Jalan yang Mereka Pilih

13.5K 1.1K 629
                                    

Ruang Penyimpanan, satu jam sebelum kebakaran 

Radith mendorong si nomor 25. Tubuh gadis malang itu jatuh tersungkur. 

“Katakan apa maumu!?” hardik Radith. 

Si nomor 25 bangkit, berdiri. “Apa semuanya sudah di sini?” 

Anak-anak di sana saling berpandangan. “Sepertinya sudah,” jawab Ajeng, mewakili teman-temannya. 

“Baiklah.” Si nomor 25 tersenyum singkat. Tangannya gemetaran mengeluarkan sebuah benda dari sakunya. Benda tadi tergelincir dari tangannya. Terbanting di lantai dan berhenti di antara kedua kaki Jhan. 

Jhan menunduk berniat mengambilnya. Namun si nomor 25 duluan melompat, menyambarnya dan menekan tombol di benda tersebut. 

BLARRR!!! Sebuah ledakan mengagetkan semua anak. 

Meryl yang berada paling dekat dengan lubang keluar, melompat mundur. Menabrak Freya yang langsung mengomel. 

“Pi-pintunya!” teriak Andy kalap. 

“Apa yang kau lakukan!!!” raung Radith pada si nomor 25. Ditariknya kerah seragam anak itu. 

Si nomor 25 tertawa panjang. Sumpah serapah menyembur dari mulutnya. Radith makin kalap dan mengguncang tubuh gadis tadi. 

“Per-cu-ma…” kata si nomor 25. “Apa-pun yang kau la-ku-kan ki-ta te-tap a-kan ma-ti di-si-ni.” 

Radith melepaskan cekalannya. Si nomor 25 terbatuk-batuk. 

“Apa arti kata-kata lue barusan!?” paksa Radith. 

Si nomor 25 memandangi wajah setiap anak satu persatu. Lalu dia menjelaskan semuanya. Kemarahannya, rencana balas dendamnya dan kematian yang menanti mereka semua. 

Keheningan tidak wajar menyelimuti ruangan itu. Setiap anak tak mau kehilangan barang satu katapun dari mulut si nomor 25. Mulut-mulut mereka menganga tak percaya. 

Reaksi pertama mereka adalah kepalan tangan Radith yang menghantam pipi si nomor 25. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Radith membabi-buta memukuli si nomor 25. Dia meraung sejadi-jadinya. 

Penyiksaan itu berakhir berkat Ling dan Aurora yang menahan kedua tangan Radith. 

“Hentikan~~~” mohon Ling. 

“Ini tidak menyelesaikan masalah,” lirih Aurora. 

Air mata keduanya membasahi lengan Radith. 

“Mereka benar, Radith, dalam keadaan seperti ini kita harus menghadapinya dengan kepala dingin,” kata Haya. 

“Diam lue, Haya! Jangan mentang-mentang lue ketua kelas maka lue pikir bisa memerintah gue seenaknya! Jabatan lue itu formalitas belaka! Tak pernah ada yang mau lue pimpin!” bantah Radith. 

“Kau pikir aku mati rasa ya!” teriak Haya tidak kalah keras. “Oke, kalau kalian tidak suka aku yang jadi ketua kelas. Tapi tolong untuk kali ini saja, dengarkan aku!” 

Anak-anak terperangah, selama ini ‘tolong’ adalah kata yang anti diucapkan si angkuh Haya. 

“Kau punya ide?” tanya Ken. 

Haya mengiyakan. “Rudy, pakai ponselmu. Hubungi siapapun juga, minta mereka segera mengeluarkan kita dari sini.” 

“Waaa… Gio tidak terpikir ada cara seperti itu,” puji Gio. 

Rudy menelan ludahnya. “Ma’af seluruh ponselku kutinggal di tas, di kelas.” 

“Kalau begitu, siapapun di antara kalian yang membawa ponsel bisa melakukannya,” lempar Haya kepada yang lain. 

Tak ada gerakan. 

“Kenapa tidak pakai punyamu sendiri?” celetuk Ajeng. 

“Tidak bisa, ponselku dipinjam Frans. Katanya ponsel dia ketinggalan dan dia mau menelepon orang tuanya, penting.” 

“Loh, Frans juga pinjam ponselku,” kata Baddy. 

“Punyaku juga,” sambut yang lain. 

Nada keheranan bermunculan. 

“Alasannya malah sama,” tukas Zeany, diakuri semua anak. 

Haya mengangkat tangannya, menyuruh tenang. “Tunggu dulu, siapa saja yang ponselnya dipinjam Frans?” 

Tangan-tangan diacungkan. Semuanya. 

“Ponsel siapa yang sudah dikembalikan?” 

Tangan-tangan diturunkan. Semuanya. 

“Bagaimana bisa ponsel semua anak dipinjam bersamaan?! Lalu mana Frans?” lontar Haya pada Baddy. 

Sebagai jawaban Baddy mengangkat bahunya. “Mana kutahu, aku dari tadi juga tidak melihatnya.” 

“Anu Ha-ya…” Andy menarik baju Haya. 

“Tidak sekarang Andy, aku sibuk.” 

“Ha-ya a-aku…” 

“Andy, jangan ganggu aku!” bentak Haya. 

Akibatnya jelas, Andy mundur dengan wajah pucat. Aurora menengahi keduanya. 

“Kau mulai mempertontonkan keangkuhanmu lagi, Haya,” sindir Aurora. “Kami tak mungkin mau mendengar kata-katamu bila kau sendiri menolak mendengar apa yang mau kami katakan.” 

Mulut Haya naik turun. 

“Kau ingin menyampaikan apa, Andy?” tanya Aurora. 

“A-aku… su-sudah menghi-hitung jum-jumlah kita. A-ada dua e-empat orang sa-saja,” jelas Andy, gugup. 

“Dua empat!” Cherry bersorak. “Cherry juga menghitung. Frans tidak ada di sini!” 

“Bagus sekali!” kata Ajeng. “Frans pintar dan tidak terjebak di sini. Saat ini dia pasti memanggil bala bantuan untuk menyelamatkan kita. Tinggal menunggu saja.” 

Beberapa anak bersorak setuju. Gembira dan lega. 

“Ide ponsel tadi juga bagus.” Haya bersikukuh pada ide awalnya. 

“Sia-sia,” tanggap Carada. “Liat kompas di jam tangan gue. Jarumnya berputar tidak karuan. Itu menandakan dinding di sini mengandung magnet kuat. Sinyal ponsel juga bakal bermasalah jadinya. Dan dia sudah memperhitungkan itu.” Ditunjuknya si nomor 25. 

“Untungnya dia gagal,” kata Ajeng. “Hei kamu.” Ajeng menjambak rambut si nomor 25. 

“Ajeng, lepaskan anak itu!” suruh Silvia. 

“Jangan ikut campur, Silvia. Aku cuma mau tahu kenapa anak ini tidak juga mau mengakui semua kesalahannya dan malah berencana mencelakakan kita semua.” 

“Itu intinya kan…” jawab si nomor 25, tenang. “Kalian memaksaku menanggung semua kesalahan yang tidak pernah kuperbuat.” 

“Terus darimana kau mendapat cd itu!?” todong Ajeng. 

Si nomor 25 melirik Ajeng, mengasihani, “Kau benar-benar ingin tahu?” 

Ajeng menarik rambut si nomor 25 keras-keras. “Kau ingin mempermainkanku ya!?” 

Si nomor 25 menjerit kesakitan. Silvia dan Zeany menolongnya. Menjauhkan Ajeng yang berwajah murka. 

“Aku mendapatkannya dari Frans!” rintih si nomor 25. “Puas!?” 

“Bohong!” tolak Ajeng. 

Kemudian Meryl bergabung dalam pembicaraan itu. “Aku mau tanya…” 

“Kumohon jangan menyinggung masalah darah, Meryl,” mohon Zeany. “Kita menghadapi masalah penting di sini.” 

“Kali ini bukan,” kata Meryl. Zeany menarik nafas lega. 

Meryl berlutut di depan si nomor 25. “Apa kau yang memecahkan kaca jendela saat kita berkebun?” 

“Bukan aku,” jawab si nomor 25, tegas. 

“Dia bohong lagi!” lolong Ajeng. 

Tidak peduli pada lolongan tadi, Meryl mengalihkan pandangannya pada Radith. “Radith, apa kau melihat hal yang sama seperti yang kulihat saat itu?” 

Radith mengumpat, “Gue gak ngelihat apa-apa!” 

“Kalian ngomong apa sih?” seru Carada. “Gue gak paham nih.” 

“Kau melihatnya kan Radith?” paksa Meryl. 

“Melihat apa!?” Radith berusaha menghindar. 

“Melihat pelaku sebenarnya yang memecahkan kaca itu,” kata Meryl, senang melihat Radith ketakutan. 

“Pelaku sebenarnya?” repet Carada. “Meryl, katakan siapa pelakunya!” 

“Frans,” cetus Meryl. Tenang tapi berhasil menimbulkan gelombang kekagetan. 

“Sekarang Meryl yang berbohong!” tuduh Ajeng. 

“Tanya saja pada Radith. Aku memang tidak yakin karena melihat sekelebat saja. Tapi aku yakin Frans memakai ketapel untuk memecahkan kaca.” 

Semua anak memandang Radith. Meminta konfirmasinya. 

Radith menggertakan giginya. “Iya! Iya! Memang Frans pelakunya!” 

Lagi-lagi Ajeng merepet, “Jangan-jangan, rahasia besar Frans yang kamu pegang itu, itu ya?” 

Radith mendengus mengiyakan. 

Meryl ditegur Zeany, “Meryl juga, kenapa baru mengatakannya sekarang?” 

“Aku kan tidak yakin,” cengir Meryl. 

“Tetap saja tidak merubah kenyataan, bahwa gadis itulah yang mencelakaiku,” todong Freya pada si nomor 25. Dia duduk di lantai diapit Diana dan Sarah yang sama-sama pucat dan ketakutan. 

“Harus berapa kali kubilang pada kalian aku tidak terkait sedikitpun dengan kecelakaan itu!” balas si nomor 25. 

“Pem-Bo-Hong!!!” Ajeng membela Freya. 

“Thanks, Ajeng, tapi aku bisa membela diriku sendiri,” kata Freya. 

Diana mempermainkan rambut panjangnya. “Tidakkah kalian penasaran bagaimana Freya bisa kecelakaan padahal dia terus bersama kita? Aku sih penasaran.” 

“Aku meninggalkan kalian kok,” kata Freya. 

“Oh tidak Nona, aku mengobrol denganmu sepanjang jalan, aku mendu—“ 

“Itu aku,” potong Sarah. 

Freya dan Diana menjerit bersamaan. 

“Kau… kau… Sarah kau!” 

“Kau bisa bicara!” 

Terluka oleh kata-kata tersebut, Sarah merengut. “Tentu saja aku bisa!” 

“Maksudku, ada kata-kata lain yang keluar dari mulutmu, itu… eng… aneh…” kata Diana malu-malu. 

“Aku mau mengakui sesuatu.” Sarah berdiri. “Ini tidak mudah, tapi aku harus.” 

“Ada pembohong yang lain?” tanya Ajeng bersemangat. 

“Bukan itu maksudku,” kata Sarah, suara yang keluar berbeda jauh dari nada suaranya sendiri. 

“Hei, itu suaraku!” Jhan terperangah. 

Sarah berdeham. “Kalian bisa melihat kemampuanku.” Suaranya kali ini dalam dan renyah. 

Carada terkekeh. “Hooo… itu suara gue! Coba yang lain, Sarah!” 

Sarah menurutinya. Meniru suara anak-anak yang lain. Sangat mirip. Tak terlihat bedanya. 

Andy bertepuk tangan saking kagumnya. 

“Sejak kapan kau bisa menjiplak suara orang lain?” Ken memonyongkan mulutnya pada Sarah. 

“Sejak SD. Sebagai catatan, aku tidak suka istilah menjiplak-mu.” 

“Sarah, katamu tadi kau ingin mengakui sesuatu.” Aurora mengingatkan. 

“Ya, Aurora. Freya memang meninggalkan kalian saat itu. Setelah dia pergi aku diam-diam mengikuti kalian dari belakang. Menjawab setiap pertanyaan yang kalian lontarkan padanya. Dengan meniru suaranya. Mengira dia terus bersama kalian adalah tujuanku. Aku menyesal lelucon itu berakhir buruk.” 

“Itu tindakan bodoh, Sarah!” maki Freya. “Apa kau disuruh si nomor 25?” 

“Kecelakaan itu diluar kendaliku. Frans bilang kalian pasti mengerti!” 

“Frans!? Apa hubungannya Frans dengan lelucon brengsekmu!?” Freya jadi kalap. 

“Di-dia yang menyuruhku melakukannya…” Wajah Sarah pucat pasi. “Di-dia me-menyuruhku…” 

Anak-anak berpikir keras mencernanya. Firasat mereka mulai tidak enak. 

“Terlalu aneh untuk disebut kebetulan.” Aurora bersandar sambil menopang dagu. “Frans terus terkait di berbagai kasus.” 

Tangan Gio dilambai-lambaikan. “Gio suka Frans-kun. Dia baik. Kalian keterlaluan menjelek-jelekkan Frans-kun di belakangnya. Apalagi saat ini Frans-kun pasti sedang mengusahakan suatu cara untuk mengeluarkan kita semua dari sini. Frans-kun harapan kita satu-satunya!” 

“Kami tidak menjelek-jelekkan siapapun, Gio. Kita hanya sedang mencari kebenaran di sini, tidak lebih.” Aurora berusaha menenangkan Gio. 

“Syukurlah…” Gio mengurut dada. “Gio kagum sama Frans-kun. Selain baik pada siapapun dia juga pandai membuat kue. Bakpau buatannya waktu darmawisata kemarin enak kan?” 

“Wo… wo… wo…” Carada membuat isyarat ‘dia sudah gila’ dengan jari-jarinya. “Bakpau itu buatan lue kan? Masa lupa.” 

Gio melongo. “Bukan. Gio kan cuma ngebawakan. Frans-kun yang buat.” 

“Jelaskan lebih rinci, Gio,” pinta Aurora. Tangannya memegangi bahu Gio. 

“Malam itu Gio sudah mau tidur. Lalu Papa mengetuk pintu kamar Gio, bilang ada teman Gio yang bertamu. Ternyata Frans-kun. Frans-kun minta ma’af sudah mengganggu waktu istirahat Gio. Gio jawab, tidak apa-apa Frans-kun. Selanjutnya Frans-kun mengajak Gio ngebuat bakpau. Resep baru katanya. Untuk dibagikan ke teman sekelas katanya lagi. Untungnya dapur di rumah Gio punya persediaan semua bahannya. Frans-kun hebat loh. Cara menakarnya, mengaduknya, mengukusnya, dan menghiasnya sudah layaknya seorang koki profesional. Frans-kun juga menambahkan perasa yang dibawanya sendiri. Mungkin berkat cairan perasa berwarna biru itu ya maka rasa bakpaunya berbeda? Kalau tidak salah di botol cairan itu tertulis EMR gitu. He.. he.. Gio lupa lengkapnya.” 

“Huwaaa….” Micah mendadak merepet aneh. “EMR Absolute Milk?!. Kau yakin cairan itu yang dimasukkan oleh Frans?” 

“Tepat… itu dia!” Gio kesenangan. “Micah-kun tahu juga perasa makanan itu ya?” 

“Gio! Itu bukan perasa makanan! EMR Absolute Milk itu sejenis enzim sintesis yang akan jadi racun kalau bercampur dengan susu! Kau baru saja membuka fakta bahwa bakpau Frans-lah yang membuat kita keracunan sewaktu di Milkubaya!!!” teriak Micah, putus asa. 

Teriakan Micah membuka otak-otak yang buntu, membelalakkan kebenaran sebegitu jelasnya, serta menghujamkan pisau-pisau pengkhianatan di hati setiap anak. 

Dia yang meracuni susu kita saat darmawisata. Dia! Si nomor 25 sialan itu!” sangkal Omega. Dia masih menuduh si nomor 25. 

“Sekarang bukan waktu yang tepat untuk terus mempertahankan kekeraskepalaanmu, Omega,” kata Aurora. “Frans pintar sekali, turut memakan bakpau itu, keracunan sama seperti korbannya, agar tidak dicurigai.” 

“Apakah ini berarti kita menghukum orang yang salah?” Cherry tidak berani memandang si nomor 25. 

“Tidak. Lue ngelupain satu kasus. Si nomor 25 sialan ini menyetrum gue. Gue ngelihat sendiri dia berkeliaran dekat toilet pria,” amuk Radith. 

“Aku baru mau membahas soal itu,” kata Rudy. “Kecuali si nomor 25 punya kemampuan membelah diri, maka orang yang kau lihat itu bukanlah dia.” 

“Gue ngelihatnya! Dia! Apa lue menuduh gue rabun!” Radith mengibaskan tangannya penuh ancaman. 

Rudy tidak takut pada ancaman Radith. “Radith, di saat kami mendengar teriakan Micah, semua anak perempuan, termasuk si nomor 25 masih lari marathon.” 

“Larinya si nomor 25 cepat sekali,” kata Silvia. “Dia jadi pusat perhatian semua anak perempuan.” Perkataannya mendukung pernyataan Rudy. 

“Yang tidak ada saat itu malah Frans.” Rudy mengambil alih lagi. “Dia pergi berselang hanya beberapa menit setelah kalian kabur.” 

Radith ambruk dan berlutut di lantai. “Jadi Frans yang mengatur semuanya…” katanya, tidak percaya. 

“Bandoku juga tidak jatuh sewaktu di toilet cewek. Frans menyuruhku melemparnya ke luar jendela, dia bilang itu semacam terapi psikologi untuk menghilangkan claustrophobia-ku,” aku Diana. 

“Supaya kita menemukan pintu tingkap itu tentu!” cericit Ling. 

“Makanan si nomor 25 juga si Frans yang menyediakannya kan!?” kata Ken. “Supaya terjamin kesehatannya katanya! Alasan licik agar dia bisa menukarnya dengan makanan basi!” 

BLEGURRRR!!! Sebuah dentaman nyaring membuat semua anak menengadah. Dinding dan langit-langit bergetar hebat. 

“A-apa itu!?” Cherry histeris. 

“Konstruksinya rapuh oleh api. Langit-langitnya telah kolaps dan sebentar lagi runtuh,” kata si nomor 25, dingin. 

Krak!!! Kraaakkk!!! Krakakakaakkk… Suara patahan bergema di ruangan tersebut. Anak-anak berlarian panik sewaktu sebongkah beton terjun ke arah mereka. 

Carada terlambat menghindar. Beton itu menyerempet bahunya. Darah mengalir deras dari luka di bahunya yang terkoyak. 

Cherry berteriak memilukan. Zeany tidak sanggup melihat, menyembunyikan wajahnya di pelukan Rudy. Bertindak sigap, Micah merobek seragamnya sendiri, membalut luka Carada yang meraung kesakitan. Diana, Sarah, Ling dan Freya berkumpul di satu pojok dan menangis sambil berpelukan. 

Di pojok yang berseberangan, Haya menarik Jhan, “Kalau kau memang bisa meramal, kenapa kau tidak bisa meramalkan kejadian ini!?” 

“Aku tidak bisa!” teriak Jhan kalap. “Aku diberi Frans kartu! Ramalannya sudah ada di kartu itu! Bukan aku yang meramalnya!” 

Sebuah beton jatuh lagi. Kali ini lebih besar. Imban menerjang Ken yang mematung di tempat. Ken selamat setelah terguling menjauh di lantai. Namun Imban tidak seberuntung itu. Kakinya terjepit patahan beton. 

“Di-dia menolongku…” lirih Ken, air matanya menggenang di pelupuk mata. “Semuanya tolong… tolong Imban!!!” 

Tak perlu diminta dua kali, Giovani, Baddy dan Andy mengangkat patahan beton tadi sementara Meryl menarik keluar tubuh Imban. 

“Apa kita akan mati di sini?” Cherry mengguncang tubuh Meryl. “Apa salah kita pada Frans!? Kenapa kita harus mati tanpa tahu sebabnya!? Kena—“ 

Plak. 

Imban menampar Cherry. “Kalau kau tidak berhenti berteriak, aku akan menamparmu lagi.”

Cherry sesegukan. Meryl memeluknya dengan air mata yang juga mengalir deras. 

Dengan frustasi Ken memukul-mukulkan kepalanya ke tembok. “Kenapa… kenapa… kenapa kita mati dengan cara seperti ini.” 

Segera Aurora dan Gina menariknya dari tembok. 

“Hentikan!” rintih Gina. “Kepalamu bisa hancur kalau begitu.” Semua anak dicekam perasaan yang sama; ketakutan, cemas dan panik melebur jadi satu. 

Sekonyong-konyong, “Gio, kesini sebentar!!!” Silvia berteriak bersemangat. 

“I-iya,” sahut Gio. 

Beberapa anak juga mengerubungi Silvia, penasaran atas teriakannya. 

Silvia tersenyum lemah. “Kalian lihat retakan di dinding ini? Kita bisa menghancurkannya. Dinding di sebelah sini bagian belakangnya adalah tanah, kalau kita gali maka kita bisa membuat lubang perlindungan. Tempat yang aman dari reruntuhan gedung.” 

“Waktunya tidak cukup untuk membuat lubang yang besar!” bantah Freya, putus asa. 

“Tidak perlu besar,” jelas Silvia. “Cukup untuk satu anak saja. Anak yang akan hidup untuk kita semua. Anak yang akan membongkar semua kejahatan Frans.” 

Pemahaman ide itu muncul layaknya lampu yang terang benderang di kepala setiap anak. 

“Minggir, Silvia-chan,” kata Gio. Dikepalkannya tangannya dan dihantamnya bagian tembok yang ditunjuk Silvia. Patahan di tembok itu melebar. 

“Gio tanganmu!” jerit Sarah yang ngeri melihat tangan Gio yang berlumuran darah. 

Gio tidak peduli hal itu. Digigitnya bibirnya untuk mengurangi rasa sakit. Dia membabi buta memukuli tembok tersebut. 

Entah pada pukulan yang keberapa Radith mendadak menahan kepalan Gio. “Giliran gue,” katanya. Gio memberi pandangan terima kasih dengan mata berkaca-kaca. Penuh semangat Radith meneruskan pekerjaan Gio. 

Baddy berlutut di sebelah Radith. “Habis ini aku,” lontarnya. 

“Lalu aku!” timpal Rudy. 

“Jangan lupakan aku!” Ken menggosok-gosok lengannya. 

“A-aku juga!” serobot Andy. 

Semua anak laki-laki, kecuali Carada dan Imban yang sedang terluka, bergantian memukuli tembok. Tangan mereka terluka parah namun tak ada yang menangisinya. Andy bahkan harus diusir dari dinding karena menolak berhenti memukul padahal beberapa jarinya telah patah gara-gara terlalu keras memukul. 

“Hanya selamat saja tidak cukup,” bisik Zeany, takut menghancurkan semangat dan harapan teman-temannya. 

“Kenapa?” tukas Diana. “Yang selamat nanti kan bisa menceritakan semuanya?” 

“Bisa saja kan dia dianggap mengada-ada. Frans bisa menuduhnya ‘gila karena pukulan mental yang hebat’. Harus ada bukti tertulis,” kata Zeany makin pelan. “Andai saja kita bisa menulis pesan yang menjadi bukti nyata tuduhan kita semua pada Frans.” 

“Pemikiranmu masuk akal. Tapi kita tidak punya kertas untuk menulisnya,” sela Ling. 

“Aku punya!” jerit Andy, tidak gagap sama sekali. Dikeluarkannya sehelai kertas berukuran kwarto. Di tengah kertas itu ditempel secarik kertas bertulisan Tiga hari dari sekarang. Freya akan jatuh dari tangga. Didorong seseorang, teman sekelas kita juga. “I-itu kertas ra-ramalan pertama Jhan. Kutempel di ker-kertas yang lebih le-lebar. Dan se-selalu kubawa.” 

“Oh Andy.” Freya memeluk Andy. “Kau itu aneh. Tapi aku suka keanehanmu.” 

Malu-malu Andy meringis. 

“Masih kurang alat tulisnya…” kata Carada. Wajahnya pucat kekurangan darah. 

“Bagaimana kalau menggunakan darah kita untuk menulisnya? Setiap orang menulis begini,‘Frans adalah pelakunya’ di kertas itu. Jadi saat polisi memeriksanya mereka akan percaya bahwa kita semua menulis itu sendiri,” usul Imban. 

“Imban… aku salah meng-underestimate-mu selama ini. Idemu brilian,” puji Silvia. 

Wajah Imban bersemu merah. 

“Masih belum…” kata Carada lagi. “Darah ide bagus namun untuk menuliskannya ke kertas itu kita perlu alat lain yang seruncing pena bulu. Agar tulisan kita semua bisa muat.” 

“Ah!” Ajeng menjerit seperti Andy. “Kalau pena bulu sih tidak ada. Tapi benda itu bisa menggantikannya. Sarah, kemarikan gelangku yang dulu kamu curi.” 

Sarah melepas gelang yang dimaksud, menyerahkannya pada Ajeng. Dengan cekatan Ajeng membuka sambungan gelang. Mengeluarkan semua manik-maniknya, lalu meluruskan kawat penyambungnya. 

“Kawat ini tipis dan ujungnya tajam, pasti bisa digunakan layaknya pena bulu,” jelas Ajeng. 

Kertas dan kawat berpindah ke tangan Silvia. “Aku?” tanyanya pada yang lain. 

“Siapa lagi yang paling tepat selain kamu untuk memulainya? Kita buat sesuai urutan diary kelas saja,” kata Aurora. 

“Ada orang yang lebih tepat untuk itu,” tolak Silvia. Dia membalikkan badan, menyorongkan kedua benda tersebut pada si nomor 25. “Dari tadi kau turut mendengarkan pembicaraan kami kan? Kami seenaknya menyebut kami sebagai korban. Sebenarnya kaulah yang paling menderita selama ini. Kaulah yang paling tepat memulai pesan kematian kita ini.” 

Si nomor 25 terperangah, tidak menduga Silvia memberinya kehormatan seperti itu. “Kalian yakin?” 

Anak-anak lain lemah mengiyakan. Bukan karena tidak setuju namun karena tidak enak atas perlakuan mereka sebelumnya pada si gadis. 

Si nomor 25 memahaminya. Dipeluknya kertas tadi, menunduk sambil menangis. Dia mengangkat kepalanya lagi sewaktu Meryl memegangi tangan kirinya, memijat-mijat telapak tangan gadis tersebut, bertanya, “Kau tidak kidal kan?” 

“Tidak,” jawab si nomor 25 bingung. 

Sebuah silet berkilat di tangan kanan Meryl, sementara tangan kirinya menahan tangan kiri si nomor 25. “Ini bakal terasa sangat perih. Ditahan ya. Aku akan mengiris ujung jarimu.” Spontan si nomor 25 menarik tangannya. “Tunggu! Jangan takut. Kau perlu darah yang banyak kan untuk menulis kalimatmu? Di situlah tugasku untuk membantumu.” 

Kontan Ling mencericit panik. “Zeany! Meryl bertingkah gila lagi!” 

Respons Zeany sungguh di luar dugaan, “Biarkan saja,” katanya tenang. “Meryl ahli dalam hal begituan kok.” Ling jadi melongo. 

Sorakan Micah dan Baddy membuat anak-anak mengalihkan perhatian mereka. Kedua anak cowok itu bersalaman lalu meringis kesakitan sebab salaman tadi mengakibatkan tangan mereka yang melepuh tergesek. 

“Temboknya sudah luruh!” teriak Micah. 

Baddy tidak mau kalah, “Tinggal menggali tanahnya!” 

Omega menerobos kerumunan. “Anak-anak cowok semua menyingkir!” usirnya. 

Radith dan Ken langsung protes, yang disikapi Omega dengan pura-pura menendang mereka. “Kalian sudah terlalu banyak berperan! Urusan menggali serahkan pada anak cewek!” 

Semua anak cewek bersorak mendukung Omega. Anak-anak cowok mengalah dan memilih mengantri di depan Meryl yang mengirisi jari mereka dan bergantian menulisi kertas pesan kematian mereka. 

Ruang penyimpanan semakin panas. Peluh mengalir deras di tubuh setiap anak. Anak-anak cewek tidak mau kalah pada semangat anak-anak cowok sebelumnya, mereka berjuang mati-matian menggali tanah menggunakan kedua tangan mereka untuk membuat lubang. 

Setiap beberapa menit ada saja benda-benda yang berjatuhan dari lubang di langit-langit. Retakannya juga melebar, sewaktu-waktu bisa runtuh sekaligus. 

“Cepat! Cepat! Cepat!” komando Omega. 

“Semuanya, berkumpul di sekitar lubang!” teriak Rudy. “Gio, kau duduk tepat di depan lubang. Badanmu paling besar. Usahakan tak ada asap yang masuk ke lubang.” 

Gio mengacungkan jempolnya. “Sip. Gio siap!” 

“Oh no..” jerit Silvia. “Langit-langitnya sudah rapuh. Hentikan menggali! Harus ada anak yang segera masuk ke lubang. Kalau terlambat maka semua usaha kita sis-sia belaka.” 

“Cuma bisa sebesar ini,” lapor Sarah, menunjukkan lubang yang mereka hasilkan. 

“Siapa… siapa yang akan masuk?” tanya Ken sambil menarik tubuh Imban mendekati lubang. 

Dia,” kata Diana. Didorongnya Gina ke arah kerumunan anak-anak. 

“Jangan… jangan aku…” rengek Gina. “Kalian tidak bisa membayangkan trauma yang harus kutanggung seumur hidup bila menjadi satu-satunya anak yang bertahan hidup dari sini.” 

“Kami bisa!” bentak Diana. “Lubang itu hanya bisa menampung anak yang bertubuh kecil sepertimu.” 

Cherry membantu Diana menyeret Gina ke dalam lubang. Setelah berada di dalam, Cherry berbisik padanya, “Gina, asal kau tahu, dalam sudut keegoisan Cherry yang terdalam Cherry berharap Cherry-lah yang selamat, jadi jangan membuat Cherry marah dengan rengekanmu yang tidak bersyukur itu!” 

Gina terkesima. 

“Lipat kakimu!” kata Haya. Diberikannya kertas pesan kematian mereka pada Gina. “Apapun yang terjadi, serahkan surat ini pada polisi! Paham!?” 

Gina mengangguk lemah. 

Setelah yakin seluruh tubuh Gina berada di dalam lubang, Gio merapatkan tubuhnya ke mulut lubang. Tersenyum tegar pada yang lain. 

Anak-anak mulai mengambil posisi setengah lingkaran di sekitar lubang. Duduk berdesakan berusaha sedekat mungkin dengan posisi Gio. 

Menunggu dalam diam sangat menyiksa perasaan mereka. Ling meremas tangan Andy yang tubuhnya gemetaran hebat. Di sampingnya, Sarah dan Aurora menempelkan kepala mereka, berdo’a. 

“Hei… Zeany…” kata Rudy. 

“Ya?” Zeany mengusap air matanya. 

“Boleh minta sesuatu?” 

“Apa?” 

“Aku ingin menciummu.” 

Rona merah di wajah Zeany tak mampu ditutupinya. “Rudy, itu tidak pantas!” 

“Habis… rasanya tidak rela mati tanpa pernah mendapat ciuman dari orang yang paling kusayangi.” 

Carada bersuit-suit, yang lain cekikikan sambil terisak mendengarnya. 

“Ayolah, Zeany,” dukung Ken. “Kami janji tidak akan melihat kok.” 

“Eh… gue gak ikutan janji loh,” seloroh Carada. 

Tawa membahana di ruangan itu. Melegakan mereka untuk sejenak menghapus katakematian di sana. 

Ciuman itu murni. Zeany menempelkan bibirnya di bibir Rudy. 

“Rasanya asin,” kata Rudy. 

Zeany terisak. “Bodoh!” 

“Hei… gue pengen dicium juga! Ada yang berminat?” seru Carada. 

Gadis di sebelahnya, Freya, menjewer telinga Carada, “Sini anak bodoh. Aku akan memberikannya padamu.” Dikecupnya kening Carada. 

“Wow, tidak ada rasanya…” Carada memutar bola matanya. 

Anak-anak tertawa lagi. 

Tawa terakhir bagi mereka. 

“Satu hal sebelum semua berakhir,” sentak Radith. “Gue… gue…” Tanpa diduga dia merengkuh tangan si nomor 25. “Gue minta ma’af.” 

Mata si nomor 25 berkaca-kaca. Anak yang lain membisu, bersyukur Radith melepas kungkungan yang membutakan mereka selama ini. 

Radith meneruskan, “Kami sudah membuatmu sangat menderita atas dasar kebodohan kami sendiri. Andai kita bisa mengulang hari-hari sebelumnya, kita pasti bisa memperbaiki hubungan tidak sehat ini. Tidak saling menyalahkan. Berpikir secara sehat dalam menghadapi segalanya. Dan merasakan persatuan di antara kita semua. Seperti yang kita rasakan sekarang. Meski telah sangat terlambat, mewakili semuanya, kumohon… ma’afkan kami.” 

TAMAT 

Last Note : Jika kamu membaca bagian ini berarti kamu telah menyelesaikan cerita ini dari awal sampai akhir, terima kasih telah bersabar untuk membacanya, ^^, bila sempat harap diberi komentar 

25th (Oleh : Hein L. Kreuzz)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant