PR

12 2 0
                                    

Nama : Dilla

Gadis dengan ramput berkepang itu lari dengan riangnya saat tiba di gerbang sekolahnya. Mungkin terdengar menyebalkan, tetapi Andini––gadis itu––sangat menyukai sekolah. Usianya memang baru menginjak angka 9 tahun, tinggi badannya juga masih 140 cm, ditambah hobi mengemut permennya yang tak kunjung hilang membuatnya terlihat tak berbeda dari gadis kecil lainnya.

"Selamat pagi," sapa Andini saat tiba di kelasnya. Teman-teman Andini sontak mengalihkan pandangan dan menatap Andini berbinar. Andini tahu arti tatapan ini.

"Karena aku lagi baik, jadi kalian boleh nyontek deh," kata Andini yang dibalas sorakan meriah teman-temannya.

Ya, memang bukan hal baru terjadi adegan menyalin jawaban seperti ini. Tidak dibenarkan memang, tetapi siapa yang bisa menghalangi selain diri sendiri. Lagian, pelajaran SD sekarang juga sangat berbeda dari zaman dulu. Lebih sulit tentunya.

"Kamu kok baik banget sih? Tau aja aku gak sempet bikin PR karena ketiduran setelah seharian kemarin datang ke pesta ulang tahun sepupuku," kata Sila yang mata dan tangannya sibuk melihat dan menyalin jawaban.

"Gak papa," jawab Andini. "Lain kali, kalian berusaha mengerjakan sendiri ya. Biar kita pandai bareng-bareng," lanjut Andini lantang dan dibalas anggukan teman-temannya.

Tak berselang lama, Bu Siti guru matematika itu memasuki kelas. Raut bahagia terpancar di wajah para murid. Tentu saja, PR sudah selesai, tinggal menunggu diberi nilai.

"Berdoa, mulai!" kata Riko selaku ketua kelas. Para murid hening membaca doa dalam hati.

"Berdoa selesai," ucap Riko kemudian, "Ucapkan salam!"

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatu," kata murid-murid kompak.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatu," jawab Bu Siti.

Setelah sesi doa, Bu Siti mulai mengabsen setiap murid. Semua murid masuk hari ini dan itu membuat Bu Siti tersenyum bahagia.

"Bagaimana PR yang ibu berikan minggu lalu? Sudah selesai?" tanya Bu Siti.

"Sudah, Bu!" jawab murid-murid serempak.

"Riko, ambil semua buku teman-temanmu dan taruh di meja ibu," kata Bu Siti.

"Baik, Bu!" jawab Riko.

Sesuai permintaan Bu Siti, Riko berkeliling mengambil buku milik teman-temannya dan menaruhnya di meja guru. Setelah buku terkumpul, Bu Siti mulai mengecek satu per satu buku milik anak muridnya. Senyum Bu Siti terus terukir selama memeriksa buku-buku itu.

"Sebenarnya PR yang ibu berikan, itu tidak penting," kata Bu Siti lalu berdiri di hadapan para murid. "Kalian tahu kenapa?" tanya Bu Siti kemudian.

"Tidak, Bu!" jawab para murid.

"Karena ada yang lebih penting daripada sebuah angka nilai di buku kalian," ucap Bu Siti masih dengan senyuman. "Itu adalah kejujuran."

Para murid mendengarkan dengan serius. Tidak bersuara apalagi bermain dengan teman sebangku.

"Siapa teman yang paling baik di kelas ini, menurut kalian?" tanya Bu Siti.

Semua murid sontak menunjuk ke arah Andini.

"Kenapa hanya Andini? Kenapa Andini baik?" tanya Bu Siti lagi.

Semua murid masih diam.

"Apa karena Andini yang selalu membantu kalian belajar? Atau karena Andini yang selalu memberika jawaban di setiap PR kalian?" Bu Siti terus berucap seperti menginterogasi.

"Apa yang lebih penting daripada nilai di buku kalian?" tanya Bu Siti.

"Kejujuran," jawab siswa siswi di kelas itu.

"Siapa yang tadi tidak mencontek Andini?" tanya Bu Siti. Tidak terhitung lagi sudah berapa pertanyaan yang Bu Siti ajukan.

Tidak ada yang tunjuk tangan, mereka hanya menunduk, begitu juga Andini. Ya, Andini jadi merasa bersalah dengan teman-temannya.

"Maaf, Bu. Kami semua memang menyalin jawaban dari buku Andini," kata Riko tetapi masih menunduk.

Bu Siti tersenyum, "Terima kasih sudah jujur. Lain kali, kalau memang tidak bisa mengerjakan, tidak usah mencontek. Tanyakan saja pada ibu, kita akan mengerjakan bersama."

Siswa siswi itu kini perlahan berani mengangkat kepalanya dan menatap Bu Siti. Mereka ikut tersenyum dan bahagia mendapatkan guru sebaik Bu Siti.

Little Story From UsWhere stories live. Discover now