[5] Kejelasan

507 5 3
                                    

Pak Hamdan tidak bisa santai. Tangannya saling genggam di atas pangkuan. Monitor di hadapan menampilkan pembicaraan antara enam orang. Belum diketahui siapa pemilik sabu. Juga belum ada yang mengaku. AKP Rezaldi di sebelahnya tenang tanpa ekspresi.

Dan, yang membuatnya tidak mengerti, mengapa anak gadisnya di situ?

"Sampai jam berapa ini, Pak?" desak Pak Hamdan kepada polisi muda yang bersila di lantai.

"Sampai selesai, Pak," sahut Bripda Wibowo. Merangkap teknisi kamera pengawas.

"Kapan?"

"Kalau ketemu tersangkanya."

***

"Saudara Arief pengedar?"

"BUKAN!" sahut kubu seberang berbarengan.

"Kalau Kak Arief pengedar, dia udah beli hape bagusan, Pak. Ganti hape dia sekarang. Susah buat dihubungi," tambah Wafa.

"Cie ... chat-chatan sama Bang Arief," goda Sahrul.

"Ngechat dia baru tadi pagi kali. Centang satu lagi." Wafa mendelik. Pembelaan seriusnya malah disalahpahami.

"Kalau begitu, dari mana datangnya sabu tersebut?" tanya Iptu Gani sebelum dikiranya muncul obrolan tidak nyambung berbau romansa.

"Mungkin pelaku melemparnya dari jalan ke jendela Bang Arief?" duga Sahrul.

Briptu Vian tergelak. "Wooah, bisa langsung masuk tempat sampah."

Semua serempak memperhatikan jendela yang dipaku mati dalam ruangan. Membayangkan seolah-olah jendela itu adalah jendela kamar Arief. Jenis jendela yang cara membuka kacanya didorong ke atas, bukan yang didorong ke luar lalu dikait penahan.

"Mesti dihitung dulu ketinggian jendela Bang Arief dari permukaan tanah, jarak rumah dengan posisi si pelempar, dan tinggi badan si pelempar untuk mendapatkan sudut elevasi. Tapi peluang berhasil masuk sangat kecil. Sabu yang massa bendanya cuma dua gram kalau dilempar bakal kebawa angin. Kecuali ... dikasih pemberat," terang Fajar jeblosan mahasiswa MIPA.

"Bisa, Jar," sanggah Arief. Kali kedua bersuara sejak mereka berempat berkumpul. "Coba bayangin lempar uang logam pecahan seratus rupiah gambar Kakaktua Raja, atau yang terbaru gambar Prof. Dr. Ir. Herman Johannes. Berat koinnya kurang dari dua gram."

Tidak mustahil benda haram itu bisa melayang masuk jendela kamarnya jika Allah sudah berkehendak.

Hampir semua manggut-manggut dijelaskan dengan versi lebih sederhana. Sahrul melakukan gerakan pura-pura melempar.

"Peluang masuk ke jendela fifty-fifty. Jika enggak dilempar kuat-kuat tetap aja susah masuk jendela," Fajar bersikukuh.

"Fajar benar, Kak," dukung Wafa. "Lagian seandainya ada orang absurd lempar sesuatu, udah ditegur Pak Santoso tuh."

Iptu Gani mengangguk-angguk mengikuti diskusi yang ternyata menarik.

"Jangan-jangan udah lama tergeletak di kamar lo, Bang? Terus lo nyapu lantai tanpa sadar?" tebak Sahrul setelah dugaan lempar-lemparan terpatahkan.

"Kalo gitu kita berdua, Rul, dicurigai sebagai pelaku pembuang sabu," gumam Fajar risau.

"Bukan cuma kalian. Bu Jamil, Pak Santoso dan mbak ini juga berpeluang walau tidak masuk kamar," imbuh Iptu Gani.

Wafa terkesiap. Namun, ia kembali tenang. Toh dirinya sudah mengira bakal turut dicurigai. Terlepas polisi itu serius atau hanya menakut-nakuti.

"Bu Jamil sosok yang bagaimana?" tanya Briptu Vian.

Jalan Buntu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang