Problem 04: Boleh Ikut?

23 0 0
                                    

"Kretak!"

"Aduh...!" Ardo berhenti menggerak-gerakkan pundak. Sebelumnya, ia merasa gemas karena pundaknya yang kram terasa amat kaku. Ingin sekali diputar-putar sesuka hati. Namun apa daya, nyeri yang terasa malah makin menjalar sampai ke belakang leher. Bahkan tadi, sepertinya berkembang jadi salah urat.

Kedua lengannya kemudian dilemaskan. Kalau tak hati-hati lagi, rasa nyeri yang ia derita itu bisa saja membuatnya meringis sampai terkencing-kencing. Belum lagi, batang pinggangnya ikut-ikutan tak bersahabat. Membuat ia berjalan diseret-seret dengan sedikit membungkuk.

"Do, banguuuuun!" begitu pekik ibunya tadi subuh. Ia melihat putranya masih tengkurap di kasur. Dipikirnya masih nyenyak membuat pulau di bantal.

Namun rupa-rupanya, Ardo sudah bangun sejak tadi. Atau yang lebih tepat, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak meski sudah sangat mengantuk. Ia dan Eka baru beranjak pulang sekitar pukul sepuluh malam. Nyaris dua jam kemudian baru tiba di rumah, karena ia harus singgah dulu di rumah Eka untuk membantu memasukkan belanjaan.

Apa yang ditakutkan Rizal kemarin siang sungguh terjadi. Eka kembali semau hati membeli buku. Bukan hanya buku paket pelajaran dan buku tulis, tetapi juga beragam buku pengetahuan umum, politik, filsafat, hingga novel terjemahan. Tak hanya di satu tempat, mereka juga berpindah-pindah dari satu toko ke toko yang lain.

Eka ditengarai sengaja membawa dirinya berkeliling untuk balas dendam. Hampir semua toko buku di Kota Pontianak mereka sambangi. Mereka hanya berhenti ketika makan malam setelah Magrib dan Isya. Selepas itu, mereka lanjut hingga akhirnya "diusir" dari toko terakhir yang sudah mau tutup. Andai ibunya tak menitipkan duplikat kunci rumah pada Eka, sudah jauh-jauh waktu Ardo minta diantar pulang.

Sekujur tubuh terasa pegal-pegal, terutama pinggang dan pundak. Tanpa ganti pakaian, Ardo langsung terkapar di tempat tidur.

"Capek banget kelihatannya, Do?" tegur ibunya ketika melihat Ardo masuk ke kios untuk cium tangan. Ardo sudah mandi, sudah berseragam, juga sudah sarapan. Tapi, tampaknya masih lesu dengan mata agak merah. Bahkan, ia berjalan diseret-seret.

"Emangnya, Eka belanja apa?" Ardo dan Eka kemarin siang memang pamit mau ke toko buku. Tapi, putranya pulang sebegitu larut dengan kondisi nyawa sisa seperempat. Mereka belanja buku atau malah jadi staf toko yang sedang cuci gudang?

Atau jangan-jangan, Eka berubah pikiran? Bukannya ke toko buku, Eka malah membawa Ardo kabur keliling tempat rekreasi? Selama liburan panjang beberapa minggu ini, mereka sama sekali belum pernah menghabiskan waktu bersama. Padahal, hampir tiap hari Minggu mereka punya agenda jalan-jalan. Akan tetapi, di liburan kali ini, Eka diajak berlibur ke kampung halaman ibunya di Banjarmasin. Sepulang dari sana, mereka singgah dulu ke Kuta, Bali. Dan akhirnya, baru tiba di Pontianak tiga hari lalu.

"Belanja buku, Mak," jawab Ardo. "Banyak...!" Ia membuat rentangan tangan yang sedikit melebihi lebar pundaknya.

"Nggak malah jalan-jalan?" selidik ibunya lagi.

"Jalan-jalan, Mak. Keliling toko buku. Sambil bawa buku juga. Tangan sampai kram." Mereka memang pergi dengan mobil, tetapi mobil harus ditinggal di tempat parkir. Mana boleh mobil dibawa masuk ke toko buku.

Maka, jadilah Ardo tukang tenteng sejak pertama buku diambil dari rak, diajak keliling tiap sudut toko, ke depan kasir, kemudian dibawa masuk ke dalam mobil. Begitu terus berulang-ulang di lebih dari sepuluh toko buku. Hingga kulit di kedua telapak tangannya sampai merah membara.

Pagi ini, ruam-ruam itu memang sudah tak terlihat, namun perihnya masih menjalar. Sikat gigi saja sampai terlepas beberapa kali.

"Oh...!" sambut ibunya dengan mulut membulat. "Berapa banyak?"

PRoBLeMoNeYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang