Kebosanan

1.3K 206 42
                                    

Kebosanan lagi-lagi melingkupiku. Seperti lintah yang menyedot sedikit demi sedikit kebahagiaan. Aku lemas, jenuh, dan merasa enggan melakukan apa-apa selain bermalas-malasan dan tidur seharian.

Aku memang tidak produktif. Hanya berbaring dan mendamba waktu berputar sampai semua yang ada di sekitarku menghilang. Atau mungkin aku yang harus menghilang dari dunia. Seperti debu yang berhamburan di atas meja. Sudah lama benda tersebut tidak kupakai bekerja atau menulis seperti sedia kala. Ada kesedihan, juga kekesalan jika harus duduk dan merangkai kalimat di sana.

Aku benci hidupku.

Sudah bukan rahasia lagi bila aku benci pada jurusan tempatku belajar dan menimba ilmu. Dipaksa menjadi perawat. Aku, orang yang memiliki kadar empati rendah, dituntut untuk merasa dan membayangkan diri menjadi seorang pesakitan. Untuk kemudian ditanya, "Jika kau yang jadi pasien, apa yang kau ingin perawat lakukan untukmu?"

Mana aku tahu, sakit sampai dirawat inap saja tidak pernah. Dulu aku pernah tertabrak, diseruduk moncong motor sampai jatuh berguling-guling ke pinggir jalan. Dalam keadaan berdarah-darah, aku kabur dan lari secepat mungkin dari lokasi kejadian. Karena saat itu pikiranku cuma satu: tidak mau dimarahi sama yang menabrak.

Alih-alih dicaci-maki, sampai di rumah aku justru dipeluk dan ditangisi Mama. Bahkan penabrakku datang dan meminta maaf sambil terbungkuk-bungkuk. Sayangnya aku masih syok dan menganggap orang-orang sedang berpura-pura baik padaku dengan menyerahkan uang, iming-iming permen, dan tidak disuntik saat dibawa ke rumah sakit.

Penipu! Aku tidak mau percaya. Aku menangis sampai menjerit-jerit saat mau diseret ke rumah sakit. Trauma dengan perkataan seorang suster di kelas tempo lalu, yang mengatakan sedang melakukan program vaksin campak. Ia bilang suntik itu tidak sakit, hanya seperti digigit semut.

Iya, semut. Semut sangsamang yang kalau sudah gigit dipelintir terus ninggalin taring dan nancepin bisa sampai habis. Begitu, iya gitu sakitnya.

Sampai sekarang, perasaan sakit itu kembali muncul dan menguat seiring berlalunya semester demi semester tempatku belajar. Aku masih sakit saat disuntik, tetapi lebih ke perasaan. Karena aku tahu, mungkin beginilah akhir hidupku puluhan tahun berikutnya: memperbaiki infus, menyuntik, membantu BAK/BAB, dlsb.

Aku sebenarnya punya mimpi yang ingin kuwujudkan sendiri. Aku begitu mendamba mimpi tersebut. Berangan-angan terlalu tinggi, untuk kemudian jatuh dan tak mampu bangkit saking kebasnya punggungku yang jadi tempat pendaratan.

Mimpiku sederhana, yaitu hidup di atas kedua kakiku sendiri. Sayangnya kedua orang tuaku menolak. Mereka berpikir aku masihlah gadis ingusan yang makan pun harus disuapin dan ingus diusapin. Solah aku dilarang dewasa.

Celakanya, aku memang lemah dan semakin lemah di hadapan argumen invalid mereka. Ketakutan tak berdasar, lebih kepada trauma masa muda yang selalu gagal. Jaman sudah berubah, ada seribu cara menuju harapan. Tetapi mereka menutup mata, enggan mendengar pendapat atau mempertimbangkan argumenku.

Seolah aku salah, dan merekalah kebenaran.

Ada saat aku benar-benar membenci orang tuaku dan ingin kabur saja dari rumah. Tapi aku teringat sepupuku yang dulu menginap di sini dan minggat. Ia pergi tanpa pamit, entah apa alasan, selama 24 jam tidak ada kabar.

Kupikir ia memang sangat membenci Ibuku yang selalu berpikiran negatif dan akhirnya memilih hengkang sebelum menjadi gila betulan. Untung aku sudah tidak waras sejak awal. Iya, orang waras mana yang tertawa tiap kali dimarahi. Bahkan di depan guru atau dosen sekali pun. Aku tidak menampakkan raut kesal atau murka. Aku bahagia. Aku merasa diperhatikan, meski dengan cara-cara salah. Mungkin sejak kecil aku memang pernah terbentur atau ditenggelamkan secara tidak sengaja.

Imaji Raya Membelah Serigala [Kumcer] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang