Part 06

22.2K 611 0
                                    

Sinta terdiam menatap ke arah dinding berbahan kaca, di mana di dalamnya ada adiknya yang saat ini tengah dipasangi beberapa peralatan medis untuk meninjau kondisinya. Sebagaimana yang Sinta tahu, adiknya itu harus dites beberapa kali yang Sinta sendiri tidak tahu untuk apa semua itu. Padahal Sinta berharap adiknya itu bisa langsung dioperasi, dengan begitu ia bisa melihat dan menyapanya untuk menemaninya dalam sekamar.

Sebenarnya Sinta merasa khawatir sejak kemarin, adiknya itu ingin sekali bertemu dengannya dan bahkan sampai meminta pulang. Sinta pikir, adiknya memang kurang betah bila berada di rumah sakit, padahal ini semua juga demi kebaikan dan kesembuhannya.

"Sinta," panggil seseorang yang menyadarkan Sinta akan pikirannya yang sempat goyah dan kacau. Memaksa Sinta menghapus air mata yang sedari tadi menemaninya saat melihat kondisi adiknya yang terlihat bosan dan tidak nyaman di dalam sana.

"Rian ...?" Sinta bergumam lirih, saat melihat siapa seseorang yang baru saja memanggilnya.

"Hai, kamu lagi apa di sini?" Lelaki yang bernama Rian itu bertanya, matanya terlihat tak percaya bisa melihat Sinta di sana. Namun bibirnya tersenyum, seolah Sinta adalah anugerah yang Tuhan berikan untuk hidupnya yang sempat hambar.

"Aku sedang melihat adikku, dia dirawat di rumah sakit ini. Kamu sendiri kenapa bisa di sini?" Sinta bertanya tanpa minat sembari menatap ke arah penampilan Rian, di mana lelaki itu tengah memakai jas putih selayak dokter.

"Aku dokter di sini, kamu masih ingat kan kalau aku dulu sekolah kedokteran?" Rian menjawab antusias, namun tidak dengan Sinta yang mengangguk samar, seolah posisi ini semakin membuatnya tidak nyaman.

"Iya, aku ingat." Sinta menjawab seadanya sembari tersenyum samar ke arah Rian. Tentu saja ia masih sangat ingat, kejadian di mana lelaki itu memeluk tubuhnya karena baru diterima di universitas yang dia inginkan. Namun karena pilihannya itu juga, membuatnya berubah hingga memutuskan rasa yang pernah mengisi hati mereka semasa SMA.

"Jadi yang ada di ruangan itu adik kamu? Kebetulan sekali, aku asisten dokter yang akan menangani operasinya. Dan aku juga yang akan memeriksa kondisinya secara berkala, sampai dia merasa cukup siap untuk operasi." Rian terus berujar dengan nada semangat, seolah kesalahannya di masa lalu mampu dia tebus dengan mengatakan siapa dia sebenarnya.

"Begitu ya? Lalu kapan aku bisa menemui adikku? Aku juga ingin menemaninya, tapi kata perawat aku belum bisa bertemu dengannya." Sinta bertanya sebiasa mungkin, walau rasanya ia ingin sekali pergi dari sana, meninggalkan lelaki yang pernah menyakitinya.

"Kamu tenang saja, sore ini adik kamu juga pasti bisa ditemui. Setelah itu kita tinggal menunggu hasil lab-nya keluar, baru kita akan mendiskusikan cara terbaik untuk mengoperasi adik kamu."

"Iya, syukurlah kalau begitu. Aku harap, adikku segera dioperasi dan bisa pulih kembali. Aku merasa kasihan melihatnya kesakitan saat sedang kambuh, dia sering menangis menahan rasa sakit di kepalanya." Sinta menatap kembali ke arah kaca ruangan, matanya terus tertuju ke arah adiknya yang masih terbaring bosan di sana.

"Sinta. Kamu yang sabar ya? Aku tahu, kamu pasti bisa melewati semua ini, karena kamu adalah wanita yang kuat." Rian merengkuh tangan kiri Sinta yang berada di kaca, memberikan empunya kekuatan untuk bisa menghadapi ini semua.

"Tolong jangan seperti ini!" Sinta menarik tangannya, membuat Rian kecewa melihatnya.

"Kamu masih marah denganku?" Rian bertanya hati-hati, ekspresinya kini tampak sendu akan sikap Sinta yang masih saja mengingat masa lalu.

"Aku sudah tidak marah denganmu, tapi bukan berarti aku bisa melupakan semuanya dengan mudah." Sinta menyunggingkan senyum palsunya, merasa tidak bisa saja menerima semua perlakuan Rian seolah semua luka itu tidak pernah ada.

In Bed Bastard (TAMAT)Where stories live. Discover now