Membelah Serigala

1.8K 206 32
                                    

Sudah kukatakan beberapa kali, hidup tidak seperti dongeng. Serigala bukan hanya menyesatkan kerudung merah, tetapi memakannya, kemudian mencernanya, dan membuang gadis itu ke sungai terdekat setelah wujudnya berubah jadi bubur taik. Nasib Kerudung Merah tak lebih baik dari jentik-jentik nyamuk di perut ikan. Begitu pun Putri Duyung Kecil. Setelah menyelematkan seorang lelaki, dan bertukar suara untuk kaki demi bisa menemui pujaannya di daratan. Tidak akan bertemu pangerannya dan berakhir sakit hati, sebab sang lelaki telah bertunangan, dan Putri Duyung Kecil jatuh mati menjadi buih di lautan.

Apa yang membuat kisah-kisah itu indah hanya imajinasi luar biasa pengarangnya. Mereka menyulap segala masalah di dunia nyata menjadi kutukan dan nenek sihir yang jahat. Sementara harapan, disulap bentuknya menyerupai ibu peri dan denting keajaiban sebelum jam dua belas malam.

"Kau benci dongeng?"

Tidak. Aku menyukainya. Hanya saja dalam sisi yang realistis. Beberapa kali serigala telah mencampakkanku. Sebelumnya mereka menawarkan taman bunga, lalu memujiku cantik dengan mahkota mawar, dan mengajakku tersesat. Sampai lupa tujuan. Aku menyesap kaleng kola kedua setelah batagorku habis dan bersandar pada kursi di depan sebuah minimarket. Siang sangat terik. Cuaca memamah udara sampai ke paru-paru. Rasanya pengap, lembab, juga membakar dari dalam.

Mungkin ini cuma dendam.

"Aku taiknya serigala. Dua kali. Pertama hamil, kedua ditinggal sehabis ngentod." Aku minum kola lagi, sebelum amarah menggelegak sampai mulut. Terlambat. "Terus, ngilang gitu aja. Aku gagal kuliah. Keguguran sampai kritis di UGD. Nenek kumat kolesterolnya. Lalu meracau, 'wah cucuku, kamu cantik sekali. Matamu besar. Hidungmu mancung. Tulang pipimu tinggi. Wajahmu tirus. Bibirmu tebal. Dan rambutmu sama seperti ibumu sebelum dia meninggal: hitam, panjang, bergelombang'."

Aku minum kola lagi. Tidak peduli sodanya menggerogoti tenggorokanku seperti semut. Aku lebih baik makan tarantula sekarang dan merasakan sensasi kaki-kaki berbulunya tersangkut di lidah, gigi, pangkal tenggorokan, amandel, sampai kerongkongan. Toh, aku sudah pernah mengulum yang berbulu berkali-kali. Sebelum sengatnya meletus, dan cairan putih lengket berhamburan memenuhi ruang bernapasku hingga terbatuk-batuk.

Rasanya ingin menderita secara harfiah. Sebab, rasa abstrak hanya memberi bayangan: sebuah ilusi untuk diratapi. Padahal sakit itu tidak ada, cuma rekayasa hati yang tak mau perih sendirian. Ia benci melihat otak, lambung, dan jantung bersenang-senang. Jadi, ayo, mari kita patah sama-sama.

Aku mendengar derak perutku yang kosong. Sejak kemarin, hanya sepiring batagor dan berbotol-botol soda memenuhi kantong lambungku.

"Menyakiti diri sendiri tidak akan menyelesaikan masalah." Temanku mengetik di hadapan laptopnya, sibuk memilih film bermodal wifi gratis minimarket. Dia tertarik pada serial barat berjudul Constantine. Berharap bisa melihat malaikat maut dan berkata: sini, ambil temanku sekarang, sebelum dia mati konyol di jalan dan menghamburkan ususnya.

"Aku mau mati."

"Matilah, lumayan ngurangin beban bumi." Ia masih mengetik. Tampak sibuk cari subtitle yang pas. Beberapa kali unduh, subtitle yang didapatnya selalu tidak sinkron—ada juga yang terjemahannya kacau.

"Tapi masih ada nenek, aku gak tega sama dia."

"Bunuh saja. Sebentar lagi juga mati."

Aku mendesah. Piring batagor sudah tandas. Siang makin panas. Dan jalanan di belakangku tetap ramai meski kota ini sangat kecil dan jumlah penduduknya tak lebih dari dua juta orang.

"Andai aku bisa sekejam itu."

****

Aku selalu berharap, kebahagiaan datang dalam wujud ibu baik yang memberiku tiga permohonan ajaib. Kekayaan, mobil mewah, dan rumah megah. Sayangnya, itu semua cuma mimpi. Aku sering terbangun karena gerungan mobil tetangga yang berangkat pagi buta, dan kembali tidur setelah mobilnya terparkir di garasi larut malam.

Imaji Raya Membelah Serigala [Kumcer] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang