Raksi Sanubari

30 11 1
                                    

Kepada suara hatiku :)

Raksi Sanubari : WANGI SUARA HATI NURANI

Meski terluka dan hatimu diselimuti kegelapan, tetaplah hidup. Karena meski kamu membencinya sekalipun, kamu pantas untuk tinggal.

***

Sebagai anak perempuan pertama dari tiga bersaudara, raksi mengemban harapan besar orang-orang disekitarnya. Tak jarang, ia merasa terbebani sekaligus lelah terus hidup demi mewujudkan harapan orang lain.

Umurnya baru 20 tahun. Namun seolah beban hidup panjang sudah ia rasakan. Raksi menghela nafas sepanjang perjalanan pulang dari kerja.

Jam menunjukkan pukul 02.14 dini hari, jalan begitu sepi dan agak menegangkan. Kasus-kasus pembegalan sering terjadi di daerahnya. Tapi seolah hatinya telah mati, raksi tak menakuti hal itu.

Jika dia di begal dan mati, maka yasudah. Jika tidak, ya alhamdulilah. Simpel, pikirnya. Raksi suka mengendarai motor malam-malam, dia menikmati tiap detiknya dibawah bintang-bintang.

"Capek banget," keluhnya, mengingat kejadian dirumah membuatnya enggan cepat-cepat sampai. "Pengen mati."

Raksi memejamkan mata sejenak, sebelum menarik gasnya lebih kebawah. Untuk urusan ngebut-ngebutan, raksi jagonya. Jatuh di aspal jalan pun sudah sering ia alami. Kapok? Tidak. Raksi malah menyukainya.

Perempuan berkerudung merah itu menggeleng-gelengkan kepalanya untuk sekedar mewaraskan kembali pikiran. Sejak tiga tahun terakhir, raksi selalu berpikir untuk mati.

Walau sudah ia atasi sebaik mungkin, keinginan itu terus berdatangan dan tak hilang. Raksi meringis, membiarkan bening air matanya mengalir. Rasa sesak menggerogoti dadanya akibat ulah orang tuanya.

Dulu, mereka hampir ingin bercerai. Raksi yang menjadi saksi pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi. Meski kini semua tampak baik-baik saja, raksi mengalami perubahan dalam sikap dan perilakunya.

Ia lebih banyak diam dan trauma akan pertengkaran. Semakin beranjak ia dewasa, raksi mengalami masa-masa lebih sulit. Mengenai ekonomi keluarganya yang mengenaskan.

Impiannya untuk berkuliah terkubur dalam-dalam. Selepas lulus SMA, raksi segera mencari pekerjaan untuk membantu keluarganya. Ibu dan Ayahnya sudah mewanti-wanti Raksi dengan berkata.

"Kalau kamu kuliah, adik-adikmu tidak sekolah."

Raksi tau persis apa maksudnya, ia harus rela mengalah. Walau sesekali Ibu selalu menyemangati.

"Kamu bisa kuliah sambil kerja, raksi. Kalau kamu mau, ibu bisa bantu jualan."

Tidak, raksi tidak tega membiarkan Ibunya yang sudah lelah urusan rumah harus turut mencari nafkah demi pendidikannya. Lagipula, sejak setahun yang lalu, raksi sudah lupa impiannya berkuliah.

Ketika sampai rumah, raksi tidak langsung mengetuk pintu. Dia sengaja duduk di teras rumah memandangi langit malam sampai subuh tiba. Tidak ada yang dilakukan Raksi selain duduk dan merenungkan kembali apa yang terjadi dalam hidupnya.

Tentang dirinya, tentang traumanya. Tentang hidupnya yang begitu-begitu saja. Raksi selalu mencari cara agar terlepas dari kemiskinan. Ia menyadari betul kalau ekonomi keluarga yang tak tercukupi, berdampak besar pada kehidupan.

Kemiskinan Yang Tak TerlihatWhere stories live. Discover now