55. Kecebong Rafan

69.3K 4K 483
                                    

Pagi-pagi Rafan sudah dibuat khawatir lantaran istri kecilnya mengalami morning sickness yang dimana sedari tadi Lisa tak henti-hentinya memuntahkan semua isi dalam perutnya. Terhitung sudah banyaknya Lisa harus bolak-balik kedalam kamar mandi sehingga membuat ia lemas sampai Rafan sangat khawatir terhadapnya.
"Kita kerumah sakit aja Bee," ucap Rafan sembari memijat tengkuk Lisa.
Lisa berbalik menatap Rafan dengan wajah pucatnya, "Iini biasa Mas bagi ibu hamil."
"Tapi kamu pucat loh Bee," balas Rafan menatap khawatir. Benar saja wajah Lisa terlihat pucat dan terdapat keringat di daerah pelipisnya.
Lisa menggeleng lemah. "Maunya tidur aja," lirih Lisa.
"Yakin gak mau kerumah sakit?" tanya Rafan sekali lagi.
"Gak mauu..." rengek Lisa merentangkan kedua tangannya.
Rafan sangat tahu apa yang di inginkan istri kecilnya itu.
"Mau apa, Hm?"
"Mauu ... Gendong," ucap Lisa sedikit merengek.
"Passwordnya."
"Mas sayang ... gendong..." kata Lisa dengan nada yang mulai bete.
Mendengar rengekan istrinya, membuat Rafan tak tega. Lalu ia mengangkat tubuh mungil Lisa ala bridal style dan membawanya keluar dari kamar mandi.
"Makan ya, Bee." Lisa menggeleng dalam pelukannya.
Kemudian Rafan meletakkan tubuh Lisa dengan perlahan diatas kasur. Tak lupa ia menarik selimut untuk menutupi tubuh Lisa sampai sebatas dada. Saat Rafan ingin beranjak dari sana, tangannya ditahan oleh Lisa.
"Mas mau kemana?"
"Turun sebentar mau ngambil teh hangat buat kamu," jawab Rafan sembari mengelus surai rambut Lisa.
"Jangan tinggalin Lisa sendiri, Lisa takut..." rengek Lisa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Saat melihat perubahan pada istrinya itu membuat Rafan semakin gemas di buatnya. "Iya, Mas gak bakal ninggalin kamu," sembari naik keatas kasur.
"Sini," ujar Rafan setelah memposisikan tubuhnya dengan benar. Gadis itu langsung berhamburan kedalam pelukan Rafan tanpa cowok itu minta. Rafan terkekeh gemas.
"Masih mual?" Seraya tangannya menyelinap kedalam baju Lisa guna mengelus perutnya.
"Gak," gumam Lisa yang makin menyusup ke dalam pelukannya. Wajahnya semakin mendusel mencari kenyamanan di sana.
Tangan kanan Rafan masih setia mengelus perut rata Lisa. Rasa nyaman yang di perbuat Rafan membuat Lisa mulai nyaman. Satu menit lamanya mereka berdua di atas kasur dimana Lisa memeluk tubuh Rafan sampai Lisa membuka suara.
"Mas," panggil Lisa mendongak keatas.
"Hm?"
"Mas," panggil Lisa lagi.
"Hm?" Mendapatkan jawaban yang sangat pendek membuat wanita hamil itu merasa jengkel.
"Mas!" Panggil Lisa, kali ini dengan nada yang sedikit kesel.
Rafan menunduk guna ingin melihat sang istri bocilnya yang sekarang dalam mode ngambek.
"Iya Zaujatinya Rafan, Sayangnya Rafan, ada apa, hm?"
Mendengar jawaban dari Rafan membuat Lisa semakin menyusup pada dadanya. Ia yakin kini wajahnya pasti sudah berubah merah seperti pantat kerbau.
"Mau ngomong apa, hm?"
Lisa mendongak keatas. "Ke rumah sakit jenguk Kila, boleh?" tanya Lisa dengan wajah puppy eyes-nya.
Disuguhkan pemandangan yang begitu indah membuat Rafan tak bisa menahan senyumnya. Rafan tetap diam sembari menatap wajah Lisa tanpa berkedip sedikitpun.
"Mas," panggil Lisa.
"Iya Bee," ucap Rafan lembut.
"Boleh 'kan?"
Rafan mengangguk. "Tapi gak gratis," ucap Rafan yang membuat senyum Lisa luntur. Wajahnya kini penuh dengan kebingungan.
"Lisa gak ada uang buat bayar Mas," kata Lisa, polos.
"Bukan pakek uang." Rafan berujar. Satu alis Lisa terangkat bahwa ia tak mengerti ucapan dari suaminya itu.
"Terus pakek apa dong kalau bukan pakek uang?" tanya Lisa penuh tanda tanya.
Senyum terpatri di wajahnya, perlahan Rafan mengikis jarak di antara keduanya. Spontan Lisa sedikit menjauh namun Rafan terlebih dahulu menahan pinggangnya.
"M-mas mau ngapain?" Seolah-olah Lisa sedang berada dalam permainan roller coaster di mana jantungnya berpacu lebih cepat. Lantaran jarak mereka sangatlah intim sehingga Lisa bisa merasakan napas hangat Rafan menerpa di wajahnya.
"Mau ini boleh?" ucap Rafan dengan suara beratnya. Tangannya juga mengusap lembut bibir pink itu.
Lisa lama tak menjawab membuat Rafan sedikit sedih. "Gak boleh ya?" kata Rafan dengan nada kecewa. Lisa menarik napas dalam sebelum ia berucap. "Cuman ini 'kan?" tanya Lisa memberanikan diri seraya menunjuk pada bibirnya.
"Boleh?" Kembali Rafan bertanya untuk memastikan.
"IyaMboleh," jawab Lisa gugup. Mendengar jawaban dari sang istri membuat Rafan tersenyum lebar.
"Mas Rafan!" Lisa memekik ketika Rafan tiba-tiba membalikkan tubuhnya dengan posisi Lisa berada di bawahnya.
Lisa juga melihat tatapan pria yang kini berada di atasnya mulai berubah. Ia tahu kalau suaminya sekarang ini dalam mode bahaya maka Lisa harus bersiap-siap siaga lima.
"Maafin Mas kalau nanti Mas khilaf sama kamu, Bee," ucap Rafan dengan nada yang mulai serak. Ia kemudian menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Lisa.
Tangannya menyusup di balik baju Lisa dan mengusap lembut dengan gerakan abstrak sehingga membuat tubuh Lisa meremang.
"Maksudnya?" tanya Lisa mencoba menetralkan rasa geli yang menjalar di tubuhnya.
Astagfirullah! Hati Rafan menjerit kesal atas pertanyaan dari istrinya itu yang membuat Rafan benar-benar gemas. Oh, Tuhan, ingin rasanya Rafan telan hidup-hidup makhluk yang ada di bawahnya itu. Kenapa istrinya tidak paham atas ucapannya barusan.
"Karena Mas bakalan minta lebih dari ini." Lisa melotot sempurna setelah mendengar ucapan Rafan barusan.
Minta lebih? Kalau seperti itu, Lisa hanya pasrah dan pasrah.

*****

Terlihat pergerakan kecil pada sosok wanita yang berada di atas branka dimana terpasang alat bantu pernapasan di hidungnya. Perlahan mata yang awalnya tertutup kini mulai terbuka walaupun tidak sepenuhnya. Ia melihat ruangan bernuansa putih itu dengan pandangan yang belum sempurnanya terbuka.
Suara pintu terbuka yang dimana seorang pria masuk seraya membawa satu keranjang buah di tangannya. Ia berjalan kearah branka dan meletakkan satu keranjang buah itu diatas nakas.
Setelah meletakkan buah, tak sengaja tatapannya tertuju pada sosok wanita yang kini mulai sadar.
"Dek Kila?" ucap Azam spontan. Ia buru-buru mendekat pada branka Kila.
"Mau apa, hmm?" tanya Azam pada Kila.
"Air..." lirih Kila yang terdengar lemah.
Azam meraih air putih yang berada di atas nakas untuk ia berikan pada Kila. Namun Azam berhenti seketika lantaran ia tahu kalau ia tidak boleh sembarangan memegang apalagi yang bukan mahramnya.
"Gimana ini? Kalau gue pegang ... dosa," gumam Azam terlihat berpikir.
"Air," ucap Kila lagi.
"Eh, maaf nih sebelumnya. Gue izin pegang lo, ya?" tutur Azam ragu-ragu.
"Bisa-bisanya nih cowok minta izin dulu," tanya Kila dalam hati.
Kila mengangguk menyetujui. Setelah mendapatkan izin barulah Azam membantu Kila. Ia mengangkat perlahan tubuh Kila agar ia bisa mudah untuk minum. Setelah minum Azam menidurkan Kila kembali dengan sangat hati-hati. Lalu ia letakkan galas tadi di atas nakas.
"Thanks," ucap Kila dengan suara kecil namun bisa di dengar oleh Azam.
"Sama-sama, anggaplah lagi cosplay jadi paksu," celetuk Azam enteng.
Satu alis Kila terangkat tanda tak mengerti atas kalimat yang di lontarkan oleh pria dewasa itu. Melihat kebingungan Kila, Azam menggaruk tengkuknya yang tak gatal
Satu detik, dua detik tak ada satupun dari mereka membuka suara atau sekedar menukar kabar. Hanya keheningan menyelimuti ruangan tersebut.
"Aduh, mau ngomong apa gue?" batin Azam.
Lain dengan Kila yang juga enggan bicara.
"Ekhem, gue keluar sebentar mau manggil Abang Lo di luar," ujar Azam, pamit. Kila mengangguk sebagai jawabannya.
"Hem ... kalau Lo butuh apa-apa panggil gue aja atau nggak pencet tombol ini nanti suster bakalan kesini," tutur Azam berlalu dari sana.
Saat hendak meraih kenop pintu, saat itu juga seseorang telah membukanya terlebih dahulu, ternyata yang masuk adalah anggota inti terutama Anza. Terlihat raut bingung pada mereka bertiga saat melihat Azam yang sudah berada dalam ruangan Kila disana sebelum mereka.
"Hai, Bang Ipar," sapa Azam cengengesan. Ia juga menyalami tangan Anza yang dimana membuat Irul dan Panji menampilkan wajah heran.
"Ngapain lo di sini?" tanya Anza.
"Oh, tadi gue masuk cuman bawain buah, terus gue rencana mau ngasih tahu Lo kalau adek Lo udah sadar." Azam berujar seraya menunjuk pada Kila yang masih terdiam.
"Hah! Adek gue bangun?" Tanpa berlama-lama Anza langsung menghampiri branka Kila.
Sesampainya di branka Kila, ia langsung memegang tangan Kila yang masih terdapat tali infus.
"Dek," panggil Anza, senang. Matanya sudah menumpuk dengan air mata yang siap terjun dari tempatnya.
Kila menoleh kesamping. "Abang?" lirih Kila terlihat masih lemas.
Senyum lebar pada wajah Anza begitu kentara saat ia melihat bagaimana adiknya yang membuat dirinya khawatir setengah mati. Kini ia bisa  melihat mata indah itu lagi, senyum manis yang selama ia rindukan.
"Adek gue masih hidup! Gue kangen banget sama lo, Dek." Pecah sudah tangisan dari pria itu dalam pelukan sang adek.
"Shit... sakit bego!" pekik Kila, lantaran Anza memeluk tepat pada bagian yang terkena tembakan.
"Maaf, maaf Dek. Gue gak sengaja," ucap Anza menyeka air matanya.
Tatapan tajam yang Anza dapatkan dari Kila. "Kira-kira dong meluknya! Sakit tahu," omel Kila menatap garang. Ok, tenaga Kila mulai kembali, jadi siap-siap bakalan ada perang badar.
"Gue 'kan udah minta maaf," cicit Anza membela.
Mereka yang melihat perdebatan antara kedua suku yang berbeda itu hanya menatap jengah. Lain dengan Azam yang sedari tadi melihat kearah Kila begitu intens.
Irul yang menyadari tatapan Azam yang mengarah pada sosok wanita di hadapannya itu. "Jaga mata lo, dosa!" peringat Irul menyenggol bahu kiri Azam.
Azam lantas menoleh pada Irul yang barusan menyenggol dirinya.
"Bentar lagi halal kok," ucap Azam tanpa beban. Setelah mengatakan itu ia kembali menatap kedepan.
Selang beberapa menit. Pintu kembali dibuka dari luar. Kini yang datang adalah para sahabatnya, Zahra, Uswah, dan Sa'adah.
"Assalamualaikum," ucap mereka bersamaan, spontan semua menoleh kebelakang.
"Waalaikumsalam," jawab mereka yang di sana.
"Kila." Uswah berlari menuju branka Kila dengan perasaan senang bercampur khawatir. Wanita itu tidak menghiraukan tatapan dari empat cowok yang menatap kearahnya.
"Cute," batin Anza.
Zahra dan Sa'adah juga berjalan ke arah branka Kila dengan menunduk sopan saat melewati ketiga cowok yang berdiri di sana.
"Permisi," ucap Zahra sopan seraya berjalan menunduk yang diikuti oleh Sa'adah.
"Iya silakan," balas Irul dan Azam dengan nada lembut kecuali Panji. Pria itu hanya menampilkan tatapan datarnya.
Anza yang berada di samping Kila harus terpaksa menyingkir dari sana untuk memberi ruang bagi sahabatnya.
"Lo gak papa 'kan?" tanya Sa'adah yang sudah berada di sampingnya.
"Ini gue masih hidup," jawab Kila dengan nada bercanda.
Sa'adah berdecak, "Ck! Yang bilang lo mati siapa? Gue serius!" kesal Sa'adah.
Kila terkekeh kecil, sungguh ia sangat rindu sama sahabatnya ini.
"Sini peluk," rengek Kila merentangkan kedua tangannya.
Sa'adah memutar bola matanya malas. Namun ia tetap menuruti permintaan dari Kila. "Gue kangen sama lo," ungkap Kila membalas pelukan Sa'adah.
"Gue juga kangen sama lo," balas Sa'adah dengan nada sedikit bersedih.
Uswah dan Zahra pun juga ikut memeluk tubuh Kila. Pelukan begitu hangat dari sahabatnya itu membuat rasa rindu terobati seketika.
"Gue boleh ikut join nggak?" celetuk Azam membuat pelukan mereka seketika berhenti. Lalu mereka semua serentak menoleh kearah Azam.
"Minta gue gibeng lo?!" kata Anza setelah memberi pukulan pada lengan Azam.
"Hehe... becanda kali," ucap Azam sembari mengusap lengannya. Kini beralih pada Kila dan sahabatnya
"Kalian kok bisa ke sini?"
"Kita tadi izin sama pak kyai buat jenguk kamu di sini," jawab Zahra yang ditanggapi anggukan kepala Sa'adah dan Uswah.
"Iya, Kil, Uus udah kangen banget sama kamu apalagi kita dapet kabar kalau kamu masuk rumah sakit," ucap Uswah mewakili.
"Kamu masuk sakit karena apa, Kil?" Giliran Zahra bertanya. Uswah dan Sa'adah menatap Kila juga ikut penasaran.
"Kenak tembak," jawab Kila santai.
"Astaghfirullah," kaget mereka bertiga.
"Tenang gue baik-baik aja," ucap Kila menenangkan.
"Sakit nggak?" tanya Uswah penasaran.
"Ya sakit lah, Uswah," sambung Sa'adah mulai kesel.

Entah kenapa dengan sahabatnya itu bisa-bisanya bertanya hal yang jelas terjawab tanpa ia bertanya. Para cowok yang disana terkekeh kecil saat mendengar pertanyaan konyol dari Uswah. Terutama Anza.
"Polos amat nih cewek," kekeh Anza dalam hati.
Di saat mereka asik berbincang. Pintu kembali terbuka dimana terdapat sepasang suami istri yang baru datang seraya bergandengan tangan. Siapa lagi kalau bukan Gubos dan Bubos.
"Kila." Suara yang sangat familiar membuat aktivitas mereka di sana terhenti dan langsung menoleh pada sumber suara tersebut. Lisa melepaskan genggamannya dan beralih cepat pada branka Kila.
"Bee, hati-hati," peringat Rafan saat melihat dimana Lisa yang sedikit berlari.
Lisa langsung memeluk tubuh Kila begitu erat. Air matanya tak bisa ia bendung. Lisa terisak dalam pelukan Kila. "Maafin Lisa, karena Lisa kamu bisa kayak gini," lirih Lisa sambil terisak.
Tangan Kila terangkat untuk mengelus punggung bergetar Lisa.
"Shuut ... Gue udah bilang, ini semua bukan salah lo." Kila berucap sembari menenangkan Lisa yang semakin terisak.
"Udah dong nangisnya, badan Lo berat banget nih," ucap Kila dengan nada mengejek. Lisa melepaskan pelukannya dan beralih menghapus sisa air matanya.
"Tapi, badan Lisa nggak berat tahu?!" rengek Lisa tak terima. Bibirnya ikut mengerucut ke depan dan dimana membuat dirinya semakin lucu.
Semua terkekeh gemas melihat kegemasan istri dari Gus Rafan itu. "Aduhh... gemes banget istri orang. Pen gue karungin terus gue jual di toko kelontong," ucap Azam tanpa berpikir panjang. Ia tak sadar ada sepasang mata elang menatap dirinya dengan tatapan membunuh.
"Shut!" Anza menyenggol lengan Azam ingin memberitahukan perihal ucapannya yang akan membawa musibah besar baginya.
Azam menoleh. "Apaan?"
"Liat sebrang sono." Anza memonyongkan bibirnya sebagai petunjuk yang mengarah pada sosok pria dengan tatapan tajamnya.
Azam pun mengikuti arahan dari bibir monyong Anza dan detik itu juga ia melihat Rafan menatapnya dengan tatapan tajam.
"Hai Gubos. Cantik ya istri kita. Eh, maksudnya istri Gubos," ucap Azam nyengir kuda. Namun, Rafan tak merespon apapun melainkan tatapan semakin datar tanpa ekspresi.

Azam menelan ludahnya susah payah. "Plis Gubos gue bercanda kok, suer deh," ujar Azam sembari memperlihatkan dua jari yang berbentuk V.
"Hayoloh! Panik gak? Panik gak? Panik lah masa gak," ejek Anza menertawai nasib Azam.
Tawa renyah dari semua orang dikala melihat raut wajah Azam yang sudah berubah pucat pasih.
"Teman gak ada akhlak Lo!" cecar Azam.
"Uwekkk." Lisa berlari menuju toilet yang berada di ruangan tersebut.
"Bee," raut khawatir Rafan saat melihat istrinya kembali merasakan mual dan tanpa berlama-lama Rafan menyusul Lisa ke dalam toilet.
"Mual lagi?" Rafan bertanya sembari memijat tengkuk dengan lembut. Lisa mengangguk pelan di sela-sela menetralisir rasa mualnya.
Merasa sudah membaik. Lisa berbalik menghadap ke arah Rafan.
"Mau pulang?"
Lisa menggeleng. "Kita baru sampai Mas," jawab Lisa.
Rafan berjongkok menghadap ke arah perut Lisa. "Kecebong-kecebong Baba yang ada di dalam jangan nakal-nakal, ya. Kasian Bundanya kesakitan," kata Rafan seraya mengelus perut Lisa dan terakhir kecupan singkat sebagai penutup.
Alis Lisa mengernyit bingung. "Kecebong?"
Rafan mendongak. "Iya kecebong Mas," kata Rafan seraya bangkit.
"Jadi Mas kodok dong?"
Lagi-lagi Rafan harus menghela napas panjang. Ia lupa kalau istrinya itu sangat polos dan tidak paham atas ucapannya tadi.
"Maksudnya anak-anak Mas yang ada di dalam perut kamu," jawab Rafan penuh kesabaran.
Lisa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kecebong kodok dengerin Papa kodok, ya," ucapan Lisa sukses membuat Rafan melotot tak percaya. Barusan Lisa mengatai kalau ia adalah Papa kodok?
"Udah ngomongnya?"
"Udah Papa kodok," ucap Lisa tersenyum lebar.
"Ya Allah Gusti... beri kesabaran pada diri hamba," batin Rafan. Lelaki itu kini memutuskan untuk tidak berikan ujaran aneh kepada istrinya agar hal ini tak terulang kembali.
"Ayo Mas, kita keluar." Lisa mengajak Rafan untuk keluar.
Rafan menggandeng tangan mungil yang hanya muat dalam genggaman tangannya seraya berjalan keluar.
"Lisa kamu gak papa?" tanya Uswah setelah melihat Lisa yang keluar dari toilet.
Apa ini saatnya mereka tahu mengenai kehamilannya?
Sebelum itu Lisa menarik napas panjang. "Hm, sebenarnya Lisa hamil," ungkap Lisa.
"Hah! Hamil?" Para sahabat menatap Lisa secara bersamaan.
"Serius Lo?" tanya Kila memastikan yang dibalas anggukan kepala.
"Yeay! ponakan baru!" seru Kila antusias.

PESONA GUS  ( SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang