Problem 05: Aku Anak Siapa?

26 0 0
                                    

"Bunga Melati..., Bunga Melati..., Bunga...?" Ardo menelusuri tiap nama yang terpampang di pengumuman. Ia mulai dari lembar paling kiri, kemudian terus memindai dan berakhir di sebelah kanan. Sampai di ujung, ia berbalik. "Nggak ada!"

"Tuh, kan! Nama Bunga nggak ada!" Bibir Bunga maju beberapa senti. Pipinya lagi-lagi menggelembung bagai buntal. Lengkap dengan dihiasi kening berlekuk-lekuk.

Sebelum Ardo membaca daftar pembagian kelas, ia sudah lebih dulu mengecek namanya di lembar pengumuman, bahkan sampai tiga kali! Tapi, hasilnya? Dari delapan rombongan belajar untuk kelas X tahun pelajaran ini, tidak ada satu pun yang mencantumkan nama lengkapnya. Bunga Melati.

"Yang ada cuma yang mirip, ya?" Dari kedelapan kelas itu, Ardo menemukan lima orang bernama "Bunga" dan empat orang bernama "Melati". Dua di antaranya, "Bunga" dan "Melati", malah berada di dalam satu kelas yang sama. Selain itu, ada juga yang bernama "Bunga Rampai".

"Tapi..., nomor pendaftarannya nggak ada yang sama," timpal Bunga. Di daftar pembagian kelas itu, juga tercantum nomor pendaftaran masing-masing peserta didik baru. Ia hapal nomor pendaftaran yang ia miliki.

"Susah amat nyari Bunga," keluh Ardo. Ia kemudian garuk-garuk kepala.

Bunga menghela. "Jadi, gimana, nih, Bang? Datang jauh-jauh, masak nggak dapat kelas? Apa gara-gara Bunga nggak ikut PLS kemarin?"

Bunga bukan penduduk asli Pontianak. Sampai kemarin siang, ia masih di kampung halaman bersama kedua orang tuanya di Bengkayang. Karena masalah ekonomi, ia akan tinggal bersama neneknya di Pontianak yang pensiunan PNS, sekaligus melanjutkan sekolah. Sayangnya, sang nenek sempat lupa bahwa kemarin PLS sudah dimulai. Ia baru ingat setelah melihat banyak remaja seusia Bunga berseragam SMP lalu lalang di depan rumah. Segera setelah diberi tahu, Bunga berangkat sendiri dan baru tiba tadi malam.

Ia seharusnya pagi ini berangkat ke sekolah bersama sang nenek. Beliau yang mengurus pendaftaran di SMA selagi Bunga masih di kampung. Tapi karena agak kurang sehat, Bunga tak tega dan memutuskan berangkat seorang diri.

Apesnya, di jalan ia menginjak ekor anjing yang menjulur keluar dari pekarangan rumah seorang warga. Ia panik, lalu berlari, dan berakhir menabrak Ardo.

Sekarang, Ardo ikut-ikutan bingung. "Ya..., nggak begitu," sahutnya. "Pengumumannya udah ada sejak kemarin pagi. Kayaknya juga belum pernah diganti." Ardo sempat meraba-raba kertas pengumuman. Selain terasa tidak lagi halus, juga ada kesan mengembang dan lembab. Beberapa bagian kertas juga ada corat-caret. Beberapa anak baru mungkin menunjuk-nunjuk nama dengan ujung pulpen yang tidak ditutup. Atau... sengaja.

"Kamu benar-benar daftar di sekolah ini?"

Lagi-lagi, Bunga memajukan bibir. "Yakin seratus persen, Bang. Ini buktinya!" Ia menarik tas selempang, membuka salah satu saku, kemudian mengeluarkan secarik kertas yang terlipat rapi. Ia buka lipatan kertas tersebut di hadapan Ardo.

"Tuh, ada cap sekolah Abang!" Ia menunjuk stempel basah berwarna biru keunguan yang melingkar di sudut bawah kertas. "Juga ada nama dan foto Bunga di situ. Cantik, kan?"

Ardo memandanginya beberapa detik, kemudian mengangguk-angguk. "Iya, sih."

"Makasih!" Ia kembalikan lembar bukti ke dalam tas.

"Memang benar, sih, kamu daftar di sini. Tapi..., apa kamu diterima?" Siapa pun bisa mendaftar, tapi belum tentu bisa lolos sebagai murid baru. Ada sederet persyaratan yang harus dipenuhi. Mulai dari skor nilai ujian, pembobotan domisili, sampai memperhitungkan kuota kursi yang ada. Tahun lalu, Ardo nyaris saja tak melanjutkan sekolah gara-gara skor nilai ujian yang begitu rendah. Beruntung, ia memilih sekolah ini. Dengan reputasi underrated, SMA Negeri 114 Pontianak Selatan selalu kekurangan siswa baru setiap tahun. Otomatis, Ardo berhasil masuk tanpa hambatan.

PRoBLeMoNeYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang