Konsistensi

310 46 41
                                    

"Consistency aids Willing Suspension of Disbelief, while violations of consistency may be jolting and unexpected, which can benefit both humor and drama. The viewer would be quite surprised to learn that in your universe, Hitler was a circus performer, dragons are scared of fire, and that the married couple no longer recognize each other in Act III." (Tv Tropes)

"Truth is stranger than fiction, but it is because fiction is obliged to stick to possibilities; truth isn't." (Mark Twain)

Kita tahu bahwa konsistensi bisa mengurangi kejanggalan dalam cerita, dan menambah Willing Suspension of Disbelief (WSOD) pembaca. Namun, apakah semua inkonsistensi itu merugikan? Apa saja sih tipe-tipe konsistensi dalam cerita?

Secara umum, ada tiga tipe konsistensi:

Pertama, konsistensi eksternal, yakni konsistensi dengan dunia nyata. Karya dengan konsistensi eksternal biasa disebut sebagai karya yang realistis, sama seperti di kehidupan nyata, atau mungkin terjadi di kenyataan. Meskipun latarnya fiktif, ada unsur fantasi atau paranormal, jika secara psikologis tokohnya berpikir dan bertindak layaknya manusia sungguhan (atau rangkaian kejadiannya sesuai dengan logika dunia nyata), karya tersebut bisa dianggap memiliki konsistensi eksternal.

Kekurangan konsistensi eksternal membuat suatu karya jadi tidak realistis. Hal ini bisa terjadi jika penulis kurang atau salah riset, atau hanya mengandalkan karya fiksi lain sebagai bahan riset sehingga tokohnya bertingkah seperti stereotipe berjalan (uhuk, badboy), dan plotnya klise (badboy ketemu cewek baik-baik terus ceweknya hamil karena diperkosa tapi jatuh cinta dan bahagia).

Namun, kelebihan konsistensi eksternal juga bisa bikin pembaca bingung, "Ini novel apa jurnal ilmiah?" Riset memang penting, tetapi jangan lupa kalau kalian lagi bikin cerita, bukan skripsi (Kecuali skripsi kalian tentang novel, atau kalian bikin novel tentang skripsi kalian--ah sudahlah).

Ada pula kondisi saat melanggar konsistensi eksternal bikin ceritanya lebih bagus daripada harus taat melulu. Misalkan, diksi. Pernah bayangin nggak, kalau tokoh di novel ngomongnya sama persis kayak di real life? Pernah ngerekam suara orang terus ditulis verbatim (sesuai aslinya)? Banyak sekali pengulangan, emm, uhh, tadi aku bilang apa? pengulangan lagi, ngobrol ngalor ngidul tanpa topik dan tujuan yang jelas, kebanyakan curhat tapi enggak berbuat apa-apa, udah gitu diulang lagi. Mungkin kalau kamu bosen dicerewetin temenmu, kamu bisa nyuruh dia diam. Tapi kalau tokoh di novel yang kayak gitu, kamu cuma diberi dua pilihan, antara baca bacotannya sampai dia berhenti sendiri, atau kamu yang berhenti baca dan ganti baca novel lain yang lebih seru.

Kedua, konsistensi genre, yaitu konsistensi dengan karya fiksi lain yang satu genre. Konsistensi genre inilah yang bikin pembaca suatu genre enggak nyasar ke genre yang lain. Misalkan, kalau naga dalam novel fantasy-mu adalah reptil terbang bersayap yang menyemburkan api, berarti nagamu konsisten dengan naga-naga di novel fantasy pada umumnya. Atau kalau kamu nulis genre romance yang pakai tokoh badboy, dan plotmu serumpun sama karya lain yang segenre sama kamu (contoh: badboy ketemu cewek baik-baik dan blablabla jatuh cinta terus jadi insyaf dan bahagia), berarti karyamu konsisten dengan novel romance badboy wattpad pada umumnya.

Kelebihan konsistensi genre bikin karyamu klise. Enggak ada terobosan baru yang orisinal. Kekurangan konsistensi genre menyebabkan karyamu galau mau pilih genre yang mana. Awalnya plotmu tipikal romance badboy, terus tiba-tiba di tengah badboy-nya mati terbakar sendirian di ruang tertutup, jadi masuk genre misteri pembunuhan. Lalu setelah detektifnya menyelidiki, terungkap bahwa tersangkanya naga. Tapi masalahnya naganya takut sama api. Nah, galau 'kan?

Kurangnya konsistensi genre tidak selalu berakibat buruk. Kamu bisa bermain-main dengan tropes atau unsur dalam genre kesukaanmu, menggabung dan memecah sesuka hati sehingga ceritamu enggak klise. Bahkan bisa aja kamu menciptakan tren genre baru. Silakan bereksperimen, tetapi seperti yang dibahas di Observation on Originality, kamu juga perlu memerhatikan formula cerita-cerita yang sudah sukses sebagai landasan agar eksperimenmu tidak sia-sia. Tetap seimbangkan antara konsistensi dan inovasi.

Ketiga, konsistensi internal. Nah, ini adalah konsistensi yang paling 'haram' dilanggar, yakni konsistensi terhadap aturan di karyamu sendiri. Keberadaan konsistensi internal membuat karyamu menjadi satu kesatuan yang utuh, seolah-olah segala hal sudah direncanakan dari awal sampai akhir cerita. Semua hukum, kejadian, latar, atau karakter di suatu karya fiksi akan tetap ada dan bekerja selaras dengan kejadian sebelumnya, kecuali telah terindikasi (foreshadowed) bakal berubah. Termasuk buat kamu yang lagi nulis fan-fiction, umumnya pembaca mengharapkan ceritamu konsisten dengan aturan di cerita aslinya (a.k.a. canon).

Kekurangan konsistensi internal umumnya membuat pembaca bertanya-tanya. Misal, "Tadi katanya si X cuma bisa pakai sihir api sekali sehari, kok ini bisa pakai berkali-kali cuma gara-gara kekuatan persahabatan?" "Ini cowok kan awalnya pernah dirawat gara-gara alergi kucing, tapi kok di akhir dia bisa tahan di rumah cewek barunya yang melihara banyak kucing?" "Kenapa tiba-tiba ada meteor ngebunuh penjahatnya pas tokoh utamanya mau mati di akhir-akhir?" etc, etc, etc.

Pelanggaran terhadap konsistensi internal biasanya sulit dimaklumi dan berpotensi besar menghancurkan WSOD pembaca. Namun, semakin banyak aturan di dalam ceritamu, semakin ruwet pula plotmu. Sekali lagi, kita masih mau bikin cerita, 'kan? Kalau setiap detail dalam ceritamu saling berkaitan, saling merujuk satu sama lain hingga ke istilah terkecil, dari prequel, prolog, sequel, spin-off, apa pun itu, sampai-sampai catatan kaki di ceritamu punya catatan kaki, mungkin pembaca bisa menganggap novelmu adalah kamus, atau kitab undang-undang (kecuali kamu memang bikin kamus dalam novel, atau novel tentang kamus, yang di dalam kamusnya ada kitab undang-undang, silakan saja).

Seringkali, suatu karya konsisten pada satu sisi tetapi inkonsisten pada sisi lain. Misal, nagamu mungkin jadi tokoh utama, bekerja sebagai detektif swasta yang menangani kasus dunia nyata dan alam gaib. Secara genre, hal itu memang tidak konsisten baik di genre fantasy maupun di fiksi detektif, tetapi kalau karakternya di cerita tetap konsisten, semua perubahannya dijelaskan secara natural, terencana dengan baik, dan tidak mendadak, maka karyamu bisa dikatakan konsisten secara internal.

Aku jadi penasaran, apa ide cerita paling di luar nalar yang pernah kamu buat?

Sumber:

How NOT to Write a Novel (Howard Mittelmark & Sandra Newman)

https://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/Consistency

https://www.azquotes.com/quote/298606?ref=stranger-than-fiction

The Absurd Art of WritingWhere stories live. Discover now