Prolog

46.5K 778 7
                                    

"Kondisi adik anda semakin memburuk, anda harus mau mengizinkan adik anda dirujuk ke rumah sakit besar dan dioperasi secepatnya."

Wanita bermata coklat itu memejamkan kelopak matanya, menahan air bening yang berada di dalamnya. Sampai saat ia tidak bisa lagi menahan semua rasa sakit yang berada di hatinya, ia pun menangis tertahan di hadapan dokter yang baru mengatakan kondisi adiknya yang semakin memburuk setiap harinya.

Bukannya ia tidak mau adiknya dioperasi, hanya saja semua uang yang didapatkannya dari hasil bekerja hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membeli obat adiknya setiap bulannya. Lalu bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk biayai operasi, sedangkan tidak ada lagi orang yang mau meminjaminya uang, bahkan ayahnya sendiri.

Sinta Anastasya, wanita cantik berumur dua puluh lima tahun itu seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta yang gajinya tidak seberapa. Kehidupannya semakin menyedihkan saat ayahnya menikah lagi dan mengusir ia dan adiknya yang sakit-sakitan. Sejak saat itu, Sinta memilih terus bekerja keras untuk membiayai kehidupannya dan pengobatan adiknya.

"Saya harus mencari biayanya dulu, Dok. Saya permisi dulu," jawab Sinta lirih lalu bangun dari kursinya dan pergi dari ruangan dokter yang hanya menatap iba ke arahnya.

Kini Sinta berjalan pelan ke arah ruangan di mana adiknya dirawat. Sepanjang perjalanan, Sinta terus memikirkan cara cepat untuk mendapatkan uang banyak untuk pengobatan adiknya di rumah sakit yang lebih baik lagi.

Semakin memikirkannya, Sinta semakin merasa lelah. Pekerjaannya sudah cukup menguras tenaga dan otaknya, setelah pulang bekerja ia harus menjenguk adiknya dan memikirkan ke mana lagi ia bisa mendapatkan uang.

Setelah sampai di depan pintu ruangan adiknya, Sinta sempat terdiam dan menangis. Kepalanya cukup pusing untuk terus memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini.

Di dunia ini cuma adiknya yang Sinta punya. Bundanya sudah pergi meninggalkan mereka, dan dua tahun yang lalu ayahnya justru tidak ingin dan tidak mau tahu lagi dengan apa yang akan terjadi padanya dan adiknya. Lelaki yang dikenalnya sebagai seorang yang selalu melindungi keluarganya, sekarang sudah berubah menjadi lelaki egois yang tidak punya hati, dan Sinta sangat membencinya hingga tidak ingin lagi melihat wajahnya.

Mengingat perlakuan ayahnya, tangan Sinta mengepal geram, lalu mengusap kasar pipinya karena matanya yang sedari tadi menangis. Tidak, Sinta merasa tidak harus bersedih mengingat ayahnya yang menjijikan. Sekarang Sinta merasa harus terus fokus pada pengobatan adiknya, ia tidak ingin kehilangan gadis remaja itu seperti ia kehilangan bundanya.

Setelah terlihat cukup baik, Sinta mengembuskan nafas panjangnya lalu membuka pintu ruangan adiknya, di mana temannya, Renata ada di sana tengah menemani adiknya berbicara. Keduanya menoleh bersamaan lalu tersenyum samar ke arah Sinta yang berusaha terlihat kuat.

"Kak Sinta dari ruangan Dokter ya?" Sindy, adiknya itu bertanya sembari berbaring lemah di ranjangnya. Sangat disayangkan, di umurnya yang baru menginjak lima belas tahun, dia harus mendapatkan penyakit mematikan seperti ini.

Dulu Sindy diagnosa dokter mengidap tumor otak, sekarang penyakit itu sudah berubah menjadi kanker yang kemungkinan besarnya akan semakin parah bila tidak ditangani dengan segera. Karena keterbatasan biaya lah, kondisi Sindy semakin memburuk setiap bulannya, membuat Sinta tidak tega melihatnya walau sebenarnya hati dan tubuhnya juga merasa lelah.

"Iya. Maaf ya, kamu pasti sudah lama menunggu Kakak pulang dari kantor? Tapi tadi dokter memanggil Kakak, jadi Kakak harus datang." Sinta menjawab penuh penyesalan, namun adiknya itu justru tersenyum di balik bibir pucatnya.

"Aku enggak apa-apa kok, Kak. Kak Renata tadi juga sudah bilang. Oh iya, kata dokter aku kenapa, Kak?" Sindy bertanya lirih, namun Sinta justru terdiam sembari menatap ke arah Renata yang sudah mengerti dengan apa yang Sinta pikirkan.

In Bed Bastard (TAMAT)Where stories live. Discover now