[2] Durasi

432 7 0
                                    

Masih enam jam sebelum penangkapan

Satu, dua, tiga. Arief menghitung map snelhecter dan map kertas di atas kasur. Mengecek barang yang akan ia bawa menuju lokasi berbeda. Pagi ini ke Kantor Kelurahan. Pukul sepuluh ke Kantor Pos. Pukul dua belas ke kampus mengisi seminar. Laptopnya masih hidup di lantai. Materi slide Power Point hampir selesai.

Ia toleh sana-sini. Kayak ada yang terlupa.

Ah ya, flashdisk! File-nya harus disimpan di removable disc untuk jaga-jaga andai laptopnya kenapa-kenapa.

Terdengar suara Bu Jamil bercakap-cakap bersama seseorang menuju lantai atas. Arief membuka pintu kamar—kebiasaannya sejak lama. Dengan kondisi pintu terbuka, paling tidak ia bisa menyapa ibu pemilik indekos. Berbasa-basi sebentar. Nenek empat cucu itu tak perlu khawatir semisal ada aktivitas ilegal dalam kamar.

"Rief," panggil Bu Jamil.

"Ya, Bu?"

"Ada yang nyariin kamu, Nak."

"Assalamu alaikum, Kak Arief," sapa seorang gadis.

"Waalaikum salam."

"Ponsel Kakak masih belum aktif, ya? Teman-teman panitia udah coba mengontak Kakak tapi enggak bisa. Saya ke sini mau kasih tahu kalau acara seminar dimajukan dua jam—" cerocos Wafa langsung. Arief yang awalnya tertegun otomatis meraih ransel di atas nakas berlaci. Mengobrak-abrik isinya. "Infonya mendadak."

"Astaghfirullah. Lupa di-charger," ucap Arief pada diri sendiri (dan ponselnya). Bu Jamil dan Wafa bertukar pandang sementara Arief mengisi baterai.

"Sayur ... Sayur ... Sayur...." Suara bernada unik si penjual sayur keliling tiba-tiba terdengar dari bawah.

"PAK! SAYUR, PAK!" Bu Jamil berkoar di jendela terdekat lalu menoleh ke Wafa. "Fa, ibu turun, ya."

Yah Ibu ... Jangan tinggalin aku dulu!

"Bu, Si Ikky mana?" tanya Wafa. "Saya kangen, nih."

Jika ada bocah itu di sini maka Wafa terselamatkan dari sangkaan berdua-duaan...

"Dia baru aja dibawa Papahnya pergi, Fa."

"Yhaa ... padahal pengin ajak si gemoy main."

"Besok dia ke sini lagi." Bu Jamil meremas lengan Wafa. Gelang-gelang emas bergemerencing di tangan seorang nenek yang lebih mirip juragan bawang ketimbang ibu kos.

Wafa menatap nanar kepergian Bu Jamil yang tanpa persetujuannya. Terjebak dalam suasana hening yang canggung, ia sebenarnya ingin turun, tapi belum yakin apakah amanah dari teman-teman tersampaikan dengan benar.

Klenong!

Klenong!

Klenong!

Klenong!

Belasan notifikasi mengantre masuk ponsel Arief yang baru bangkit dari mati suri.

"'Informasi dadakan. Mas Arief, kami selaku panitia memohon maaf karena terjadi perubahan rencana' hmm...." Arief membaca satu per satu pesan masuk, sementara gadis yang berdiri di luar (boro-boro disuruh duduk) asyik menginventarisasi ruangan.

Tidak tampak satu pun sampah puntung rokok di lantai dua indekos cowok itu. Tidak ada bau-bauan seperti kaos kaki lembap atau cucian yang direndam berhari-hari. Malahan, wangi seperti disemprot Stella melati. Pintu kamar Sahrul dicat kuning kunyit, sedangkan Fajar biru ocean (kalau ada satu lagi pintu berwarna merah, pasti disangka ini ruang bermain TK). Setiap bawah jendela diletakkan pot-pot tanaman sansevieria.

Jalan Buntu Where stories live. Discover now