five

2.7K 319 46
                                    

" Kakak lagi dimana? "

" Inget ya Kak, kalau mau keluar harus bilang sama aku. "

" Kenapa gak telfon? Ponselnya rusak ya? "

" Jangan pulang malem Kak. Kakak tahu kan ada kabar pembunuhan akhir-akhir ini? "

" Kabarin aku kapan pun. Jangan teledor. Aku gak mau kakak kenapa-kenapa. "

Ini itu. Begini-begitu. Gea sama sekali tidak keberatan dengan setiap ucapan dan perintah Dion yang akhir-akhir ini harus selalu ia turuti. Jika dipikir lagi, setiap ucapan Dion akan terdengar mutlak dan tak mau dilanggar. Dengan senang hati tentu Gea menurut.

Hari-hari berlalu dengan Gea yang hampir dua bulan tinggal bersama Dion. Dan keberlaluan itu juga Gea sadar akan sikap Dion yang semakin hari semakin sulit untuk dipahami olehnya.

Posesif? Entahlah, Gea tidak yakin. Hanya saja, ketimbang seorang adik yang memperlakukan kakaknya, Dion malah bertingkah lebih ke seperti seorang kekasih.

Tapi sekali lagi Gea mencoba untuk mengerti. Ia pikir, itu juga tak akan membebaninya. Ia mengerti, bagaimana Dion yang mungkin selalu berfikir ia akan ditinggalkan orang-orang.

Gea tahu. Kehilangan, lebih tepatnya ditinggalkan ayah dan ibu begitu saja adalah hal yang sangat menyakitkan. Terlebih lagi, kedua orang tua Dion terlihat begitu acuh dan lebih ke lepas tanggung jawab. Selain terus mengisi rekening tanpa henti. Tidak lebih.

Sejak kecil, Dion memang berteman dengan sepi. Dia cenderung lebih mencintai kata senyap ketimbang berbaur dengan banyak manusia. Gea ingat bagaimana Dion berumur tujuh tahun. Begitu dingin, benar-benar tidak tersentuh, dan tidak terbaca.

Ia tak lelah mengisi hari ponakan kecilnya itu. Mengajak bermain walau akhirnya ia malah seperti manusia tidak waras. Berbicara sendiri, bermain sendiri, tertawa sendiri. Selalu seperti itu. Namun ia tak menyerah, hingga Dion dua belas tahun mampu mencair sedikit demi sedikit.

Sejak saat itulah, Dion selalu bergantung padanya. Segala hal yang anak itu bawa, akan padanyalah Dion tunjukan. Bahkan tidak pada sang kakek ataupun nenek. Orang tuanya sendiri.

Ia teramat ingat, bagaimana Dion yang selalu benci membahas sang ibu. Kakaknya. Dan bagaimana Dion yang sama sekali tak peduli pada sang ayah.

Ia kelewat paham apa yang anak itu rasakan. Mati rasa. Bocah sekecil itu, sudah banyak merasakan rasa sakit. Hati, batin, dan fisik. Gea tahu.

Dia pernah melihat Dion dipukul kakaknya sendiri. Dion yang dikunci di kamar mandi oleh kakaknya sendiri. Dion yang masuk rumah sakit tepat saat usia bocah itu menginjak tiga belas tahun setelah dipukul sang ayah.

Lebih. Lebih banyak rasa sakit. Tapi Gea tak mampu untuk mengingat semuanya. Terlalu menyakitkan.

Perlakuan kejam kedua orang tua Dion pun tak semata-mata hal yang begitu saja terjadi. Kakaknya, mungkin tampak baik-baik saja. Tapi siapa yang sadar bahwa wanita itu sakit jiwa? Lalu Bisma, kakak iparnya sendiri. Seorang pria tempramen dengan banyak obat-obatan.

Tidak ada yang baik-baik saja.

Gea tahu. Yang perlu ia lakukan sekarang adalah mengobati sedikit rasa sakit Dion. Menutupi sedikit demi sedikit luka dibatin bocah itu. Karena dia tahu, Dion tengah tidak baik-baik saja.

Dion trauma.

....

Pukul dua lebih lima belas. Lagi-lagi Gea terbangun entah karena apa. Gadis itu menguap, berdiri sembari memeluk tubuh. Dingin sekali. Diluar memang hujan, kelewat deras sedari sore.

Turun ke bawah, Gea memilih berjalan ke dapur, tanpa menyalakan lampu. Meraih gelas, Gea menegak beberapa gelas air putih.

TANG!

Dion|Dangerous✅Where stories live. Discover now