Pagi Itu di Bulan Juli

1.5K 233 23
                                    

Pagi itu udara terasa membeku dalam ruangan: dingin, tajam. Sekaligus begitu rapuh dan mudah dipatahkan. Sementara di luar, rumput berserakan ditutupi daun jatuh yang menyelimutinya entah sejak kapan. Bersama bunga dan ranting kering: diam, membisu, menunggu dihancurkan.

Harusnya hari ini menjadi satu titik balik pengukuhan diri setelah berminggu-minggu berkabung dalam duka. Dalam nestapa yang Cut Pat Kay bilang: begitulah cinta, deritanya tiada akhir. Maka aku mesti berbalik dan memulai perjalanan mencari cahaya ke Barat.

Tapi, apalah arti berjuang jika separuh jiwaku masih tertambat padanya. Orang yang dulu begitu terang dan menghangatkan suram hidupku. Orang yang begitu penuh kehangatan dan berusaha menerangkan hari mendungku. Orang yang kiranya mengajariku arti lebih baik dicintai dan dilupakan daripada tidak dicintai sama sekali.

Semua bermula di tahun ajaran semester dua yang baru. Setelah sibuk regitsrasi dan mengemis waktu dari dosen, kita akhirnya bisa kembali mencambuk otak dengan berbagai teori dan penerapannya dalam kehidupan nyata.

Kontrak mata kuliah sukses terlewati, begitu juga dengan pemilihan Ketua Kelas serta jajarannya yang baru.

Awalnya aku tidak ingin menjadi apapun, murni hendak menjadi kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang). Tapi kau mau aku terbang lebih tinggi dari sekadar mengecup bunga di taman. Tanpa ajakan, tanpa penjelasan, kau menunjukku jadi wakil ketua kelas.

"Gak salah nih? Nanti kita gak bakal selamat sampai semester depan." Karena aku tahu aku orang paling sembrono dan inkonsisten dengan jadwal.

"Tapi juga orang paling jujur dan berani di kelas."

Aku ingat, aku pernah membentak teman sekelompok di depan kelas karena ketidakbecusan mereka menggarap tugas. Aku minta dibuatkan makalah, bukan salinan materi yang dikopas begitu saja dari internet. Alhasil nilai kami ambruk. Aku benar-benar murka, dan sialnya ini bukan yang pertama.

Aku sudah kehabisan stok sabar.

"Aku milih kamu karena yakin kamu bisa jadi orang paling objektif di kelas. Kamu bisa tegas. Kamu gak takut marahin teman sendiri. Kamu mampu mengeluarkan pendapatmu dengan jernih—meski sedikit marah-marah."

"Intinya, aku jadi si Jahat dan kamu si Baik, gitu?"

Ketua Kelas sedikit tertohok. Tapi setelah satu garukan di kepala hilang, ia akhirnya mengangguk. "Benar, kamu jadi orang tegasnya."

Oh bagus, satu lagi reputasi yang kian memburuk. Dan di luar entah kenapa hujan semakin deras sehingga jam pulang jadi lebih panjang daripada yang seharusnya.

Aku dan dia terjebak.

Dan sampai satu semester ke depan, kami benar-benar terjebak bersama.

Aku tidak peduli ia ingin menjadikanku tameng kemarahan massa jikalau ada program yang dianggap memberatkan mahasiswa. Misalnya hukuman menulis surat permintaan maaf karena tidak mengerjakan tugas piket.

Kedengarannya sangat kekanakan, tapi Ketua Kelas sangat serius sampai-sampai ia mendatangi dan benar-benar melabrak anak yang sengaja lupa jadwal menyapu. Aku menonton seperti gelandangan di depan rumah kebakaran. Lalu aku ikut ambil bagian karena suasana memanas dan mereka mulai mempertanyakan keefektifan program.

"Nyapu mah nyapu aja. Kita 50 orang sekelas. Wajar butuh ekstra tenaga." Aku melempar minyak. "Jangan cuma maunya diurus tapi diminta ikut ngurus malah kabur. Kami bikin program bukan buat pajangan."

Entah kenapa orang itu bungkam. Ada rona merah tomat di pipinya yang tegang. Besoknya ia tobat dan tidak melakukan pelanggaran. Ketua Kelas langsung memberinya pujian dan merangkulnya seakan kemarin mereka tidak pernah berpikir saling mengasah parang.

Imaji Raya Membelah Serigala [Kumcer] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang