3. Persimpangan Jalan

7.7K 148 14
                                    

Hari menjelang sore, kini Dika dan Anas sudah kelelahan bermain dengan HP mereka. Mereka hanya duduk diam di depan TV menonton acara kartun yang tidak pernah mereka lewatkan satu episode pun.

Nenek Anas sedang memasak di dapur untuk menyiapkan makan malam, sedangkan sang Kakek, pergi keluar bertemu dengan teman-temannya yang lain. Om Muh sudah tidak terlihat batang hidungnya sedari tadi. Ntah kemana perginya.

Gelak tawa mengiringi suara TV yang sedang menyala. Terlihat di layar TV, seorang bajak laut bertopi jerami, sedang melakukan tingkah konyol.

"Seru banget kayaknya, lagi nonton apa sih?" Tanya seorang Pria dengan suara bariton yang mengagetkan Anas dan Dika. Mereka sontak menoleh ke arah datangnya suara.

Terlihat sosok tegap, dengan baju polos ketat dan celana kain abu-abu masuk ke dalam rumah. Siapa lagi kalau bukan Om Muh.

"Eh Ayah, biasa Yah, nonton itu!" Tunjuk Anas ke arah layar TV.

"Ayah darimana?" Imbuh Anas.

"Ini tadi dari rumah Dika," jawab Om Muh sambil menoleh ke arah Dika. Dika hanya terheran-heran dengan jawaban Om Muh.

"Ini, tadi ayah diminta buat benerin atap dapurnya Dika. Ada kayu yang patah, jadi harus diganti," tambah Om Muh.

"Ha? Sejak kapan Om?" Tanya Dika semakin heran.

"Lho kamu gatau Dik?" Tanya Om Muh.

Dika hanya menggeleng.

"Mulai besok lusa, Om udah mulai benerinnya, nanti dibantu sama Hasan" tutr Om Muh menjelaskan. Hasan merupakan seorang pemuda desa yang bekerja serabutan, kadang dia bekerja sebagai kuli di pasar, kadang juga sebagai kuli bangunan jika ada pekerjaan, ia adalah contoh sempurna untuk pemuda pekerja keras.

Om Muh lantas masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di samping ruang TV.

"Wahh, Om Muh bakal sering ke rumah nih," ujar Dika dalam hati.

Om Muh keluar dari kamarnya hanya mengenakan celana boxer tipis dan masih memakai baju yang tadi ia kenakan. Handuk berwarna biru tua tersampir di pundak kananya. Dika memperhatikan Om Muh dari ujung atas hingga ke bawah, dan berhenti tepat diantara paha Om Muh. Terlihat tonjolan besar di balik celana boxernya itu. Jantungnya kembali berdetak kencang, dan sesekali ia menelan air ludahnya sendiri.

"Mau mandi Le? Ga makan dulu," ujar Nenek Anas yang berjalan keluar dari arah dapur.

"Nanti aja dulu Bu, mau mandi dulu, biar seger," jawab Om Muh dengan nada yang sangat lembut. Ia pun berlalu menuju kamar mandi.

Dika kembali mencoba fokus pada layar TV yang ada di hadapannya, sedangkan pikirannya masih membayangkan "barang" milik On Muh tadi.

"Aneh..." Pikirnya. Ia tak bisa lepas dari pandangannya itu.

Beberapa waktu berselang, acara TV yang mereka tonton kini memasuki segmen terakhir. Fokus Dika kembali menghilang saat melihat Om Muh yang keluar dari kamar mandi hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Rambut dan badannya basah oleh air, belum kering sepenuhnya. Dika memperhatikan dada Om Muh yang bidang masih basah oleh air, puting yang berwarna kecoklatan terlihat tegak mengkilap. Sungguh pemandangan yang menakjubkan bagi Dika. Wangi sabun tercium ketika Om Muh berjalan ke arah kamarnya. Pandangan Dika turun ke arah pinggang Om Muh. Ia berharap semoga handuk yang melilit pinggangnya jatuh, sehingga rasa penasarannya dengan barang Om Muh terbayarkan.

"Dik, Om lupa, tadi kamu disuruh mamamu buat pulang. Disuruh siap-siap ngaji katanya," ujar Om Muh.

Namun bukannya menjawab, Dika malah diam tak bersuara. Ia masih fokus melihat badan Om Muh.

"Dik!" Ujar Anas sambil memukul pelan bahu Dika. Hal itu membuat Dika tersadar dari lamunannya.

"Eh ii..iyaaa Om," jawab Dika gugup. "Oh sudah sore, Dika disuruh pulang sama Mama. Dika pulang dulu ya Nas, Om," ujar Dika berpamitan. Ia menghapiri Om Muh untuk mencium tangannya. Aroma sabun tercium di hidung Dika dari tubuh Om Muh. Sungguh memabukkan. Dika pun berlalu pulang meninggalkan rumah Anas.

Om Muh semakin bingung dengan sikap Dika. "Apa yang sebenarnya Dika pikirkan?" Tanya Om Muh dalam hati. Om Muh lalu masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian.

Setibanya di rumah, Dika langsung menuju kamarnya dan naik ke atas kasur. Ia membenamkan kepalanya di dalam bantal. Perasaan aneh itu masih belum bisa dijawab oleh Dika. Perasaan yang hanya muncul ketika ia dekat dengan Om Muh. Apa yang sebenarnya Dika rasakan?

Adzan Maghrib sebentar lagi akan berkumandang, kini saatnya Dika untuk berangkat ke masjid. Ia sudah siap mengenakan baju terbaiknya untuk berangkat. Hari ini, hari pertamanya mengaji setelah sempat berhenti karena guru ngajinya pindah keluar kota. Ia berjalan ke rumah Anas untuk menjemputnya mengaji.

"Assalamualaikum, Anasss!" Teriak Dika di depan rumah Anas. Namun rumah tampak sepi, motor Om Muh juga tidak terparkir di depan rumahnya seperti biasa.

Tak lama berselang, Nenek Anas keluar menghampiri Dika.

"Waalaikumusalam, Oh Dika. Anasnya lagi keluar sama ayahnya, katanya libur dulu ngajinya," terang Nenek Anas.

"Oalah, pantes motor Om Muh gaada, ya udah Nek, Dika berangkat ngaji dulu ya," jawab Dika. Dika pun berlalu menuju masjid.

Dika berjalan seorang Diri menuju masjid. Tepat di persimpangan, ia bertemu dengan seorang pria yang belum pernah Ia lihat sebelumnya. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hitam, dan sarung putih. Peci hitam tak lupa menghiasi kepalanya.

"Dia siapa ya?" Tanya Dika dalam hati.

"Mau ke masjid?" Tanya pria itu dengan lembut. Kini Dika bisa melihat wajahnya seutuhnya. Ia berperawakan seperti pria berusia 30 tahunan, dengan sorot mata yang tajam, dan kumis tipis di atas bibirnya. Terlihat bekas cukuran di jenggotnya. Wajahnya sangat manis dan tampan ketika tersenyum. Badannya tegap, dan sangat cocok dipadukan dengan kemejanya yang berwarna hitam itu. Wanginya maskulin juga tercium dari badannya, tak kalah dari aroma tubuh Om Muh.

"Ehh iyaaa," jawab Dika singkat.

"Ya udah, ayo berangkat bareng," ajak pria itu. Jalan menuju masjid memang sadikit lebih jauh, mereka harus melewati sedikit area persawahan.

Sepanjang perjalanan, mereka terlibat percakapan yang cukup intens. Namun tak banyak yang Dika bisa diketahui Dika. Sebab ia hanya bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pria tersebut. Ia bertanya sekolah Dika, rumah Dika, orang tua Dika, dan Dika menjawab dengan gamblang. Ia tidak sedikitpun menaruh curiga pada pria tersebut. Dipikiran Dika, pria itu merupakan pria baik-baik.

Sesampainya di pelataran masjid, sudah terlihat ramai anak-anak yang sedang bermain menunggu adzan Maghrib. Dika bergegas menuju tempat teman-temannya bermain. Sedangkan pria itu langsung menuju ke arah masjid, dan disambut oleh beberapa orang di sana. Sekilas Dika melihat pria itu, ia penasaran siapa sebenarnya pria itu, dan mengapa bisa semua orang sangat menghormati pria itu.

Kini sudah tiba waktu maghrib, adzan sudah dikumandangkan, dan semua berada di atas sajadah untuk menunaikan sholat. Namun Dika terkejut, pria yang ia temui berada di tempat imam. Rupanya pria itu yang menjadi imam sholat. Suara pria itu sangat merdu, bahkan tidak ada yang bisa menyaingi suaranya jika dibandingkan dengan imam yang lain.

Setelah melakukan ibadah, semua anak-anak berlari berhamburan ke teras masjid untuk berbaris untuk mengaji. Meskipun berbadan besar, namun Dika tak kalah lincah. Terbukti ia menjadi orang pertama yang mendapatkan giliran pertama untuk mengaji.

Tak lama berselang, Dika melihat pria yang tadi ditemuinya berjalan ke arahnya dan duduk tepat di depan Dika. Ternyata, ia adalah guru ngajinya. "Pantas saja suaranya merdu, ternyata guru ngaji toh," ujar Dika dalam hati.

Pria tersebut memperkenalkan dirinya, kini ia tahu, bahwa pria itu bernama Izhar....

TBC

Gimana gimana? Masih ingat dengan Ustad Izhar? Hehehe. Cerita ini akan dikemas sedikit berbeda dari cerita sebelumnya. So, terima kasih sudah membaca sejauh ini, dan jangan lupa vote biar author semangat buat melanjutkan!

Dika dan Para Suami - New ChapterWhere stories live. Discover now