[1] Pertanda

472 7 0
                                    

Nama tokoh, karakter, tempat, dan alur cerita hanyalah fiktif berdasarkan ide murni dari penulis. Terima kasih sudah membaca dan mengapresiasi cerita ini.

- - - - -



Ia dikagetkan kedatangan sekelompok orang.

"Selamat siang." Kelompok itu mengangkat tangan hormat.

"Iya. Selamat siang." Dengan canggung ia meniru gerakan mereka.

"Kami polisi," salah seorang dari kelompok itu memperkenalkan diri, karena datang tanpa seragam korps cokelat familier, melainkan memakai pakaian biasa.

"Iya. Ada yang bisa saya bantu?"

Polisi paling depan merentangkan secarik kertas berjudul Surat Perintah. "Kami minta Saudara ikut kami untuk dimintai keterangan."

Dia tercengang. Menunjuk wajah. "Saya?"

"Benar."

"Tunggu sebentar. Maaf, Pak. Masalah saya apa? Kenapa—"

"Saudara tenang. Dengarkan dulu penjelasan kami," potong seorang polisi paling tua.

"Ada informasi bahwa telah terjadi transaksi mencurigakan di sekitar indekos yang Saudara tinggali. Kami beserta tim penyidik baru saja melakukan penggeledahan. Kami menemukan barang bukti berupa sabu seberat dua gram di kamar Saudara."

Apa katanya? Sabu di kamar?

INNALILLAHI WA INNA ILAYHI ROJIUN!

***

Enam jam sebelum penangkapan

"Om Ayif, tyuk Ikky mana?"

Balita berlesung pipi membuat gemas siapa saja yang melihatnya itu menuntut. Tangan mungilnya sesekali menggaruk leher dan lutut, padahal sudah mandi.

"Ada." Arief mengembangkan senyum, menunjuk atas lemari. "Tuh, dia lagi parkir di sana."

Si balita mendongak lalu terkikik bahagia menatap truk berwarna orange. Kedua tangan terentang menggapai-gapai. Siap menyambut truk yang dipikirnya terbang sendiri seperti cuplikan kartun mobil bersayap yang tayang setiap Sabtu siang.

"Ikky mau main sama truknya? Di sini?"

Si balita menggeleng.

"Ikky mau bawa pulang?"

"Iiiyaa!"

Kemarin sore bocah laki-laki cadel itu asyik sendirian di depan kamar Arief. Tiba-tiba neneknya, sang ibu kos yang berada di lantai bawah memanggil. Ikky mendengar nenek lantas melupakan mainannya begitu saja di sana.

Mobil-mobilan berbahan plastik ramah lingkungan berbentuk truk itu belum diproduksi zaman kanak-kanak Arief. Dua pintu sampingnya bisa membuka menutup. Bak di belakang dapat dinaikkan dan diturunkan. Bagian depan dan belakang ditempel stiker menyerupai lampu. Jika truk dimundurkan dengan sedikit menekan rodanya di lantai, mainan itu maju sendiri seperti kendaraan sungguhan.

Arief me-minimize sementara jendela AutoCAD di laptopnya, lalu bangkit mengambilkan benda itu.

"Ini."

"Yeay!" Si bocah menampakkan gigi susu atas, mendekap dan mengelus-elus mainannya bagaikan mengelus seekor kucing.

"Om Arief sudah jagain truk Ikky. Ikky bilang apa?"

"Maacih, Ooom!"

"Salim dulu." Ia sodorkan tangan kanan.

Ikky menangkap tangannya, mendaratkan hidung kemudian pergi berlonjak-lonjak.

Jalan Buntu Where stories live. Discover now