Rimba Raya

2K 305 19
                                    

Ada satu legenda yang mengakar di jantung anak-anak desa. Tentang peri pemakan manusia, yang menjerat jiwa-jiwa kesepian ke rengkuhan mereka yang mematikan. Para peri kejam, yang memiliki taring berbisa, dan cakar maut. Mereka biasanya mewujud gadis jelita nan polos, menjebak para pemburu dan bangsawan lengah. Lalu menyesap nyawa korbannya sedikit demi sedikit dalam tarian maut di bawah bulan separuh.

Tidak ada yang pernah pulang dari hutan dalam keadaan waras. Kebanyakan sisa nama, ada yang berwujud mayat, sisanya tinggal manusia tanpa akal yang sibuk menyanyikan lagu sedih di pasar-pasar Minggu dan Selasa.

"Aku adalah nestapa. Aku adalah abu yang naas. Kepadanya aku ingin hilang. Untuknya aku ingin lesap dalam peraduan. Wahai alamku, kembalikan aku pada surga kelammu yang sendu. Suapi aku dengan buah terlarang yang menjadikan dua manusia sebagai pendosa pertama. Beri aku hukuman, cambuk aku dengan segala penderitaan. Bunuh aku sekarang." Suara serak itu menggema tak dipedulikan pada hari lapangan desa berubah jadi ladang perniagaan. Lepas dari kekang, pria dan wanita yang gila hanya bisa dikendalikan dengan diseret paksa pihak keamanan. Kemudian dipasung seumur hidup dalam kerangkengnya yang pengap dan pesing.

Warga desa putus asa. Sudah berulang kali tabib dan pemuka agama dikumpulkan untuk menyadarkan mereka yang gila. Hasilnya nihil. Tidak ada satu ramuan dan ayat suci pun yang sanggup mengembalikan mereka ke dunia.

"Jiwanya telah diambil. Di tubuhnya hanya tersisa ketidakberdayaan dan rasa putus asa," simpul mereka. Lalu semua orang pun menyerah dan membiarkan nyanyian sedih itu berkumandang sebagai pengingat, bahwa hutan terlarang adalah kawasan angker yang mematikan.

Satu-satunya masa warga desa sibuk dan tidak mengurus korban para peri hanyalah di musim hujan. Ketika sawah selalu basah, sungai penuh untuk pengairan, pohon-pohon melebat, dan debu tidak berterbangan mengganggu pernapasan. Di musim ini banyak pasangan kawin dan berkembang biak. Lahan subur, hiburan malam yang kurang, menjadikan populasi ibu hamil bertambah cepat, tak terkecuali istri sang tengkulak. Ia bangga akhirnya dikaruniai anak di usia yang tidak lagi muda.

Sang suami, sebenarnya sudah pasrah pada kemandulan dirinya. Ia sendiri heran, kenapa sang istri akhirnya bisa memiliki janin. Padahal sudah lama ia tidak menggauli istrinya di tempat tidur. Bertahun-tahun pula, mereka sudah lama pisah ranjang karena kesibukan masing-masing.

Tidak ada prasangka, cemburu, pun firasat. Sang istri hanya berkata ia hamil karena suaminya. Wajah itu bulat berbinar. Tersenyum cerah dengan perut yang terus membuncit seperti matahari terbit dari hari ke hari.

"Akan kuberi nama dia Rimba Raya," sang istri berceloteh. Suaminya hanya terdiam dan tak mengerti darimana selera nama Masrinah, Maidah, dan Munaroh lenyap.

Berbulan-bulan, acara syukuran dilewati dengan penuh suka cita. Tujuh bulanan bagi warga sekitar adalah saat perbaikan gizi. Kapan lagi mereka bisa makan sapi, kambing, dan ayam sepuas-puasnya. Apalagi ini anak pertama orang terkaya di desa tersebut. Sang suami adalah pemilik kebun serta sawah terluas di desa, menjadikan ia bapak para buruh. Tak sampai di situ, suami-istri tersebut juga membeli semua hasil bumi dari lahan warga lain. Menjadikan keduanya terkenal sebagai tengkulak sukses.

Menjelang bulan kelahiran, semua orang menunggu dalam cemas. Begitu pun kedua pasangan tengkulak. Tak seperti minggu-minggu sebelumnya, sang istri tampak pucat dan letih. Tubuhnya semakin kurus, tetapi perutnya buncit seakan hendak meletus.

"Aku baik-baik saja," ucapnya, menenangkan. Berbanding terbalik dengan keadaannya yang mengenaskan, wajahnya selalu cerah apa pun cuaca di atas sana. "Aku bahagia bisa mengandung."

Gagak memberi sapa pada senja ujung barat. Pulang ke hutan tempat cerita-cerita seram berasal. Angin berembus, menggoyangkan daun-daun jati dan bambu. Sementara di kejauhan, anjing melolong tak bisa diam, meski pemiliknya memukul hewan peliharaan tersebut bertubi-tubi.

Imaji Raya Membelah Serigala [Kumcer] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang