bahkan tak pernah berhasil buat tawa. Jadi mungkin yang lebih tepat adalah, semesta tengah mengujinya.

Umur Raynar baru 16 tahun, ia berhasil sekolah atas kegigihannya dalam belajar. Beasiswa dan bantuan untuk siswa tak mampu ia dapati. Raynar masuk sekolah yang cukup elit. Dia tidak akan mampu masuk sana kalau bukan karena kecerdasan dari Tuhan. Harusnya ia baru akan pulang sekitar jam 14.00 tapi untuk Raynar, pihak sekolah membolehkannya pulang lebih dulu sebab Raynar harus mencari pundi-pundi uang. "Capek." lirih Raynar, lalu terkekeh. "Siapa yang akan peduli? Nggak mulung ya nggak makan, Raynar." ucapnya.

Kemiskinan Yang Tak TerlihatWhere stories live. Discover now