2. TIDAK TERDUGA

194 12 1
                                    


Setelah beberapa hari mengerjakan tugas yang berat, akhirnya aku bisa kembali bersantai. Tidak ada lagi tumpukan berkas yang harus kukerjakan ataupun sistem yang harus kubuat ulang demi keamanan. Setidaknya ini adalah hari yang tenang di mana aku bisa menikmati minuman kaleng seraya berjalan-jalan melihat keadaan tempatku bekerja.

Seperti biasa, kakiku membawaku ke taman belakang gedung ini, tepatnya ke bangunan kecil di mana tempat Erika berada. Di jam seperti ini, gadis itu pasti ada di depan ruangannya. melakukan pekerjaan yang hingga saat ini masih tak kusangka dapat dikerjakan olehnya. Aku bahkan sempat terkejut ketika suatu hari kulihat ia membongkar sebuah mesin pendingin aula yang sangat besar dan memerbaikinya seorang diri.

Udara di tempat ini sejuk dan menenangkan seperti biasa. Selain itu, tempat yang entah kenapa jarang sekali orang yang datang ini adalah satu-satunya tempat yang paling tenang dari kebisingan di dalam gedung.

Di sanalah ia, duduk di bawah pohon depan ruangannya di kursi santai. Aku heran mengapa ia bisa sesantai itu sebagai teknisi di tempat paling penting di negara ini. Aku pun berjalan mendekatinya.

"Bukankah seharusnya kau bekerja?" tanyaku ketika sampai di tempatnya. Pemandangan yang kulihat membuat keningku berkerut. Gadis itu duduk dengan santai, seragamnya yang tidak dikancing menunjukkan T-shirt hitam yang muncul di baliknya, rambutnya yang kali ini ia ikat ekor kuda tinggi membuat tampilannya benar-benar seperti gadis berandalan yang sering kau temui di gang-gang sempit nan gelap. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat penampilannya. Sebuah laptop hitam yang berada di pangkuannya menarik perhatianku. Memangnya pekerjaan ia membutuhkan laptop, ya?

"Oh, Dasthan. Aku sedang istirahat. Mainan satu itu cukup menyebalkan," katanya yang menunjuk sebuah CPU dengan dagunya tanpa melihat ke arah benda yang ia sebut mainan, "Kau sendiri sedang apa di sini? Tidak kerja?"

Aku duduk di depan CPU malang yang dibongkarnya tapi belum ia selesaikan. Dasar tidak bertanggung jawab. Bagaimana bisa ia meninggalkan pekerjaannya seperti ini? Jika ada Dewan yang melihatnya ia pasti akan diomeli habis-habisan.

"Kenapa kau bekerja di sini? Bukankah ruang teknisi ada di dalam?"

"Di dalam sudah penuh dengan teknisi lainnya. Lagi pula aku meminta untuk bekerja di sini supaya tidak ada orang yang akan menggangguku bekerja," jawabnya dengan pandangan yang masih tepaku pada layar laptopnya.

"Kurasa bukan karena tempatnya yang tenang tapi karena tempat ini sangat jarang didatangi orang. Jadi kau bisa seenaknya dalam bekerja," gerutuku mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang sedang ia lakukan.

"Jika kau tahu kenapa masih bertanya?" jawabnya yang membuatku ingin. Jadi yang aku katakan benar?

Rasanya gatal jika melihat benda sekarat itu teronggok begitu saja. Aku pun tergerak untuk mengutak-atik CPU yang disebut mainan oleh Erika. Benda-benda yang bersangkutan dengan komputer sudah tak asing untukku. Ada gunanya juga pernah belajar bagaimana membongkar dan memerbaiki kembali benda-benda ini. Jadi tak hanya mengerti seluk beluk pemograman saja, aku juga menguasai berbagai detil dari komputernya.

"Kurasa aku berhutang padamu untuk mainan itu. Terima kasih telah memperbaikinya," ujar Erika tanpa merasa berdosa setelah aku menyelesaikan CPU itu dengan baik.

"Bukankah seharusnya ini kau yang menyelesaikannya?!" seruku ketika melihat ia masih saja terpaku dengan laptopnya.

"Aku tidak menyuruhmu memperbaiki mainan itu, kau sendiri mengerjakannya. Lagi pula sekarang aku sedang sibuk," ujarnya dengan tatapan mengejek,

Alisku terangkat ketika melihat ekspresi tak bersalahnya. Membuatku seolah merasa benar-benar bodoh karena membantunya.

"Sebenarnya apa yang sedang kau kerjakan dengan benda itu? Apakah kau sedang mengerjakan suatu proyek?"

REAPER (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now