Problem 06: Mau Pinjam?

29 0 0
                                    

Ardo berjalan sesekali menunduk. Ia khawatir kalau-kalau sepatunya sudah tak menempel di kaki. Maklum, ia sedang memakai sepatu baru yang dibelikan oleh Eka kemarin. Ukurannya sedikit lebih besar dibanding sepatu yang lama. Padahal, ia sudah terlanjur lumrah dengan jemari yang mentok di ujung sepatu.

Berbeda dengan dua hari yang lalu, kemarin ia tidak lagi diisengi seperti saat berbelanja buku. Kali ini, mereka berangkat sekitar pukul 15.00, sedangkan pulang sekitar pukul 19.00. Pinggangnya memang selamat, tetapi ia mendapat ancaman sewaktu diantar pulang. Eka meminta dirinya untuk memakai sepatu yang ia belikan di esok hari—hari ini. Dan untung saja, ia ingat. Jika tidak, kejadian setahun yang lewat bisa saja berulang. Eka akan berhenti bicara dengannya selama ia tak memakai barang-barang yang ia berikan. Jika sudah begitu, kepada siapakah nantinya Ardo bertanya jika lupa mengerjakan PR?

"ABUANG!" Tiba-tiba saja ada yang menepuk punggung Ardo dari belakang.

"Eh, beneran copot!" Ardo terperanjat. Langkah kakinya berhenti. Saat ia berbalik hendak menggetok ubun-ubun orang yang membuat jantungnya melompat, seorang anak perempuan menyambut dengan wajah melongo.

"Abang... latah?" Bunga sama kagetnya melihat reaksi Ardo. Tangannya sampai gemetar. Ia pikir kalau ditepuk seperti tadi, kakak kelasnya bakal melompat pasang kuda-kuda siap berkelahi. Bunga pun sudah siap lahir batin akan ikut-ikutan ambil pose. Setelah itu, mereka mungkin akan tertawa bersama melihat tingkah bodoh masing-masing. Tapi..., Ardo malah latah dan kini mengurut dada dengan mulut dimonyong-monyongkan. Mirip nenek-nenek!

Eh? Tapi, Bunga tak punya nenek seperti itu. Jika dikagetkan, neneknya paling-paling mengambil sapu kemudian memburu Bunga keliling rumah. Setidaknya, itu masih lebih baik ketimbang isi rok diumbar-umbar, atau penghuni kebun binatang dilepas di kawasan padat penduduk.

Ardo mendengus. Lekas ia beranjak. Bunga menyusul sembari minta maaf.


* * *


"Nggak lari lagi?" Ardo tak menanggapi permintaan maaf Bunga. Ia terlalu sibuk mengurut dada demi menenangkan jantungnya yang masih berdebar-debar. Apakah ini yang disebut cinta?

Bunga terkekeh. Ia mengangkat jempol. "Hari ini, aman!" Anjing yang kemarin membuatnya lari sprint pagi-pagi, sekarang tak lagi iseng menjulurkan ekor ke luar pagar. Sebagai antisipasi, ia juga berjalan agak ke tengah ketika melintasi rumah si pemilik anjing. Menurut bisik-bisik tetangga, anjing itu memang suka nge-bait para pejalan kaki.

"Semoga aman selalu."

"Amiiiiin...!" Telapak tangan Bunga menengadah. Kemudian, ia usapkan ke muka.

Karena mengurut dada sepertinya kurang ampuh, Ardo mencoba cara lain untuk menekan debar-debar yang belum juga sirna. Ia hirup udara sebanyak mungkin hingga dadanya membusung. Ia tahan napas sekitar tiga detik. Baru setelah itu, ia hembuskan pelan-pelan hingga kempis. Tandas menghembus, ia ulang lagi menarik napas dalam-dalam, ditahan, lalu menghela. Tarik lagi napas dalam-dalam, tahan tiga detik, hembuskan. Tarik lagi napas, tahan.

"Oh iya, Bang. Makasih banget kemarin udah dibantuin."

Ardo menyahut dengan suara agak tercekik, "Sama-sama...!" Kemudian, ia menghembus. Sembari udara meluncur keluar, ia pelan-pelan mendorong tangan ke depan. Seolah-olah, ia tengah berlatih ilmu kanuragan.

"Nggak ngerti, deh, kalau nggak ada Abang. Mungkin, Bunga udah pulang lagi sambil nangis." Datang ke sekolah, tetapi namanya tak tercantum di kelas manapun. Itu mimpi buruk bagi setiap murid baru. Sembari menunggu hasil investigasi keluar, ia dan Ardo berkeliling sekolah. Ardo dipinta menjadi tour guide sekali lagi untuk mengenalkannya tempat-tempat yang patut diketahui.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PRoBLeMoNeYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang