[3] Pertanyaan

462 6 0
                                    

Mobil polisi mendengungkan sirene sesekali. Melaju tanpa hambatan membelah lalu lintas. Kendaraan-kendaraan lain bergeser lajur, ikhlas untuk didahului.

Tiga polisi berpakaian preman berada dalam mobil itu. Dua di antaranya menjaga Arief di kursi tengah. Sedang satu lagi pengemudi. Tidak ada obrolan. Atmosfer tidak bersahabat untuk sekadar basa-basi. Motor Arief dikendarai polisi berjaket tebal, membuntuti mereka.

Arief menatap kosong jalanan depan. Urat-urat tangan menonjol saat tinjunya mengepal di atas lutut. Ia sudah digeledah. Patuh, kooperatif, tanpa melawan. Tak ditemukan barang bukti di tubuh pemuda itu. Namun, ia tetap 'digiring'.

Sedikit mengurangi kekesalannya, tangannya tidak diborgol.

Setibanya di Polresta, laki-laki berkaus merah lengan pendek memandu Arief berjalan di lorong panjang pemisah ruangan demi ruangan. Setelah melewati dua kali belokan, ia sadar ternyata orang itu pengendara motornya tadi.

"Bang!"

"Abang!"

Di belokan lorong keempat, Arief melihat dua pemuda yang dikenalnya memanggil penuh simpati. Namun Arief tidak diperkenankan berhenti. Ia dituntun menuju ruangan khusus.

***

Di ruangan berukuran 4 x 7 meter itu terdapat sebuah meja HPL persegi panjang dikelilingi 8 kursi besi. Tembok sisi utara dan sisi timur dipajang berbagai papan informasi tahun 2022 dan 2023. Satu jendela kaca berukuran 1 x 0,5 meter dipaku mati di tembok sisi selatan.

Arief menduduki salah satu kursi kosong.

Ini kali kedua ia menjejakkan kaki di Polresta, setelah keperluan membuat SKCK.

"Kayaknya saya dijebak, Pak."

"Saudara belum diberi kesempatan bicara," laki-laki berkaus merah menyahut. Ia menempati kursi dekat jendela, memainkan ponsel.

Arief menghela napas. Barusan ia menjadi bintang di seminar kampusnya. Sekarang, berbicara saja belum diizinkan. Keadaan ini menyentil hati kecil Arief. Ampuni saya, Ya Allah. Ternyata secuil kesombongan ada dalam hatinya...

Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin diutarakan daripada pernyataan untuk dibagikan. Seandainya nanti diinterogasi.

Pintu terbuka, seorang bapak berseragam berpangkat Iptu masuk menyerahkan dua lembar kertas dan pena hitam kepadanya.

"Selamat siang. Silakan diisi. Kasih tanda tangan." Polisi itu lalu keluar setelah memberi instruksi super singkat.

Arief membaca form saksama sebelum menulis. Lembar pertama tentang data diri seperti nama, nomor KTP, tanggal lahir, alamat, golongan darah, agama, suku, pekerjaan. Lembar kedua mirip dengan lembar sebelumnya, hanya ditambah pernyataan bersedia melakukan tes urine.

Usai memberi tanda tangan, pintu ruangan membuka. Kertas form dan pena diambil kembali. Arief sedikit takjub. Polisi dengan nama GANI di seragam cokelatnya itu tahu tepat waktu. Ternyata salah satu dinding terpasang kaca buram sebesar papan tulis sekolah dasar. Orang di luar bisa melihat ke dalam. Sebaliknya, orang di dalam tidak. Terlebih lagi ada CCTV di sudut plafon.

"Saudara Muhammad Arief, bisa kami periksa ponsel Anda?" pinta Iptu Gani.

Arief tersadar ponsel di saku kemeja tidak aktif. Fajar, Sahrul, atau Bu Jamil mungkin sudah mencoba menghubunginya. Astaghfirullah... Ia sempat suuzon kepada Bu Jamil, padahal itu semua kelalaiannya sendiri karena lupa mengisi baterai.

"Ponsel saya mati, Pak."

"Kami punya banyak macam kabel charger."

Arief mau tak mau merelakan benda itu berpindah tangan.

Jalan Buntu Where stories live. Discover now