Prolog

1.3K 32 2
                                    

Jalanan yang tidak dikenali. Bahasa yang tidak begitu dikuasai. Cuaca yang berbeda. Budaya dan perubahan musim yang tidak akrab dengan kesehariannya.

Pindah dari Jakarta ke Seoul. Apakah ini pilihan yang tepat?

Ia mulai berpikir ulang saat melangkah keluar bandara Incheon malam hari itu dan merasakan dinginnya terpaan gerimis yang dibawa oleh embusan angin di akhir musim gugur.

"HUATSYII!!" Ia memang mudah bermasalah dengan udara dingin.

Ah, pikirnya, seharusnya ia tidak membiarkan Papa membawanya pergi ke negara ini. Seharusnya ia tidak menjadi anak gadis yang begitu tidak peduli. Seharusnya ia tidak membiarkan Papa memenangkan hak asuh atas dirinya. Seharusnya ia tidak meninggalkan Indonesia, Mama dan teman-teman di sana. Seharusnya ia memutuskan dengan cepat kewarganegaraannya.

Seharusnya—

Ia berhenti berpikir tentang seharusnya itu saat matanya tak sengaja bertemu pandang dengan tatapan seorang pemuda yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya berada.

Pemuda tampan berkulit cerah dan bertubuh jangkung, dengan rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan. Perawakan Asia yang menawan menguasai penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. Ia tampak bercahaya seperti ada lampu yang menyinarinya dari atas kepalanya.

"Wah ..."

Tidak mudah menemukan pria dengan wajah dan perawakan seperti ini di Jakarta, pikirnya. Kecuali, jika dia aktor muda blasteran.

Tetapi, sebenarnya bukan semua hal fisik itu yang membuat tatapannya terhenti pada pemuda itu. Melainkan karena tatapan sedih yang terlihat di wajah tak asing yang saat itu sedang bertatapan dengannya.

"What the hell are you looking at?" pemuda itu berkata dengan nada suara rendah dan dalam. Arogan.

Alisnya bertaut. Tidakkah pemuda itu mengenalnya? Pikirnya. "Your eyes ..." jawabnya kemudian, tanpa mengalihkan tatapan dari mata pemuda itu, "look so sad."

Mata sipit dinaungi alis tebal yang seolah disisir rapi itu memang tampak sangat sedih, seperti dia baru saja menangis.

"Menyingkirlah dari hadapanku," pemuda itu berkata lagi. Kali ini dalam bahasa negara tempatnya berpijak. Ia mengganti bahasanya, namun nada suaranya masih terdengar sama saja.

"Oh?!" Ia sedikit terkejut, menyadari sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Sesuatu tentang pemuda di hadapannya itu. "Aah, begitu rupanya ..." Pemuda itu bukannya tidak mengenalinya, pemuda itu mungkin saja hanya orang yang mirip dengan orang yang dikenalnya.

"Aku bilang, menyingkir!" pemuda itu mengulangi ucapannya.

"Kenapa aku harus menyingkir?" ia bertanya dengan nada tak peduli. "Apa kau malu karena ada yang melihatmu menangis?" Ia mengangkat alis, tatapan matanya menertawai.

"Karena wajahmu."

"Ha?" Ia tak mengerti, kenapa dengan wajahnya?

"Jelek!"

"Eeeeh?!" Ia shock. Apa katanya? Jelek?![]


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*Pengen ngejambak. Cowok ini bikin kesel.

GoldfishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang