Bagian 8. Memutuskan Sikap

184 7 0
                                    

"Nana tidak bisa tetap berada di Korea. Nana tidak akan bisa menyesuaikan diri." Suara perempuan itu tegas dan menunjukkan sikap yang tidak ingin mengalah. Perempuan dengan usia yang sudah tidak muda lagi tetapi masih berpenampilan menarik dan wajahnya masih terlihat cantik.

"Aku tahu yang putriku perlukan, Lin. Sebaiknya kamu kembali ke Jakarta. Pembicaraan kita sudah cukup!" Pria berkemeja putih dengan tubuh yang masih tetap terlihat atletis di usia 48 tahun itu sepertinya sudah bosan dengan perdebatan yang terjadi di antara dirinya dan perempuan di hadapannya.

"Kamu tahu yang diperlukan Nana?" Perempuan itu tersenyum dengan sikap arogan. "Kim Jun-su, kamu masih berpikir apa yang kamu inginkan sama dengan yang diinginkan anak kamu. Kamu mau bikin Nana stres di sini? Belajar dari pagi sampe tengah malem. Nana tidak akan sanggup. Pokoknya, aku akan bawa Nana balik ke Jakarta."

"Jakarta? Hidup bersama kamu? Ibu yang lebih memedulikan pekerjaan dan tidak pernah melihat pendidikan anaknya." Lelaki itu menggeleng. "Kamu tahu, anak kamu, dia bahkan tidak bisa mengingat alamat rumahnya. Dia tidak bisa mengingat hal sepele semacam nama orang atau nama jalan. Karena itu, di sini adalah tempat yang tepat untuk Nana. Dia harus belajar lebih banyak untuk menutupi semua kekurangannya itu. Kalau Nana bareng kamu, Nana hanya akan jadi anak bodoh."

Perdebatan perempuan itu dan laki-laki itu sepertinya tidak akan berakhir karena keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Keduanya masih terus bertengkar meski putri yang mereka bicarakan berada di sana. Mereka bersikap seolah putri mereka tidak terlihat.

***

Nana berdiri diam, menatap ayah dan ibunya yang sedang berdebat tentang dirinya. Malam itu saat kembali ke rumah, ia menemukan pemandangan yang tidak ingin dilihat olehnya.

Nana berdiri di sana, namun kedua orangtuanya seolah tidak melihatnya. Ayah dan ibunya seperti tidak menyadari bahwa ia telah kembali ke rumah. Mereka pun masih terus bertengkar meski Nana berjalan melewati mereka dan dengan santai melangkah menuju kamarnya.

"Waktu Nana nggak balik ke rumah, dicari-cari. Begitu balik, nggak dipeduliin," Nana bicara sendiri.

Nana menyalakan lampu hingga kamarnya yang luas menjadi benderang. Kamarnya yang berdinding biru kehijauan dengan langit-langit berwarna putih itu dikuasai oleh perabot bernuansa antik dengan warna putih dan hitam. Karpet bulu seperti warna zebra terhampar di lantai di tengah-tengah kamar. Di satu sudut ada rak buku putih yang dipenuhi novel-novel dan komik-komik detektif. Di meja belajarnya tergeletak buku pelajaran, laptop dan sebuah boneka kucing hijau yang berpakaian ala Sherlock. Di dinding di samping tempat tidurnya terdapat cermin yang kelihatan antik dan poster Arsene Lupin dalam bingkai yang terlihat senada dengan cerminnya.

Nana melempar tasnya ke lantai dan melompat ke atas tempat tidurnya yang empuk bersama sebuah boneka ikan berbentuk seperti kue ikan berukuran sepuluh inci.

"Seharusnya nggak pulang." Nana menatap boneka ikan di tangannya, hadiah ulang tahun dari Niel yang didapatkan dari permainan claw machine saat di Hongdae tadi. "Ini karena orang yang memberikanmu padaku, makanya aku pulang. Seharusnya dia nggak menyinggung soal rumah waktu kami bicara ..."

Boneka ikan itu hanya diam.

"Dia pasti nggak pernah diremehkan orangtuanya," Nana berkata lagi. "Apa kamu tahu? Saat kedua orangtuamu meremehkanmu, itu menjadi lebih menyakitkan daripada diremehkan oleh seluruh dunia."

Nana menatap dengan wajah datar, boneka ikan itu tetap diam.

"Heol, kenapa aku bicara dengan boneka?" Nana memukul boneka itu dan melemparnya ke lantai.

***

Mereka mengharapkanku untuk menghibur mereka

Mereka mengharapkanku menjadi sesuatu

GoldfishOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz