41

15.1K 823 7
                                    

Setelah beristirahat di hotel, Jangkar mengajak Cia pergi ke pantai.

Jarak hotel yang mereka tempati sekitar sepuluh menit untuk sampai di pantai.

Suasana pantai di sore hari sangat ramai oleh pengunjung. Sepanjang bahu jalanan banyak motor atau mobil yang parkir.

"Wah rame juga ya di sini?" Cia memperhatikan sekeliling nya.

Jangkar mengangguk. "Iya. Pengunjung akan terus berdatangan sampai nanti malam."

Cia mengangguk. Ia melihat sepanjang tepi pantai berjajar payung-payung tempat duduk dan bersantai.

Ada juga taman untuk anak-anak bermain main. Rupanya juga ada motor listrik, mobil untuk anak-anak yang di sewakan di sini.

"Kita duduk yuk!"

"Ayuk!"

Jangkar menggenggam tangan Cia dan membawa nya ke salah satu tempat duduk berpayung.

"Enak juga sore-sore seperti ini ke pantai. Angin nya sepoi-sepoi," ujar Cia memperbaiki rambut nya.

Jangkar terkekeh geli. Saat pelayan tiba, Jangkar langsung memesan menu Langkitang, Pensi, kerupuk pakai kuah, dan minuman.

Mereka berbincang santai sampai pesanan datang.

"Ini apa? Siput?"

Jangkar mengangguk. "Kalau di sini namanya langkitang sayang. Mau cobain?"

"Cara makan nya gimana?"

Jangkar spontan menoleh menatap wajah istri nya.

Cia meringis malu. "Ara belum pernah makan ini. Maka nya nggak tau cara makan nya gimana," ujar Cia pelan.

Jangkar tersenyum mengangguk. Ia mengusap rambut istri nya.

"Cara makan nya begini. Coba sayang perhatikan!"

Jangkar mengambil satu dan memperagakan kepada Cia. Sekali diajarkan Cia langsung paham. Namun pas di praktekan sangat susah. Cia tidak bisa menarik isi siput nya.

"Nggak bisa, Abang," keluh Cia. Jangkar tertawa. Akhirnya Jangkar yang membuka kan untuk Cia sampai satu wadah itu mereka habiskan berdua.

Cia mendesis karena kepedasan. Sudah minum pun bibir nya tetap saja merasakan pedas dan panas.

"Sudah. Jangan di lanjutin sayang. Nanti sakit perut."

"Walaupun pedes tapi enak. Ara suka. Nanti deh kita beli mentah nya terus minta Buk Titin buatin. Ara ketagihan makan nya, Bang."

"Iya, nanti Abang belikan."

Cia melengkungkan senyum indah nya sembari mengucapkan terima kasih. Jangkar selalu tahu apa mau nya.

*****
Meninggalkan pantai, Jangkar dan Cia berkeliling kota padang malam hari nya.

"Sayang lapar?"

"Ummm.., kita cari makan di luar aja. Ara bosan kalau makanan hotel."

"Boleh. Makan di pinggir jalan mau?"

"Mau lah, apa salah nya."

Jangkar tertawa. Ia selalu suka dengan ekspresi yang di tunjukkan Cia. Ia belum pernah melihat Cia bersifat sombong dan angkuh karena mengingat Cia anak kota dan kaya. Cia bisa berbaur dan memperlihatkan kesederhanaan nya.

"Abang kira sayang nggak mau. Mana tahu sayang rindu makan di cafe atau restoran. Kita bisa saja kesana kalau sayang mau."

Cia menggeleng. "Nggak. Di warung-warung aja. Udah Ara bilang Ara bosan tempat-tempat mewah gitu. Terkadang rasa makanan yang di jual di pinggir jalan itu lebih enak loh dari pada  di restoran dan cafe mewah. Bumbu nya tuh kerasa dan nyatu di lidah Ara. Ara mau makan khas nusantara malam ini."

"As you wish my Wife."

Cia tertawa mendengar jawaban Jangkar. Ia menoleh cepat saat sadar aksen british Jangkar.

"Abang bisa ngomong inggris?"

"Sedikit," sahut Jangkar mengusap tengkuk nya. Cia memicing kan mata lebih dekat.

"Bohong. Aksen british Abang aja bagus. Jujur nggak?"

Jangkar tertawa. Ia bukan nya menjawab malah mengecup punggung tangan Cia sembari menarik istri nya masuk ke salah satu warung yang menjual pecel ayam.

"Kita pesan makan dulu ya,"

Jangkar menyebutkan pesanan nya. Tidak lama menunggu, mereka langsung menyantap makan malam setelah hidangan di sajikan.

Seperti biasa Jangkar akan selalu lebih cepat makan di bandingkan Cia. Jangkar menatap Cia yang masih memisahkan daging dan tulang nya.

"Seperti nya istri Abang sudah pintar makan pakai tangan." Puji Jangkar tulus namun bernada menggoda.

Cia membusungkan dada nya dengan bangga. "Ciara gitu loh."

"Karena udah terbiasa makan nya luwe aja lagi. Nggak mungkin lah tinggal di kampung udah beberapa bulan belum juga pandai makan pakai tangan. Malu yang ada ntar."

"Kenapa harus malu? Tidak ada yang harus di malukan sayang. Malu itu kalau kita mencuri barang orang lain. Kalau hanya sekedar nggak bisa makan pakai tangan kenapa harus malu. Budaya makan sayang sama orang kampung itu beda. Ya jelas lah proses nya nggak semudah membalik telapak tangan walaupun sekedar permasalahan makan pakai tangan yang bagi orang kampung itu receh. Tapi bagi orang kota itu mungkin sedikit sulit."

Cia takjub mendengar penjelasan Jangkar. Seolah-olah Jangkar pernah merasakan hal yang di rasakan nya.

"Abang kok seperti nya berpengalaman ya?"

Jangkar mengangguk.

"Ha? Serius? Jadi Abang dulu juga nggk bisa makan pakai tangan?" Cia sangat penasaran.

"Kebalikan nya. Abang dulu nggak pandai makan pakai sendok garpu. Makan pakai pisau khas orang perkotaan. Jadi, Abang tahu bagaimana rasa nya."

"Oh begitu," gumam Cia mengangguk paham.

Jangkar menunggu Cia menyelesaikan makan nya. Ia dengan sabar dan tidak mendesak sang istri. Ia bahkan menikmati bagaimana sikap Cia saat sedang makan. Cara Cia menyuap, mengunyah, bahkan mengambil nasi dan lauk di perhatikan oleh Jangkar.

*****
Jam sepuluh Jangkar dan Cia balik ke hotel setelah sebelum nya Jangkar menemani Cia untuk mencari pakaian untuk malam ini dan yang akan di pakai besok hari.

Jangkar sedang menelpon di balkon. Seperti yang di dengar Cia masalah pekerjaan di kampung seperti nya.

Cia masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri nya.

Cia juga membawa paperbag berisi pakaian tidur yang sempat di beli nya tadi.

Jangkar tidak tahu kalau Cia membeli sebuah lingery. Cia mengenakan lingery berwarna merah menyala tersebut. Sangat pas dan cocok di tubuh nya.

Cia menggelung asal rambut nya sedikit berantakan agar terkesan nakal dan berani.

Cia juga tidak lupa menyemprotkan parfum semakin menambah wangi aroma tubuh nya.

Cia tersenyum menatap penampilan nya. Ia akan pastikan kalau Jangkar akan tergoda melihat nya.

Tbc!
26/03/24

Jangkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang